Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Banjir Darah di Kamp Konsentrasi: Catatan Harian Aktivis PNI dalam penjara G30S

Judul: Banjir Darah di Kamp Konsentrasi: Catatan Harian Aktivis PNI dalam penjara G30S
Penulis: NH. Atmoko
Penerbit: Galang Press, 2011
Tebal: 215 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Harga: Rp. 50.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312
PIN BBM: 5244DA2C


Menyimak penuturan sejarah dalam kurikulum pendidikan kita —dalam hal ini tentang sejarah Indonesia tahun 1965— terkesan hampir selalu berkutat hanya pada peristiwa G30S, entah itu tentang proses singkat peristiwa tersebut ataupun tentang pelakunya. Yang lebih miris lagi, penulisan nama gerakan tersebut masih tetap diberi embel-embel /PKI, walaupun pada masa Megawati sempat dihapus. Ini mengindikasikan bahwa kurikulum kita masih tetap menggunakan paradigma lama, yaitu menganggap PKI-lah satu-satunya organisasi yang paling bertanggungjawab terhadap peristiwa tersebut. Padahal para sejarawan masih belum menemui kesepakatan tentang berbagai versi terkait pelaku G30S. Para pelaku gerakan itu pun tidak pernah memberi embel-embel /PKI dalam gerakan yang mereka lancarkan pada dini hari 1 Oktober 1965 tersebut.

Entah disengaja atau tidak, terkesan dilupakan hubungan kausalitas atau sebab akibat dari peristiwa fenomenal tersebut. Padahal segera setelah gerakan tersebut ditumpas oleh Angkatan Darat—waktu itu di bawah pimpinan Soeharto—terjadi malapetaka nasional yang sangat mengerikan, bahkan itu masih terasa sampai saat ini. Serentetan tragedi sosial kemanusiaan terjadi di hampir seluruh penjuru negri yang terkenal ramah ini. Tercatat lebih dari 1.000.000 orang dibunuh dan dipenjarakan tanpa proses pengadilan saat itu. Barangkali ini merupakan salah satu peristiwa dunia terdasyat di abad ke-20.

Adalah NH. Atmoko, matan aktivis PNI, orang yang—boleh dibilang pertama—berani menuliskan luka bangsa tersebut. Dengan berbekal catatan harian yang ditulis pada sobekan-sobekan kertas dan bungkus rokok, Atomoko berusaha untuk berbagi cerita dengan pembaca tentang berbagai pengalaman pahit yang dia rasakan sebagai akibat dari peristiwa G30S.

Pada penghujung tahun 1965 Atmoko teman-temannya ditawan, diinterogasi, dan disiksa. Mereka semua di-PKI-kan, meskipun sama sekali tidak memliki hubungan dengan partai tersebut, termasuk Atmoko, sebelum kemudian dibawa ke LP Batu, Nusakambangan. Selama berada di penjara mereka diperlakukan tidak lebih dari seekor babi. Mereka ditempatkan dalam buih yang sungguh tidak layak untuk ditempati oleh seorang manusia. Setiap hari mereka mendapatkan teror dan siksaan dari penjaga penjara. Tidak jarang juga dipertontonkan kepada mereka teman-teman mereka sesama tapol dibunuh. Kemudian mereka disuruh untuk mengubur mayat-mayat teman mereka sendiri tanpa ada prosesi dan pembungkus apapun.

Itulah sekelumit kenyataan yang terjadi pada para tapol. Betapa kejinya bangsa kita yang selama ini sudah mengaku memiliki budaya yang luhur. Begitu mudahnya orang disiksa bahkan dibunuh hanya karena dikatakan PKI. Padahal hingga saat ini saja persoalan mengenai siapa pelaku utama dari G30S, masih belum menemui kesepakatan. Oleh karena itu, patutlah kiranya buku yang berjudul banjir darah di kamp konsentrasi ini kita aprsiasi bersama.

Kehadiran buku ini bukan semata untuk membuka luka bangsa dan memupuk dendam sejarah, melainkan sebagai salah satu upaya rekonsiliasi sejarah. Dengan demikian, sejarah bukanlah sekedar pengetahuan antikuariat yang mengasikkan dan omong kosong belaka, tetapi kearifan untuk memahami masa kini dan merintis masa depan.