Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Tafsir(an) Land Reform Dalam Alur Sejarah Indonesia

Judul: Tafsir(an) Land Reform Dalam Alur Sejarah Indonesia: Tinjauan Kritis Atas Tafsir(an) Yang Ada
Penulis: Tri Chandra Aprianto
Penerbit: Karsa, 2006
Tebal: 146 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Jakarta


Kalau kita memperhatikan isu, program atau materi kampanye pejabat dan politisi kita, jarang sekali bahkan tidak pernah kita mendengar mereka mengusulkan land reform, sebuah program yang pernah sangat populis di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Mereka lebih senang mengumbar janji yang tidak ada kaitannya dengan program yang distigma sebagai alat politik partai komunis itu. “Gebrakan” itu akhirnya muncul pada pemerintahan SBY melalui kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto yang mengumumkan akan meredistribusi tanah seluas 8,15 juta Ha kepada rakyat. Lalu apakah kebijakan ini akan kembali mengulangi konflik sampai terjadinya tragedy kemanusiaan seperti era 1965 lalu? Buku ini akan menuntun kita ke arah jawaban itu.

Dalam beberapa pertemuan sejarawan akhir-akhir ini sering muncul perdebatan mengenai perlunya “pelurusan” sejarah Indonesia. Perdebatan umumnya terjadi selain penggunaan kata-kata pelurusan yang dianggap tidak tepat adalah peristiwa sekitar tahun 1960-an sampai puncaknya yang kita kenal dengan nama Gerakan Tigapuluh September (G-30 S). Pada masa Orde Baru istilah ini selalu diikuti oleh kata PKI di belakangnya (G-30 S/PKI). “Pelurusan” dianggap perlu karena fakta mengenai sejarah selama ini dianggap banyak yang dimanipulasi oleh rezim sehingga informasi yang tersampaikan ke masyarakat tidak lengkap dan sepotong-potong. Pada akhirnya, informasi keliru yang terus-menerus di(re)produksi itu menjadi ingatan massa yang keliru pula.

Buku yang ditulis oleh Tri Chandra Aprianto, seorang sejarawan muda dari Universitas Jember ini merupakan salah satu dari upaya “pelurusan” sejarah Indonesia. Tepatnya dalam Praktek Pembaruan Agraria yang dikenal dengan nama Land Reform, sebuah agenda pemerintah yang dijalankan sejak tahun 1960-an. Landasan hukumnya adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Dalam perjalanannya, agenda yang pada awalnya bertujuan untuk menjamin hak dasar rakyat tani atas sumber daya agraria (bumi, air, ruang, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya) dan mengatur perolehan hasilnya demi kemakmuran rakyat itu, oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bagian dari tidakan yang melahirkan tragedi kemanusiaan 1965-1966. Sebuah peristiwa politik terbesar abad xx, dimana ratusan ribu nyawa dihilangkan tanpa melalui proses pengadilan dan menafikan nilai-nilai kemanusiaan (hlm xv). Jika mengikuti alur berpikir tersebut makan logikanya kemudian adalah agenda Land Reform merupakan bagian dari strategi politik PKI dalam merebut kekuasaan mengingat sampai saat ini mereka masih diangap pihak paling bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan itu. Setidaknya itulah yang disampaikan orde baru selama berkuasa. Hal senada juga dilakukan oleh beberapa ilmuwan yang melakukan penelitian seputar kejadian tersebut.

Ada yang terlupakan atau sengaja dilupakan berkaitan agenda Land Reform di Indonesia yang dalam bahasa Aprianto merupakan “penyakit” dari ilmuwan sosial (termasuk sejarawan) seringkali “mempermainkan” urutan waktu, bahkan tidak jarang a-historis. Kehadiran buku ini pertama-tama adalah untuk mendekonstruksi wacana yang sudah menjadi bagian dari ingatan masyarakat terhadap masa lalu soal Land Reform di Indonesia. Lalu menjelaskan ide yang mendasari upaya penataan ulang hak atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya agrarian Indonesia yang pada akhirnya mampu menjelaskan mengapa suatu pengetahuan (termasuk tentang masalah keagrariaan) dalam sejarah bisa (di)lahir(kan) dan (di)hilang(kan).

