Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh Ahmad al-Ghazali

Judul: Bersufi Melalui Musik: Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh Ahmad al-Ghazali
Penulis: Abdul Muhaya
Penerbit: Gama Media, 2003
Tebal: 156 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Stok kosong


Buku yang berjudul Bersufi Melalui Musik (Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh Ahmad  Al-Ghazali) ini merupakan hasil disertasi yang ditulis oleh Dr. Abdul Muhaya, M.A. yang berusaha memberikan kejelasan argumentasi tentang kehalalan dalam mendengarkan musik. Buku ini terdiri dari lima bab. Bab pertama merupakan pendaluan. Bab ini menjelaskan bahwa penyucian jiwa merupakan ajaran tasawuf yang sangat penting. Penyucian tersebut dapat dilakukan melalui pengamalan berbagai ajaran kebaikan, seperti taubah, wara’, zuhd, tawakkul, dan ridha. Di samping ajaran tersebut, sebagian sufi menggunakan musik yang indah sebagai alat purifikasi (al-sama’). Menurut pandangan al-Ghazali, mendengarkan musik dapat menghilangkan tabir hati, menggelorakan rasa cinta Ilahi, mengantarkan seorang sufi ke derajat kesempurnaaan dan menjadikannya sampai ke tingkat musyahadah. Abdul Muhaya dalam buku ini berpendapat bahwa pesoalan tentang hukum al-sama’ (mendengarkan musik) merupakan hal yang belum terjawab secara memuaskan, bahkan menurutnya mungkin persoalan tersebut tidak akan pernah berakhir manakala hanya didekati dengan pendekatan normatif, sehingga ruang lingkup pembahasan buku ini berkaitan dengan hubungan al-sama’ dengan musik gereja, perbedaan al-sama’ dengan nyanyian dan tari-tarian keagamaan yang lain, aturan dan ketentuan dalam kegiatan membaca al-barjanzi dalam hubungannya dengan al-sama’, al-sama’ dalam mempengaruhi perilaku pendengaran dan budaya setempat, lagu dan nada yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas spritual, serta perbedaan al-sama’ menurut Ahmad al-Ghazali dan para sufi yang lain. Untuk  mendapatkan tulisan yang ilmiah, buku ini dibatasi pada persoalan pokok yang terdapat dalam kitab Bawariq al ‘Ilma, yaitu pembelaan Ahmad Al-Ghazali atas kehalalan musik.

Selanjutnya, Abdul Muhaya memperjelas apresiasi ulama Islam terhadap musik pada Bab 2, yaitu dengan membahas terlebih dahulu tentang asal-usul, substansi (makna), dan fungsi musik dalam pandangan para sufi. Dalam menjelaskan sejarah musik, Abdul Muhaya mengelompokkannya menjadi dua mazhab pemikiran, yaitu mazhab revalationism dan naturalism. Bagi pengikut mazhab revalationism, musik dianggap sebagai seni suara dan sekaligus sebagai sesuatu yang memiliki dimensi magis, ritual, dan memiliki pertalian erat dengan agama. Oleh karena itu, musik dijadikan sarana untuk meningkatkan kualitas keagamaan dan dianggap pula sebagai sesuatu yang sakral. Sementaraitu, mazhab naturalism berpendapat bahwa musik adalah bagian dari budaya manusia karena tumbuh dan berkembang bersama dengan pertumbuhan dan perkembangan manusia. Musik pada mazhab ini dianggap sebagai sesuatu yang profan. Pandangan para ahli berbeda-beda dalam menjelaskan unsur-unsur pokok yang terdapat pada musik. Buku ini dalam menjelaskan unsur musik, salah satunya menggunakan pandangan dari Ikhwanan al-Shafa yang menyatakan bahwa musik adalah suara yang mengandung lagu, nada, dan cengkok. Musik juga dapat mengasah daya pikir, memperhalus sifat, menggerakan jiwa, menyenangkan,dan memberi semangat kepada hati. Mendengarkan musik (al-sama’) dalam perspektif kaum sufi merupakan sesuatu yang suci. Bagi sufi, musik merupakan alat stimulus yang dapat meningkatkan kecintaan mereka kepada Allah. Melalui cinta yang semakin kuat, seorang sufi akan sampai ke derajat wushul kehadhirat Allah.

Bab 3 pada buku yang berjudul Bersufi Melalui Musik (Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh Ahmad Al-Ghazali) ini membahas latar belakang intelektual dan keagamaan al-Ghazali, biografi, dan kitab Bawariq al-‘Ilma’. Dari aspek politis, Ahmad al-Ghazali memiliki latar belakang kehidupan yang beragam. Hal tersebut karena ia dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang bermazhab Syafi’i-Asy’ari, suatu mazhab yang menjadi objek penganiayaan penguasa. Setelah ia dewasa, penguasa saat itu tidak lagi menjadi lawan bagi mazhab yang diikuti, melainkan juga telah menjadi kawan yang senantiasa berupaya untuk menyebarkan dan memperluas pengaruh mazhab tersebut dengan berbagai upaya dan dukungan. Ahma al-Ghazali dididik dan dibesarkan dalam lingkungan intelektual yang sangat defensif dari serangan-serangan lawan mazhab. Latar belakang intelektual dan politik yang dimilikinya sangat mewarnai corak serta argumen-argumen Bawariq dalam menolak orang yang mengimgkari keharaman musik. Bawariq al-‘Ilma’ Fi al-Rad ‘Ala Man Yuharrim al-Sama’ bi al-Ijma’ (Kilauan Cahaya yang Sangat Terang dalam Menolak Orang-Orang yang Mengharamkan Musik melalui Ijma) adalah sebuah buku yang dikarang oleh Ahmad Al-Ghazali untuk membela kehalalan musik. Melalui Bawariq-nya Ahmad al-Ghazali menolak dan menyangkal pendapat-pendapat ulama yang mengharamkan al-sama’ dengan berbagai dalil, baik yang manqul (al-Qur’an dan al-Hadits) maupun yang ma’qul (rasional). Dengan tegas pula ia menggolongkan mereka ke dalam kriteria orang yang kafir, sebuah atribusi yang sering dilontarkan oleh kelompok tertentu kepada kelompok lain yang dianggap berlawanan.

