Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pembangunan Bangsa

Judul: Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pembangunan Bangsa: Menuju Dimensi Baru Pembangunan Indonesia
Penulis: B. J. Habibie
Penerbit: CIDES, 1995
Tebal: 624 halaman (hard cover)
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Jakarta

Sebenarnya ini buku lama. Terbitan tahun 1995 oleh CIDES (Center for Information and Development Studies) dengan pengarang B. J. Habibie. Sudah bisa ditebak bahwa dari judul dan pengarangnya, buku ini akan membahas mengenai teknologi dan seputarnya. Tetapi bukan pada takaran teknis, melainkan lebih banyak membahasa strategi. Terlepas dari semua permasalahan politik dan kenegaraan yang membelit beliau, serta umur terbitan buku ini yang sudah lebih dari 10 tahun lalu, sebenarnya masih banyak pemikiran-pemikiran beliau yang layak disimak. Dan sampai sekarang masih layak disimak dan dijadikan kajian bersama untuk pembangunan bangsa (sesuai judul bukunya). Buku ini ditulis beliau pada waktu menjabat menristek dan beberapa jabatan penting kenegaraan lain. Dan secara tersirat bisa terlihat bahwa masih banyak ide-ide pemikiran beliau yang mungkin belum terlaksana sesuai keinginan beliau pada waktu itu hingga sekarang. Ide mengenai masalah teknologi, ekonomi dan pendidikan bangsa.

Yang disoroti pada bagian pertama adalah mengenai pembangunan bangsa. Menurut beliau, pembangunan harus dilakukan dengan orientasi nilai tambah dan menggunakan basis teknologi serta sumber daya manusia. Ini ditekankan di awal buku mungkin karena beliau mempunyai pemikiran bahwa perlu ditekankan terhadap penghargaan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Bahwa peningkatan kekayaan dan kemakmuran berakar pada peningkatan produktivitas, dan bahwa kunci bagi produktivitas adalah ilmu pengetahuan dan rekayasa. Berikut adalah beberapa kutipan :

Bila kita berbicara tentang teknologi canggih, bukan teknologi canggih yang kita kejar. Salah kalau dikira bahwa saya seorang insinyur kebetulan ahli konstruksi pesawat terbang hanya cinta teknologi canggih. Karena itu, apakah lantas hanya teknologi canggih yang ingin dikembangkan, dan hanya itu yang didasari untuk pembangunan bangsa? Itu tidak benar, yang saya sasari adalah proses nilai tambah, proses nilai tambah dari materi yang harganya rendah, dengan segala ketrampilan dengan usaha dari manusia, bisa dijadikan produk yang nilainya lebih tinggi, itu proses nilai tambah.

Atau dengan perkataan lain memanfaatkan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tepat dan berguna tanpa memilih apakah itu canggih atau tidak canggih yang lebih penting bahwa teknologi yang tepat dan berguna itu dapat dimanfaatkan untuk proses nilai tambah, dapat mengubah materi itu dengan cepat untuk mendapatkan nilai yang setinggi-tingginya dengan mengontrol kualitas, biaya, dan jadwal secara terus-menerus agar produksi lancar jalannya.

Itulah pentingnya nilai tambah. Begini diilustrasikan sederhana oleh beliau mengenai bagaimana memahami arti sebuah nilai tambah (added value). Jika sebuah produksi celana jeans dilakukan, maka teknologi dan nilai yang dihasilkan cukup rendah jika dinilai dalam kerangka sebuah bangsa. Dan persaingan di pasar pun sudah banyak. Sehingga mudah tergusur. Berbeda dengan produksi pesawat terbagng atau satelit. Tidak banyak yang membuat dan teknologinya canggih. Nilai tambah yang dihasilkan tentu lebih baik. Mengenai contoh teknologi, beliau mencontohkan IPTN pada waktu itu.

