Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Membongkar Kuasa Media

Judul: Membongkar Kuasa Media
Penulis: Ziauddin Sardar
Penerbit: Resist Book, 2008
Tebal: 178 halaman
Kondisi: Bekas (bagus)
Stok kosong

Di tengah gagap-gempita arus informasi global sekarang, sulit sekali kita lepas dari jeratan kuasa media. Setiap hari, selama berjam-jam kita menonton televisi, mendengarkan radio, membaca surat kabar dan majalah, menonton bioskop, duduk di depan layar radio atau berselancar di internet. Media memberi pengaruh yang sangat kuat dalam jejak hidup manusia.

Ya, media merupakan komoditas melimpah yang paling strategis dijadikan lahan penelitian pada era informasi global ini. Media menjadi alat strategis untuk mencipta budaya dan peradaban baru. Nalar publik bisa tercipta menjadi konsumeris, hedonis, dan matrialis, kalau institusi media menyajikan berita yang mengarah ke sana. Nalar publik juga tercipta menjadi kritis, progresif, visioner, dan religius, kalau media cenderung seperti itu.

Asumsi demikian semakin kuat, tatkala futurolog Amerika Serikat, Alvin Toffler, mengguncangkan dunia dengan tesis pada zaman modern, apalagi memasuki millenium ketiga, manusia akan memasuki era baru: era informasi global. Siapa yang memegang akses informasi, maka dialah yang akan berkuasa dan menentukan arah perjalanan umat manusia. Sebaliknya, siapa yang gagal menangkap akses tersebut, maka dia hanya akan menjadi ‘’pecundang’’, karena setiap gerak langkahnya dimonitor kemudian digerakkan penguasa media informasi.

Di tengah jerat kuasa media inilah, Ziauddin Sardar berusaha membongkar arus kuasa media yang menghegemoni jejak kuasa hidup manusia. Sardar berusaha melacak relasi yang kompleks antara media, ideologi, pengetahuan, dan kekuasaan. Sebuah penjelajahan yang mencerahkan tentang sejarah media, industri media, dan riset-riset media. Tidak hanya itu, Sardar juga membedah teknik analisis film secara kritis, dekonstruksi iklan serta mengenali bagaimana media membentuk opini publik dan melakukan imprealisme budaya.

Yang menarik dari sajian Sardar adalah ketelitian dan kedalamannya dalam menganalisis teks-teks media dan kebudayaan kemudian meneliti institusi media dan industri budaya. Objek tersebut sangat menarik karena dalam analisis dan hasil penelitian akan menghasilkan pemahaman besar tentang dunia media dan budaya di era posmodernisme. Dalam objek tersebut, penelitian semakin menarik akan melibatkan beragam diskursus keilmuan kontemporer, semisal filsafat, sosiologi, antropologi, komunikasi, psikologi, bahkan juga religion studies. Ini yang membuat kajian buku ini semakin kaya dengan khazanah keilmuan, yang diliputidengan kajian multi-interdisipliner.

Berbagai disiplin keilmuan tersebut akhirnya akan membangun kerangka pikir yang mengarahkan peneliti pada pemahaman besar; bahwa kajian media dan budaya sarat dengan nilai, makna, dan disiplin kehidupan. Kerangka besar ini akan membantu publik dalam memotret berbagai fenomena mutakhir yang terus berubah setiap saat.

Era informasi global yang tidak diberangi dengan kajian media dan budaya yang strategis, tentu akan mengalami kestagnanan bahkan mengarah fragmentasi kegagalan. Lembaga-lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga apa pun yang sekarang sedang dikepung budaya pop dan gempuranarus informasi global, butuh siasat-siasat strategis yang ditopang dalam kajian media dan budaya.

Kepentingan Media
Kepentingan media bukan sekadar memberikan informasi faktual kepada khalayak, tetapi media juga bermain dalam arus kepentingan ideologi yang  berkelit-kelindan dengan jalinan kuasa.

Lihatlah Amerika Serikat, misalnya, yang memainkan industri media dalam “membabtis” jaringan Taliban sebagai actor terorisme global. Padahal AS sendiri sebenarnya “teroris” sejati yang telah membunuh dan menjungkirbalikkan hak asasi manusia di berbagai negara. Tetapi karena AS bisa menutup pintu kemediaan, maka dosa AS yang sangat besar tersebut tak bias terendus dalam tingkat global. Seolah AS adalah pahlawan, padahal AS sendiri sebenarnya penjahat kemanusiaan yang sangat tragis. Ya, AS mampu menjadikan media alat untuk menjustifikasi berbagai tindakan pelanggarannya.

Kalau dibaca dalam analisis posstrukturalisme, regulasi makna media yang ditafsirkan dalam psikoanalisa kaum industrial, telah menjustifikasi makna sepihak yang arogan. Tragisnya, makna sepihak tersebut kemudian digeneralisasi dalam tafsir publik secara universal. Tafsir itu terus diulang-ulang dengan berbabagi argumentasi rasional, dan didukung teks-teks baru yang lebih meyakinkan, dan diklaim lewat sebuah adegan kolosal berkelanjutan, sehingga tafsir sepihak tersebut masuk dalam ruang imajiner publik, dan kemudian menjadi kenyataan bawah alam sadar yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk menjustifikasi fakta serupa kalau terjadi (halaman  59).

Sementara dalam pembacaan analisis ekonomi politik, tafsir media merupakan konstruksi politik yang direkayasa semaksimal mungkin dalam mendulang keuntungan yang berlipat ganda.

Kuasa industrialisasi global dengan segala bentuknya akan terus membayangi secara telanjang perjalana media sebagai pusat informasi publik. Para aktivis media, bagi Sardar, harus melakukan gerakan spektakuler menjaga identitas media dalam membaca fakta secara independen. Jangan sampai media justru menjadi alat kuasa industri dalam menjerat tragedi-tragedi baru yang mengenaskan.