Selanjutnya pada Bab 4, buku seri disertasi ini membahas tentang musik dalam  Bawariq al-‘Ilma’. Ahmad al-Ghazali menyebutkan alasan orang sufi menggunakan suara yang indah sebagai alat untuk menyibak tabir hati. Menurutnya, manusia memiliki kecenderungan kepada suara, baik untuk hal yang bermanfaat maupun untuk menolak sesuatu yang membahayakan. Manakala seorang sufi telah tertarik oleh lagu yang sarat dengan pesan dan hakikat Ilahiyyah, maka sesuatu yang wujud yang dirasakan oleh inddra lahir akan mengantarkan mereka ke pesan dan hakikat Ilahiyyah. Supaya al-Sama’ (konser musik) dapat mencapai tujuannya, Ahmad al-Ghazali mengajukan beberapa hal yang perlu dipersiapkan terlebih dahulu, yaitu kesiapan jiwa untuk melakukannya, tempat yang mulia, serta anggota kelompok yang mempunyai kesamaan kondisi spritualitas dan orientasi.

Pada Bab penutup berisi kesimpulan dan saran. Pertama, Ahmad al-Ghazali menghalalkan musik atas lima macam dalil. Dalil yang pertama yaitu al-Qur’an 8:23, 39:17-18 dan 31:16. Dari ketiga ayat tersebut hanya dua yang dianggap relevan untuk dijadikan dalil kehalalan musik, yaitu 39:17-18 dan 31:16. Dalil kedua adalah hadits. Dia mengajukan lima buah hadits yang terdiri dari tiga hadits untuk membela kehalalan menyanyi, menabuh rebana, dan mendengarkannya. Dua hadits untuk membela kehalalan berjoget. Namun, dari dua hadits tersebut hanya satu yang dianggap relevan untuk mendukung kehalalan berjoget, yaitu hadits tentang orang Habasyah yang menari-nari di dalam masjid. Dari segi kualitasnya, hadits-hadits yang dijadikan dalil termasuk hadits hadits yang dapat dijadikan hujjah. Dalil ketiga, perbuatan sahabat. Ahmad al-Gahazali menyebutkan bahwa sahabat Haritsah, Abdullah bin Ja’far, dan Mu’awiyah melakukan al-Sama’. Dalil keempat, perbuatan kekasih Allah. Menurutnya, al-Junayd, Syibli, Ma’ruf al-Karkhi, dan Abdullah bin Khafif melakukan al-sama’. Dalil kelima, dalil akal. Menurutnya, al-sama’ dapat mengantarkan roh ke tingkatan maqam wushul, maqam al-kummal al-’iyani, dan dapat menyebabkan seorang sufi merasakan berbagai kondisi spritualitas, seperti ma’rifah, musyahadah, dan al-ma’iyah al-dzatiyah al-ilahiyah.Kedua, Ahmad al-Ghazali menganjurkan calon sufi untuk melakukan al-sama’ karena mubah dan memiliki manfaat. Ia menyunahkan bahkan mewajibkan sufi untuk ber-sama’ karena bagi pecinta Allah, al-sama’ dapat meningkatkan kualitas spritualitasnya dan bagi ahl-‘irfan, al-sama’ dapat mengantarkannya ke dalam tauhid murni.

Pada bab penutup, Abdul Muhaya memberikan berbagai saran bagi pecinta seni musik. Pertama, para pendengar musik disarankan supaya terlebih dahulu menyeleksi jenis dan kualitas musik yang akan di dengarkan. Kedua, pencipta lagu dan sya’ir disarankan untuk menciptakan lagu dan sya’ir yang bermutu baik dari segi aransemen dan pesannya. Ketiga, pemusik, penyanyi, penyair, serta orang yang mendengarkan musik disarankan selalu menjaga kesucian (musik) dengan cara melakukan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya.

Buku ini sangat menarik dibaca karena mampu memberikan pemahaman bahwa mendengarkan musik (al-sama’) tidak selalu berkonotasi negatif. Sebagai pendengarnya, dapat mentransfer musik (al-sama’) sebagai media untuk meningkatkan spritualitas kepada-Nya, sebagaimana yang pernah dilakukan para sufi tempo dulu. Selain itu, buku ini juga menggunakan rujukan referensi yang lengkap, sehingga mampu meyakinkan pembaca dalam memahami kandungan isi buku ini.