Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman

gambar
Rp.60.000,- Rp.45.000 Nett
Judul: Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman
Penulis: Tim Buku TEMPO
Penerbit: KPG, 2016
Tebal: 134 halaman
Kondisi: Bagus (Ori Segel)

“Pemimpin berarti suri tauladan dalam segala perbuatannya…”

Boleh jadi, inilah, kata-kata terkuat yang ada di buku ini. Sebenarnya ini adalah coretan tangan bertanggal 2 Juli 1949, di sebuah rumah di Pulau Bangka. Sepintas tak istimewa kecuali karena ditulis oleh seseorang yang harum dan besar namanya dalam sejarah Bangsa Indonesia: Mohammad Hatta.

Hatta dilahirkan oleh Saleha Djamil di Desa Tajungkang, Bukittingi pada 12 Agustus 1902. Ayah beliau Haji Mohammad Djamil. Hatta meninggal di Jakarta 14 Maret 1980 meninggalkan orang-orang yang mencintainya, kenangan dan keteladanan seperti petikan tulisannya di atas yang bersemangat.

Mohammad Hatta adalah sosok yang kuat dalam tiga hal:

Seorang religius Semasa kecilnya Hatta belajar mengaji kepada Syekh Mohammad Djamil Djambek sampai mengkhatamkan Al-Qur’an. Tak pernah alpa menghadiri majelis beliau di surau, selepas belajar di Europeesche Lagere School (ELS). Saat belajar di Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs (MULO) di Padang, Hatta juga memperoleh bimbingan agama dari Haji Abdullah Ahmad. Bersamaan dengan itu Hatta mengenal Jong Sumatranen Bond dan mendengarkan ceramah dari tokoh-tokoh agama dan pergerakan.

Selama hidupnya Hatta dikenal sebagai sosok yang taat agama, menjaga sholat dan menghargai waktu, selain kesederhanaannya. Saat pengasingannya bersama Sutan Sjahrir di Banda, hari-harinya dihabiskan dengan diskusi, jalan-jalan ke perkebunan, belajar, membaca buku dan menulis untuk untuk surat kabar. Bahkan saking disiplinnya, Hatta dijadikan jam bagi para pekerja perkebunan pala. Mereka menandai kemunculan Hatta sebagai jam lima, yang berarti saatnya berhenti bekerja.

Kelak, pemahamannya terhadap nilai-nilai agama juga mempengaruhi cara dan sikapnya dalam kesehariannya maupun berpolitik.

Seorang akademisi Pendidikan tinggi Hatta adalah Rotterdamse Handelshogeschool – sebuah sekolah ekonomi bergengsi di Belanda. Hatta masuk saat usia 19 tahun. Di sanalah Hatta bertemu dengan sesama pelajar Indonesia yang memiliki semangat untuk memerdekakan Indonesia dari tangan Belanda melaui wadah Perhimpunan Indonesia. Hatta pernah menjadi ketuanya. Jadilah Hatta sebagai seorang doktor ekonomi dan aktivis pergerakan. Sikapnya yang tegas menentang penjajahan kolonial membuatnya dipenjara oleh pemerintah Belanda.

Ia menaruh perhatian yang tinggi dalam ilmu pengetahuan. Kecintaannya terhadap buku sudah tidak perlu diragukan lagi. Bacaan bukunya melimpah. Itulah amunisinya, untuk membuat tulisan-tulisanya menjadi senjata yang tajam dan menggetarkan. Apalagi Hatta juga fasih berbahasa Belanda, Inggris, Perancis dan Jerman, membuat tulisan dan pidatonya memiliki gaung internasional.

Uniknya, emas kawin untuk menikahi istrinya, Rahmi, pada November 1945 adalah buku! Buku Alam Pikiran Yunani yang ditulisnya sendiri. Memang Hatta!

Sedangkan perhatiannya terhadap dunia ekonomi hadir lewat koperasi yang kita kenal hingga saat ini.

Seorang negarawan Ia mencintai negerinya. Bersama Sukarno ia menjadi proklamator kemerdekaan Indonesia. Selanjutnya mereka dikenal sebagai Dwitunggal karena menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia. Tetapi mereka berbeda dalam banyak hal. Pertentangan mereka tampak jelas ketika Sukarno menolak mengesahkan Maklumat X yang diteken Hatta untuk meletakkan sistem multipartai dan demokrasi parlementer. Tahun 1956 Sukarno malah mencanangkan Demokrasi Terpimpin sambil berseru, “Marilah sekarang kita kubur semua partai.”

Hatta mengecam konsep Sukarno ini sebagai bentuk kediktatoran. Dan perpecahan pun tak terelakkan. Akhirnya, tahun 1956 Hatta mengundurkan diri dari pemerintahan.

Meski tidak lagi di pemerintahan, Hatta tak kehilangan kekritisannya. Lewat forum-forum dan tulisan-tulisannya di media massa ia mengkritik sikap politik Sukarno dan pengelolaan Negara yang tidak semestinya. Akibatnya pada tahun 1960 sejumlah surat kabar dibredel penerbitannya. Selanjutnya Hatta menggunakan cara menulis surat pribadi kepada Sukarno agar tak menyusahkan orang lain. Ini dilakukannya pada tahun 1957-1965, saat Sukarno menjadikan dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup.

Di luar segala perbedaan tersebut, Hatta dan Sukarno adalah teman satu sama lain. Pertemuan terakhir mereka adalah saat Hatta menjenguk Sukarno yang diopname di rumah sakit pada 19 Juni 1970. “Hatta, kamu di sini?” Tanya Sukarno. “Ah, apa kabarmu, No?” jawab Hatta sambil menyalami tangan Sukarno dengan hangat.

Hatta terdiam, dan Sukarno berlinangan air mata. Ketika saatnya berpisah, Hatta masih berat melepaskan tangan Sukarno. Dua hari setelah pertemuan itu, Sukarno meninggal dunia.

Hatta, di antara bapak pendiri bangsa, bersama-bersama yang lain merasakan suka dukanya perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Pembuangannya ke Banda, Bangka dan Digul pun tetap memiliki kesan dan pesan berharga. Seseorang dengan pendidikan eropa, tapi tak kehilangan jati dirinya. Kaulah anak cie pamainan mato (anak yang pada dirinya terpendam kebaikan, dan perangainya mengundang rasa sayang). Tak salah jika bangsa Belanda pun menamakan salah satu jalannya dengan namamu, Mohammed Hattastraat.
Pesan Sekarang