Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Simbolisme Jawa (Budiono Herusatoto)

Judul: Simbolisme Jawa
Penulis: Budiono Herusatoto
Penerbit: Ombak, 2010
Tebal: 134 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok kosong 
 

Kebudayaan Jawa penuh dengan nuansa filofofis. Semua tercermin dalam ritual, khasanah literatur dan ajaran prinsip kehidupan. Dalam dunia akademis, kekayaan Jawa ibarat lahan yang yang tak pernah puso untuk dikaji. Lumbung gagasannya amat melimpah, dan mata air yang tak kunjung kering.

Sayang, kini kekayaan itu tak sepenuhnya kita miliki lagi. Dalam khasanah literatur misalnya, manuskrip-manuskrip ringan maupun karya yang menembus magnum opus, banyak yang telah hilang. Meski keraton Yogyakarta masih menyimpan, namun sebagian besar telah tertimbun di berbagai museum dan universitas di Belanda.

Tak ayal, kesempatan ini dimanfaatkan oleh para sarjana asing. Mereka mengadakan studi tentang Jawa karena kepincut (tertarik) dengan keunikan dan kompleksitas kebudayaannya. Beberapa diantaranya Zoetmulder, C. C. Berg, Benedict Anderson, dan Clifford Geertz. Ironi ini tentu menjadi tamparan keras bagi sarjana dan akademisi domestik.

Pada titik ini, Budiono Herusatoto merupakan satu dari sedikit sarjana berkualitas asal Indonesia yang mengkaji tentang Jawa. Dengan karya bertajuk Simbolisme Jawa ini, ia berupaya mengingatkan dan meneguhkan kembali akar tradisi ideal Jawa, lengkap dengan kajian analitis atas filosofi Jawa.

Buku ini kian penting dan mendesak ditengah zaman yang tergerus badai globalisasi. Badai yang berambisi menyeragamkan pola budaya dunia. Tampaknya, efek domino badai ini kian tampak. Misalnya, pituduh tradisi mulai ditinggalkan orang-orang Jawa. Dalam bahasa Jawa, Wong Jowo wus ora njawani. Orang-orang kebingungan dan dihantui oleh dua arus besar, yakni budaya lokal dan arus global. Inilah yang dikhawatirkan oleh Budiono.

Kondisi ini telah jauh diprediksikan oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita dalam Serat Kalatida. Mari kita simak seratnya. Mangkya darajating praja, Kawuryan wus sunyaturi, Rurah pangrehing ukara, Karana tanpa palupi, Atilar silastuti, Sujana sarjana kelu, Kalulun kala tida, Tidhem tandhaning dumadi, Ardayengrat dene karoban rubeda. (Situasi sekarang, sudah semakin merosot. Tatanan sosial telah rusak, karena tak ada yang dapat diikuti lagi. Banyak yang meninggalkan petuah-petuah lama. Orang cerdik cendekiawan terbawa arus Kala Tidha (jaman yang penuh keragu-raguan). Suasananya mencekam. Karena dunia penuh dengan kerepotan).

Maksud dari mengkaji Jawa bukan untuk menyemai bibit primordialisme, melainkan mengkukuhkan karakter, kepribadian dan nilai-nilai. Jika menurut Ki Hajar Dewantara budaya nasional merupakan puncak dari budaya daerah, maka Jawa memiliki modal besar ke arah itu.

Budiono mengajak pembaca menjelajahi belukar alam pikir dan tradisi Jawa. Tanpa mereduksi, penjelasan Jawa dirangkumnya dalam lima bab. Di dalamnya, kita akan berkecimpung dengan berbagai aspek kebudayaan. Tema-tema besar babagan (seputar) seni, politik, agama, tradisi, dan pandangan hidup, disampaikan secara gamblang dan mendasar. Kesemuanya, ketat dengan nuansa filosofis.

Lepas dari itu semua, banyak begawan jawa kuno yang menganggit (menyusun) karyanya dengan bahasa yang metaforis atau kiasan. Hal ini dilakukan karena kekayaan maknanya melampaui kekayaan bahasa yang ada. Misalnya bumi saya suwe saya mengkeret (Bumi kian mengecil). Kalimat tersebut sebetulnya menyampaikan “globalisasi”, istilah yang tidak ada dalam bahasa Jawa.

Dalam praktik religi juga demikian. Mengucap rasa syukur pada Tuhan tidak cukup dengan ucapan. Maka untuk disampaikan dengan cara bersujud. Materi, kata-kata kiasan, dan tindakan itulah yang dimaksud dengan simbol. Dengan bergumul simbol, ruang interpretasi akan terbuka. Dengan demikian, kepekaan nalar dan batin orang jawa akan terasah.

Simbol-simbol dalam tradisi hidup dan karya-karya Jawa, sebagai kesatuan sitem filsafat Jawa, bisa merepresentasikan corak filsafat dunia timur. Demikian yang ditulis oleh Zoetmulder dimajalah Jawa tahun 1940. Ya, dengan filsafatnya, Jawa mencapai derajat kesempurnaan.

Laiknya filsafat timur lain, seperti cina, india, maupun jepang, dalam filosofi Jawa, manusia juga dihayati sebagai bagian yang menyatu dengan semesta. Dengan sikap hidup yang manunggal itu, orang Jawa memahami bahwa dunia fisik hanya percikan dan jalan menuju realitas. Justru yang paling hakiki adalah sesuatu dibalik materi dan tindakan manusia.

Karena banyaknya simbol dalam tradisi dan ajaran hidup Jawa, akibatnya, Jawa acapkali dituduh tidak rasional. Apalagi situasi zaman menuntut cara berfikir yang logis dan butuh penjelasan ilmiah. Padahal, kita tidak bisa menggunakan perspektif ala Barat untuk memandang tradisi timur. Sebab, akar budaya, dasar pemikiran, dan alur berfikir yang digunakan sudah sangat berbeda. Bagi Zoetmulder, filsafat Jawa terkesan rapuh karena belum tersistematisasi secara utuh.

Menurut hemat saya, buku ini menjadi Jawaban atas kontradiksi dan kesan negatif filsafat Jawa. Budiono Herusatoto dengan baik menelusup jauh dalam relung Jawa malalui sendi-sendi simbolismenya. Menariknya, ia berhasil mensistematisasi akar tradisi dan pandangan hidup Jawa dengan sangat rapi. Perilaku dan ajaran yang terkulai dalam simbolisme, mencerminkan kompleksitas kebudayaan Jawa.

Jawa mengajarkan sikap hidup yang selaras dengan dunia, Tuhan dan kedekatan dengan kesadaran. Itu semua diwujudkan dalam sikap batin yang selalu eling lan waspodo (sadar dan waspada) akan segala tindakan tindakannya.

Sikap hidup diataslah membekali Jawa dalam menghadapi kebudayaan luar. Tengok saja ketika Jawa menyambut kedatangan Hindhu, Budha, Islam, dan Kristen. Jawa tidak serta bersalin-rupa dan larut dalam arus besar, Jawa tetap njawani (men-Jawa). Kini, semoga buku ini mampu memanggul beban besar untuk mengembalikan identitas Jawa. Sehingga, kita bisa menyambut globalisasi dengan kepribadian yang kuat dan tidak terseret gelombangnya. Dengan demikian, semoga orang Jawa kembali njawani. Tentunya dengan kembali menjunjung tinggi simbolisme dalam kebudayaan Jawa.