Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Imaji Media Massa

Judul: Imaji Media Massa (Konstruksi dan Makna Realitas Sosial Iklan Televisi dalam Masyarakat Kapitalistik)
Penulis: Burhan Bungin
Penerbit: Jendela, 2001
Tebal: xvi + 256 Hlm
Kondisi: Bagus

Harga: Rp 80.000,- (belum ongkir)
Order SMS: 085225918312

Selama ini iklan televisi telah banyak menumbuhkan kegairahan sosiologis dalam interaksi sosial di antara anggota masyarakat, sebagaimana parodi-parodi (bagian dari interaksi verbal) yang terdengar di masyarakat. Misal, ‘ah teori’ (iklan sampo Clear), ‘pas susunya’(Torabika) dll.

Iklan televisi adalah wacana publik dalam ruang sosiologis yang telah menghidupkan diskusi-diskusi tanpa henti di kalangan anggota masyarakat. Sekilas wacana iklan televisi ini menunjukkan adanya kekuatan media (khususnya televisi) di dalam mengkonstruksi realitas sosial, di mana melalui kekuatan itu, media memindahkan realitas sosial ke dalam pesan media, dengan atau setelah diubah citranya. Kemudian media memindahkannya lagi melalui replikasi citra ke dalam realitas sosial yang baru di masyarakat, seakan realitas itu sedang hidup di masyarakat.

Sebagai contoh, iklan televisi susu Dancow, edisi ‘aku dan kau suka dancow’(cepat besar). Pada awalnya ide iklan tersebut diangkat dari dialog seorang ibu dengan anaknya (sebuah realitas sosial lama). Namun begitu dialog itu terjadi dalam media televisi, maka telah terjadi perubahan citra, bahwa Dancow bukan lagi susu sembarangan, Dancow adalah susu yang luar biasa, apalagi pada akhir dialog, pada saat sang anak sehabis minum segelas Dancow lalu ia memberitahukannya kepada ibunya, kalau tangannya telah menyentuh telinga yang maknanya dia telah cepat besar hanya dengan meminum segelas Dancow saja, kemudian ada kata-kata yang diperdengarkan, ‘aku dan kau suka Dancow’.

Realitas sosial yang menunjukkan anak itu cepat besar karena minum susu Dancow adalah sebuah realitas media yang sengaja dikonstruksi oleh pembuat naskah iklan dan pemesan iklan melalui penciptaan realitas baru, yaitu susu Dancow cara cepat membesarkan anak, karena susu Dancow sajalah yang mengandung nutrisi, vitamin, kalori, dan zat-zat lengkap lainnya yang paling sempurna untuk kebutuhan pertumbuhan anak-anak.

Iklan Dancow tersebut mengkontruksi sebuah realitas sosial bahwa dengan minum susu Dancow, anak akan cepat tumbuh besar. Namun, pada kenyataan lain bahwa tidak semua realitas sosial dapat dikonstruksi oleh iklan televisi. Ada banyak keputusan pemirsa, justru diskenario oleh faktor lain yang berasa dari luar pengaruh konstruksi iklan dan media massa, seperti teman, orang tua, salesman, kebutuhan yang mendesak, kebiasaan dan fanatisme, tidak ada pilihan dan lain sebagainya.

Penulis memilih konstruksi sosial sebagai kerangka berpikir utama dalam buku ini, disamping menggunakannya sebagai sebuah konsep teori. Namun di dalam menjelaskan konstruksi sosial, serta untuk memperjelas kerangka berfikir konstruksi sosial, penulis menggunakan beberapa konsep teori yang lain, seperti teori interaksi simbolis, semiotika, teori-teori media massa, teori dan konsep kapitalisme.
Iklan adalah bagian dari masyarakat kapitalis yang oleh Al Ries dan Jack Trout, diartikan sebagai ‘pencipta ilusi’. Apabila Konstruksi sosial dilihat sebagai bagian dari hegemoni ‘penguasa ekonomi’ terhadap masyarakat pemirsa. Konsteks ini terlihat jelas di saat gagasan konstruksi sosial menjadi bagian dari kekuatan kapitalis, sehingga hegemoni juga dapat dilihat sebagai bagian dari alat kapitalis dalam mengkonstruksi ideologi masyarakat tentang diri dan kebutuhan hidupnya. Jika demikian masa depan kapitalisme akan semakin terjamin dan akan tercipta masyarakat kapitalis.