Upaya untuk menghadirkan yang terlupakan dan dilupakan adalah dengan dekonstruksi. Dekonstruksi itu dimulai dari sepuluh naskah publikasi hasil penelitian di beberapa tempat di Jawa dan Bali oleh ilmuwan asing dan domestik yang ditulis pada masa orde baru dan masa reformasi. Berbagai naskah publikasi itu memiliki kesamaan kesimpulan bahwa pelaksanaan agenda Land Reform memiliki kaitan dengan tragedi kemanusiaan 1965-1966. Keberadaan konflik dalam menjalankan pelakasanaan agenda land reform pada tahun inilah yang kemudian melahirkan tafsir(an) dari beberapa penulis bahwa telah berlangsung konflik horizontal masyarakat pedesaan, khususnya antara kekuatan politik muslim dan kekuatan komunis (hlm 85). Sayangnya, selain tidak ada penjelasan historisitas atas makna, lebih dari itu tidak ada penjelasan lebih lanjut mengapa harus ada tindakan yang sangat brutal yang menafikan nilai-nilai kemanusiaan (hlm 74). Dari kesepuluh naskah itu satu di antaranya adalah tulisan dari Aprianto sendiri. Satu hal yang cukup ganjil mengingat semangat penulisan buku ini adalah memberi tafsir(an) kritis atas tafsiran yang ada. Jadi, penulis menafsirkan tulisannya sendiri. Kelemahan yang lain adalah editing yang kurang sempurna sehingga, dalam catatan saya tak kurang dari tigapuluh kali kesalahan pengetikan kata. Juga desain cover yang dikemas kurang menarik.

Dalam khazanah penulisan ulang sejarah kita, Kehadiran buku ini sebagaimana yang disampaikan Endriatmo Sutarto dalam pengantarnya, sungguh tepat waktu, relevan, dan kontekstual karena baru-baru ini Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) melalui Peraturan Presiden (Perpres) no. 10/2006 telah memperoleh mandat untuk menjalankan tugas pemerintahan di bidang pertanahan baik nasional, regional, maupun sektoral. Sehingga, dengan mandat ini kita kembali ke khittah (back to basic) yaitu perspektif kebangsaan yang mengusung jiwa semangat “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya” sebagai sumber-sumber dasar kemakmuran rakyat (hlm vii).

Selain itu kita bisa mengevaluasi sejauh mana organisasi massa rakyat tani memiliki peranan dan partisipasi dalam proses penentuan kebijakan pemerintah terutama dalam masalah keagrariaan sekarang ini Dalam proses kemunculan Undang-Undang pokok Agraria (UUPA) perdebatan dan perselisihan di tingkat elit menyebar sampai ke tingkat massa rakyat. Namun, bukan berarti konflik horizontal terjadi karena hanya karena pengaruh kekuatan organisasi atau partai yang lebih besar apalagi sekedar menafsirkan bahwa konflik itu semata-mata karena persaingan ideologi antara PKI dengan kelompok non-PKI. Tafsir(an) seperti ini pada tingkat tertentu sebenarnya mengandung bias penjelasan historisitas yang tidak sekedar berhubungan dengan masalah isu keagrariaan, tapi juga pertama-tama telah menafikan keberadaan organisasi massa rakyat tani yang telah bergerak secara mandiri, dan pada aras tertentu bisa saja “menghilangkan” perspektif dari bawah. Dalam perkataan lain, hilangnya perspektif dari bawah berarti pula menghilangkan dinamika kehidupan sosial massa rakyat dalam proses sejarah, baik itu dalam hal apresiasi atas ekspresi politik, cita-cita ekonomi maupun angan-angan budayanya (hlm 101).

Lalu apakah studi-studi post kolonialis seperti ini bisa dikatakan pembelaan atas mereka yang “hilang”, (di)lupa(kan) dalam pengetahuan sosial di Indonesia dengan mencoba “menghadirkan” mereka sebagaimana kritik Aprianto si atas? Singkatnya apakah sejarah kemudian menjadi corong suara orang-orang yang kalah? atau subaltern, meminjam istilah Gramsci. Agaknya menarik peringatan Gayatri Chakravorty Spivak, ia mengatakan subaltern tidak bisa bicara, sekaligus memberi peringatan kepada gerakan intelektual postcolonial tentang bahaya klaim mereka atas suara kelompok-kelompok subaltern. Klaim-klaim semacam itu bersifat kolonial karena menganggap kelompok-kelompok subaltern sebagai kelompok yang "satu". Padahal, dalam kelompok subaltern penindasan juga dilakukan oleh orang-orang di dalam kelompok. Dengan demikian dikotomi antara penindas-dan ditindas dalam kategori struktural tergeser dengan sendirinya. Dekonstruksi yang diusung Aprianto akan lebih terasa “menggigit” apabila turut memperhatikan kenyataan seperti yang ditunjukkan Gayatri di atas. Sehingga ilmuwan sendiri dapat terhindar dari klaim sebagai pembawa suara dari bawah, rakyat, mereka yang kalah dan sebagainya.