Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Syahwat Keabadian (Friedrich Nietzsche)

Judul: Syahwat Keabadian
Penulis: Friedrich Nietzsche
Penerbit: Komodo Books, 2011
Tebal: 192 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong


Friedrich Nietzsche. Siapa tak kenal manusia satu ini. Dialah si pembunuh Tuhan. Dari kematian tuhan itu pula, maka lahirlah deretan panjang pembongkaran, penggulingan, penghancuran dan pemusnahan pola-pola kebakuan. Ya. Logika raksasa kekagetan. Peggelapan sekaligus gerhana matahari. Dunia menjelma ladang kegaduhan, keriuhan, dan kepanikan yang amat sangat. Histeria. Begitulah Nietzsche. Dialah yang filosofis. Dialah yang puitis. Ia mengaku cuma pandir, cuma penyair (p.109-117). Tetapi, dialah yang nihilis sekaligus yang estetis. Dialah sang terkutuk sekaligus sang terberkati. Dialah yang melantik diri sebagai tuhan dan hantu zaman. Dialah ini dan itu.

Dengan demikian, jangan mengharapkan Nietzsche berpuisi dengan rinai hujan air mata. Nietzsche berpuisi dengan dinamit. Dinamit syahwat yang meledak dari palung kesunyian jiwanya. Nietzsche mengekalkan kehendak untuk berkuasa dalam ambang ambiguitas, kontradiksi, dan paradoks tak terperikan. Berikhtiar terus-menerus. Sekaligus diskontinu. Karena itu, dialah penghujat sekaligus juru selamat. Namun, dia juga halilintar dan gempa bumi. Ia melegitimasi ketegangan, permusuhan, hingga penaklukan. Lantas mengaduk-aduk segala insting yang dikendalikan kekuatan dominan inteligensi, suara hati, hingga dorongan birahi. Semua dilebur. Jangan heran bila tercipta chaos besar dan monumental. Bumi pun gonjang-ganjing. Sebab ia menggetarkan pucuk-pucuk langit dan ujung-ujung benua. Maka apa yang ditinggalkannya adalah apa yang paripurna. Seperti sosok agung purnamanusia, sang manusia atas, Übermensch itu.

Begitulah. Nietzsche telah menghapus seluruh cakrawala pemikiran filsafat modern dengan jingkrak-jingkrak bahagia, melalui aforisme dan/atau puisi. Ia tak enggan mereguk habis seluruh samudera kesepian dunia. Dan, Nietzsche membuka tabir-tabir pemikiran baru setelah melantak seluruh mazhab yang pernah ada. Ia benturkan segala definisi dan bentuk kemapanan hingga hancur-lebur. Dari tiap kepingan itu pun lahirlah perenungan-perenungan besar; semisal tubuh, kesadaran, dan kekuasaan. Karena dentuman agung syahwat intelektual itu pula maka ia menjadi manusia paling dicela sekaligus paling dipuja. Sebab ia tak pernah alpa membawa debar dalam syahwatnya, yakni: debar yang asing, ganjil, dan mengerikan.

Ya! Nietzsche telah meniup sangkakala nihilisme. Tersibaklah senjakala bagi modernisme. Dunia pun menggigil, menjelma gurun nihilitas. Vakumnya nilai-nilai. Terhampar di hadapan manusia. Sistem kepastian religius (kristianitas) rontok berkeping-keping. Merebaklah kerumunan yang kehilangan akar-akar moralnya dan mengalami disorientasi. Ia menyebarkan teror kebingungan sejak menyesatkan petunjuk arah mata angin kehidupan. Tak ada kebenaran!, teriaknya. Tak ada yang absolut! Yang ada hanya realitas yang terus berubah. Tak pernah statis untuk segala waktu dan tempat. Maka, dengan yakin ia meminang cintanya: Keabadian yang senantiasa berulang, dengan syahwatkan keabadian/ dan cincin kawin segala cincin/ cincin sang Keberulangan! (p.93-107).

Dan, saya kira, Nietzsche sangat sarius dengan model filsafatnya. Maka, persetan dengan Bertrand Russel, yang menganggap Nietzsche sebagai filsuf yang tak serius. Saya kira tak ada yang lebih gigih dari manusia ini memaksimalkan volume otak dan intuisinya untuk menafsir makna hidup. Bahkan keseriusan itu teramat sublim bagi lelaki berkumis panjang ini. Karena itu ia dekat dengan naluri kegilaan. Sangat dekat. Memang banyak yang tak mengerti dengan Nietzsche. Tapi itu dia, Nietzsche pun tak ingin dimengerti. (Seperti review yang tak ingin dimengerti ini). Sebab Nietzsche hanya memaklumkan sebuah hidup tanpa alasan, tanpa arah, sekaligus sebagai fakta yang buta (factum brutum). Baginya, yang ada cuma perspektif-perspektif yang terus berubah, yang khaotis, dan terus mengalir.

Dengan segala 'kegilaan' itu lantas timbul pertanyaan: Apakah Nietzsche dapat kita katakan atheis sementara hampir seluruh hidupnya digunakan untuk merengkuh misteri ketuhanan itu sendiri? Saya tak yakin. Nietzsche tak henti-henti menguji batas-batas kebebalan dan kemampatan daya tahan diri untuk 'berkenalan' dengan Tuhan Yang Tak Dikenal – sejak masa mudanya.Ingin kukenal Kau, wahai Yang Tak Dikenal,/ begitu Nietzsche, Yang cengkerami pusat jiwaku,/ Yang lintasi hidupku bagai badai,/ Kau Yang Tak Tergapai, yang sejenis denganku!/ Ingin kukenali Kau, sendiri jadi abdiMu. (p.49)

Itulah hasrat terkuat Nietzsche yang tak habis-habisnya berjuang. Sendiri. Dan, ia berjuang bukan untuk berada, melainkan ia berada untuk berjuang. Berperang. Bukan saja berperang melawan Tuhan, namun sekaligus berperang melawan gerombolan dombawi dan melawan syahwatnya sendiri. Satu lawan semua. Tujuannya untuk menguji dan menembus batas-batas rasionalitas, serentak mengevaluasi nilai-nilai keyakinan yang jamak dalam masyarakat kesekarangan. Kira-kira begitu pesan buku Syahwat Keabadian ini.

Syahwat Keabadian ini menawarkan serangkaian pilihan ini dan itu untuk menjalani hidup, seperti yang pernah disabdakan sang nabi Zarathustra ini: "apakah hidup ini mengerikan atau menyenangkan, membahagiakan atau membabani, terimalah itu dan katakan Ja-Sagen, 'Ya' terhadap kehidupan." Nietzsche telah menjawab 'Ya' dan 'Amin' (p.93-107) kepada sang kehidupan, dan - ecce homo! lihatlah manusia ini! - ia telah menjadi gila.