Beberapa temuan penting yang berhasil diungkap dalam buku ini antara lain tentang realitas sosial media massa, di mana realitas sosial iklan televisi yang dikonstruksi oleh pencipta iklan televisi melalui media massa, dapat dibagi menjadi tiga lapisan. Lapisan-lapisan tersebut terdiri dari lapisan realitas teknologi, realitas ikonis (realitas pencitraan) dan realitas verbal atau bahasa.

Lapisan realitas teknologi merupakan fenomena bahwa teknologi secara fungsional telah menguasai masyarakat. Di dalam duni pertelevisian, sistem teknologi telah menguasai jalan pikiran masyarakat dengan apa yang diistilahkan dengan theater of mind. Sebagaimana gambaran gambaran realitas dalam iklan televisi. Suatu contoh, ketika iklan Sampo Clear menggunakan iklan dengan gaya seperti adegan dalam film Matrix, di mana seorang pemuda bersampho Clear dapat menghindari tembakan peluru dengan lekukan tubuh yang fleksibel, maka seluruh adegan dalam iklan tersebut begitu mengagumkan pemisa karena mampu membawa kepada kesan dunia lain yang mahadahsyat. Ruang pengetahuan yang dikonstruksi oleh iklan televisi, di mana manusia mendiami suatu ruang realitas, sehingga perbedaan antara yang nyata dan fantasi menjadi sangat tipis. Manusia hidup dalam duina maya dan khayal. Televisi dan informasi lebih nyata dari pengetahuan sejarah dan etika, namun sama-sama membentuk sikap manusia.

Dalam lapisan realitas pencitraan, terdapat upaya upaya mempengaruhi pemirsa melalui pencitraan. Iklan televisi membentuk realitas melalu pencitraan terhadap produk. Pencitraan dilakukan dengan memberi nilai tertentu terhadap produk yang diiklankan, antara lain dengan menggunakan ikon-ikon budaya modern dan kelas sosial atas, agar dapat menggambarkan atau menyetarakan produk yang diiklankan dengan ikon kemodernan dan ikon kelas sosial tersebut.
Citra adalah bagian penting yang dikonstruksi oleh iklan televisi. Namun sejauh mana konstruksi itu berhasil, amat tergantung pada banyak faktor, terutama adalah faktor konstruksi sosial itu sendiri, yaitu bagaimana seorang copywriter (penyusun naskah iklan) mengkonstruksi kesadaran individu serta membentuk pengetahuan tentang realitas baru dan membawanya ke dalam dunia hiper-realitas, sedangkan pemirsa tetap merasakan bahwa realitas itu di alami dalam dunia rasionalnya.

Pada lapisan realitas verbal, apa yang ada dalam berbagai makna iklan sesungguhnya adalah realitas bahasa itu sendiri. Ketika akan menciptakan realitas barang, maka bahasa dapat digunakan untuk ‘penggambaran’ realitas itu, namun di saat akan menciptakan citra realitas terhadap suatu barang, maka bahasa saja tidak cukup untuk tujuan tersebut, sehingga digunakan tanda bahasa sebagai alat penggambaran citra tersebut.

Sistem tanda bahasa digunakan secara maksimal dalam iklan televisi. Iklan televisi yang umumnya berdurasi dalam ukuran detik, memanfaatkan sistem tanda untuk memperjelas makna citra yang dikonstruksikan. Sistem tanda bahasa ini (penanda atau tertanda) yang digunakan oleh iklan televisi, baik verbal maupun visual dalam berbagai model simulasi, telah berhasil membangun imajinasi pemirsa tentang realitas sosial, walaupun realitas itu bersifat semu, hiperrealitas dan hanya ada di dalam media.

Realitas sosial iklan televisi memiliki lapisan-lapisan makna sebagaimana disebutkan diatas. Kemudian hubungan satu dengan lapis dengan lapis lain, membutuhkan proses decoding. Kemudian temuan berikutnya adalah tentang proses konstruksi sosial media massa, di mana realitas iklan televisi dibentuk oleh beberapa kelompok yang mengatur konten media massa, yaitu biro iklan, perusahaan pemesan iklan dan pemirsa iklan televisi itu sendiri. Kelompok- kelompok ini disebut dengan agen-agen sosial. Agen-agen sosial inilah yang menentukan corak dan bentuk siaran media massa dan iklan televisi melalui tahap-tahap konstruksi sosial, dimana dalam tahapan itu realitas sosial iklan televisi di bentuk berdasarkan hubungan-hubungan kekuasaan di antara agen-agen sosial tersebut. Sebagaimana yang dimaksud dengan konstruksi sosial, bahwa eksternalisasi, obyektivasi dan internalisasi iklan televisi berjalan dalam proses simultan, sehingga makna-makna iklan televisi terbentuk dalam pencitraan iklan televisi. Kemudian terbentuk realitas makna pencitraan dalam dunia iklan televisi, sebagai refleksi dari dunia sosial di sekitarnya. Pada akhirnya, makna-makna itu diangkat dan direproduksi kembali oleh iklan televisi, sebagai realitas sosial baru.