Sebenarnya bukan hanya iptek saja, tetapi ada unsur lain yakni sumber daya manusia (SDM) yang perlu dibangun. Beliau sempat mengutarakan dalam buku bahwa membangun teknologi canggih dan SDM yang baik bukanlah upaa yang tidak mungkin di Indonesia, terbukti dengan IPTN waktu itu. Masyarakat membutuhkan dua hal, yakni sekolah sebagai proses penciptaan nilai tambah untuk SDM, dan industri atau perusahaan sebagai tempat melaksanakan proses tambah dan biaya tambah. Penekakan beliau bahwa jika seseorang telah sekolah tinggi dan bekerja di sebuah instansi, maka dia tidak boleh hanya mengendalkan gelarnya lantas tidak berbuat banyak untuk kepentingan bangsa. Tetapi harus memberikan andil terhadap nilai tambah kemakmuran bangsa.

Ada sebuah cerita yang dipaparkan. Berpijak pada kebijakan negara maju seperti Jepang. Pada awalnya mereka benar-benar mandiri dan sampai sekarag. Segala kebutuhan domestik di-supply semua oleh industri domestik. Tidak diperkenankan produk-produk domestik digusur oleh produk dari luar. Ketika produk-produk domestik telah mencapai kapasitas produksi yang bisa diekspor, maka dilakukan ekspansi ke luar. Sebagai contoh ketika produk Jepang baik Toyota atau Honda atau Nissan dibuat untuk pasaran dalam negri sendiri, pasar Jepang ditutup, semua tidak boleh masuk. Lalau kenapa kenapa pasar kita masih mau direbut orang lain? Dengan dalih lapangan kerja untuk anak cucku kelak, mengepa pasar itu masih diserahkan dengan mudahnya oleh asing?

Falsafah kerja ilmuwan. Di negara ini sudah menjadi rahasia umum bahwa profesi peneliti masih bisa dikatakan jarang. Bahkan banyak yang mengatakan bahwa apresiasi terhadap hasil penelitian kurang, terbukti dengan banyak yang mengatakan sebagian peneliti Indonesia memliih kerja di luar karena masalah gaji. Penulis juga menyinggung masalah ilmuwan ini. Beliau mengetakan sesungguhnya peneliti atau ilmuwan memepunyai posisi penting dalam sosial budaya kemasyarakatan, walaupun kadang tidak secara langsung. Perannya adalah sebagai agent of social change. Lihat saja ketika ada penemuan teknologi baru misalnya, maka budaya konsumsi masyarakat terhadap teknologi tersebut akan mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat secara lambat laun.

Peranan pendidikan dipandang penulis sangat besar. Universitas adalah tempat yang paling cocok untuk mendidik sarjana baru agar mudah diserap pasar. Sampai saat ini pun, masalah penyerapan tenaga kerja di lapangan masih sering dipertanyakan. Mungkin seringnya negara ini mungkin terlalu berpijak pada negara barat. Dengan dalih mengikuti standar internasional atau apapun itu, kepentingan internal pendidikan yang termarjinalkan kadang terabaikan. Semntara banyak anak putus sekolah da menjadi gelandangan, sekolah yang katanya ingin bertaraf internaisonal atau semacamnya mulai dirintis. Ini pembangunan tidak merata atau sekadar gengsi?

Terakhir, yang ingin dikutip dari buku ini adalah pernyataan beliau mengenai pembangunan teknologi tepat guna dan pembangunan teknologi pedesaan.

Dalam keadaan mendesaknya masalah-masalah kehidupan konkrit yang dihadapi bagian dunia yang masih terbelakang, tidak banyak gunanya menggolong-golongkan teknologi ke dalam ”teknologi sederhana” dan ”teknologi tinggi”. Jauh lebih berguna mempertanyakan teknologi manakah yang dapat memecahkan suatu masalah yang konkrit, tanpa memperdulikan apakah teknologi yang tepat itu adalah teknologi primitif, menengah atau canggih, dan tanpa mempersoalkan dimana teknologi tersebut pertama kali dikembangkan.