Temuan yang ketiga adalah tentang makna realitas sosial media massa, di mana pemirsa melakukan decoding makna konten siaran media massa (konten iklan televisi). Proses decoding itu menghasilkan makna yang berbeda-beda, karena pemirsa iklan televisi berasal dari ruang dan kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Sehingga makna realitas sosial iklan televisi, dipahami secara berbeda berdasarkan ruang dan kelompok sosial. Namun di satu sisi iklan televisi adalah totalitas dimana iklan televisi menjadi bahasa universal, menggunakan ikon budaya universal yang dapat menyatukan umat manusia tanpa batas. Sedangkan di sisi lain iklan adalah diferensiasi, yakni ketika harus menunjukkan bahwa bahasa universal atau ikon budaya universal yang melekat pada iklan itu memiliki kelebihan, keunggulan maupun keuntungan tertentu, maka iklan televisi telah menunjukkan di dalam totalitasnya ada perbedaan, ada difeensiasi yang menjadi “muatan” khusus dalam iklan televisi tersebut.

Kajian dalam buku ini akan memberikan pengetahuan tentang konsep : proses terjadinya konstruksi sosial, konsep tentang bentuk atau ciri realitas sosial yang dibangun dalam media televisi, khususnya iklan televisi, serta konsep makna dan implikasi sosial suatu simbol realitas sosial media massa yang dibangun iklan televisi.

Lalu kajian buku ini pula telah mengoreksi gagasan konstruksi sosial atas realitas sosial Bergerr dan Luckman (1966). Ketika citra media massa melalui iklan televisi ikut membentuk pengetahuan individu terhadap sebuah produk, kekuatan pencitraan media massa televisi ikut membentuk bangunan pencitraan yang telah dibuat oleh pencipta iklan televisi. Faktor media massa televisi dalam konstruksi sosial ini, tidak pernah terpikirkan oleh Berger dan Luckmann dalam gagasan konstruksi sosialnya, karena pada saat teori itu dibangun konsteks sosial tak pernah melihat bahwa media massa akan berkembang di kemudian hari seramai saat ini. Walaupun sejak semula disadari bahwa individu bukan “kotak kosong”, kekuatan konstruksi sosial media massa, tetap saja memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas sosial dan keputusan masyarakat. Sehingga yang terjadi pada pemirsa iklan televisi, bahwa realitas iklan televisi membentuk pengetahuan pemirsa tentang citra sebuah produk. Bahwa kemudian keputusan konsumen memilih atau tidak memilih suatu produk, semata-semata bukan karena spesifik telah terjadi, namun sebenarnya keputusan itu terjadi karena peran konstruksi sosial media massa yang diskenario oleh pencipta iklan televisi.

Pada kenyataannya konstruksi sosial atas realitas berlangsung lamban, membutuhkan waktu lama, bersifat spasial, dan berlangsung secara hierarkis-vertikal, di mana konstruksi sosial berrlangsung dari pimpinan kepada bawahannya, pimpinan kepada massanya, kiai kepada santrinya, guru kepada muridnya, orang tua kepada anak-anaknya, anak-anak remaja kepada anak-anak yang lebih muda, dan sebagainya.

Ketika masyarakat semakin modern, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann ini memiliki kemandulan atau dengan kata lain tak mampu menjawab perubahan zaman, karena masyarakat transisi-modern di Amerika telah habis dan berubah menjadi masyarakat modern dan postmodern, dengan demikian hubungan-hubungan sosial antara individu dengan kelompoknya, pimpinan dengan kelompoknya, orang tua dengan anggota keluarganya menjadi sekunder-rasional. Hubungan-hubungan sosial primer dan semisekunder hampir tak ada lagi dalam kehidupan masyarakat modern dan postmodern. Dengan demikian, teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann menjadi tak bermakna lagi.