Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Karikatur dan Politik

Judul: Karikatur dan Politik
Penulis: Augustin Sibarani
Penerbit: Garba Budaya, 2001
Tebal: 422 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Ngawi

Kita sering melihat karikatur di berbagai suratkabar. Dan tak jarang, yang pertama kali kita lihat ketika membeli surat kabar adalah karikaturnya. Ada rasa lucu, nyeri, atau bahkan sedih ketika melihat sebuah karikatur di berbagai suratkabar itu. Namun, benarkah pemahaman kita selama ini tentang karikatur? Apa sebenarnya karikatur itu? Bagaimana sebuah karikatur itu ada?

Terbit setelah Orde Baru jatuh, Augustin Sibarani memaksudkan buku ini bukan sekedar sebagai kumpulan karikatur-karikatur yang pernah dibuatnya. Di bagian pertama bukunya, ia mengangkat sejarah perkembangan karikatur di dunia secara umum dan di Indonesia secara khusus. Sembari menceritakan itu semua, ia menuliskan juga semacam perjalanan hidupnya sebagai seorang karikaturis di Indonesia. Sedang di bagian kedua diisinya dengan kumpulan karikaturnya dari sejak tahun-tahun terakhir Orde Baru sampai pemerintahan Gusdur-Mega.

Tentang karikatur sendiri, dalam Encyclopedie Internasional, karikatur didefinisikan sebagai sebuah “satire” dalam bentuk gambar atau patung. Adapun dalam Encyclopedie Britaninica, karikatur didefinisikan sebagai penggambaran seseorang, suatu tipe, atau suatu kegiatan dalam keadaan terdistorsi—biasanya suatu penyajian yang diam dan dibuat berlebih-lebihan dari gambar-gambar binatang, burung, sayur-sayuran yang menggantikan bagian-bagian benda hidup atau yang ada persamaannya dengan kegiatan binatang (hal. 10-11).

Oleh penulis, disimpulkan bahwa sebuah karikatur mesti dilukiskan dengan mengandung dua ciri: (1) adanya satire dan (2) adanya distorsi. “Satire” di sini diartikan sebagai sebuah ironi, suatu tragedi-komedi atau suatu parodi. Karena itu, di dalamnya dapat mengandung sesuatu yang janggal, “absurd”, yang bisa menertawakan, tapi bisa juga memprihatinkan atau menyedihkan.

Dengan melihat ciri-ciri itu, ternyata Leonardo da Vinci dan Albrecht Durer telah memulainya sejak sekitar tahun 1550. Tentu saja, mereka memulainya dalam bentuk lukisan pada umumnya (baca: “fine art”), bukan seperti “coretan-coretan-seadanya” a la karikatur pada saat ini. Di Indonesia kita, Bung Karno termasuk salah seorang karikaturis pada zaman Belanda dulu. Dalam beberapa karikaturnya itu, ia biasa mencantumkan nama samarannya, Soemini.

Tentang sifat karikatur, karikatur dapat dibagi menjadi tiga macam: karikatur orang-pribadi, karikatur sosial, dan karikatur politik. Karikatur orang-pribadi menggambarkan seseorang (biasanya tokoh yang dikenal) dengan mengekspose ciri-cirinya dalam bentuk wajah ataupun kebiasaannya—tanpa objek lain atau situasi di sekelilingnya—secara karikatural. Karikatur sosial sudah tentu mengemukakan dan menggambarkan persoalan-persoalan masyarakat yang menyinggung rasa keadilan sosial. Karikatur politik menggambarkan suatu situasi politik sedemikian rupa agar kita dapat melihatnya dari segi humor dengan menampilkan para tokoh politik di atas panggung dan mementaskannya dengan lucu.

Satu hal yang tak patut dilupakan, betapa pun, dunia karikatur memiliki kode etik yang banyak tak diketahui orang termasuk oleh para karikaturis. Seorang karikaturis memang memiliki kebebasan mengemukakan temanya dengan gaya satiris humor yang khas, selama karikaturnya itu tidak vulgar atau amoral atau mengetengahkan cacat fisik manusia dan tidak pula kotor atau jorok. Selain itu, karikatur yang baik adalah karikatur yang paling hemat kata, bahkan kalau bisa tanpa kata sama sekali! Sebab karikatur berbeda dengan poster yang bisa saja (bahkan lazim) boros kata-kata.

Salah seorang karikaturis Indonesia yang gagal di mata penulis adalah Harmoko (mantan Ketua MPR). Ketika terjadi konfrontasi dengan Malaysia pada tahun 1963-1965, karikatur-karikatur Harmoko banyak dimuat. Sayangnya, karikatur-karikaturnya itu banyak yang menyalahi kode etik di atas. Selain terkesan kotor, sadistis, dan hal-hal lain yang membuat kualitasnya rendah, karikatur-karikatur Harmoko banyak yang boros-kata dan tak logis.

Padahal seorang karikaturis dapat mempengaruhi banyak orang dengan pesan dan kesan yang dimuat dalam karikaturnya, ia memiliki “kekuatan” dalam karikatur yang dibuatnya. David Low, karikaturis Inggris, sampai sekarang masih dikenal banyak orang sebagai seorang karikaturis yang (konon) pernah membuat Hitler tak bisa tidur akibat karikatur yang dibuatnya pada waktu Perang Dunia II berlangsung. Thomas Nast, karikaturis dari Amerika Serikat, pernah dengan karikaturnya menjatuhkan seorang calon kuat presiden Amerika Serikat yang memiliki a-moralitas mencolok mata pada masa kampanye.

Maka, seorang karikaturis idealnya memiliki kemampuan melihat persoalan-persoalan sosial-politik yang baik selain kemampuan teknis menggambar karikatur. Dengannya, ia bisa bersuara terhadap perkembangan sosial-politik yang terjadi saat itu. Dengannya pula ia bisa mewakili kekecewaan-kekecewaan yang terjadi di sekelilingnya. Karikaturis pun bukan orang yang susah dapat ilham karenanya.

Dengan melihat apa yang digariskan di atas, maka dapat dibedakan antara sebuah karikatur dengan sebuah gambar kartun yang selama ini banyak orang salah kaprah dalam membedakan keduanya—termasuk beda peristilahan antara karikaturis dengan kartunis. Begitu pula dengan anggapan keliru yang telah umum bahwa karikatur hanya ada dalam persuratkabaran. Padahal dapat dikatakan: sebuah karikatur sudah pasti sebuah kartun, sedangkan kartun belum tentu merupakan sebuah karikatur. Lantas apa bedanya?

Secara bahasa, karikatur berasal dari bahasa Italia, “caricare”, yang artinya memuat (dalam hal ini memuat berlebihan). Kata “caricatura” baru populer dan digunakan orang dalam kehidupan dunia seni sekitar tahun 1665. Seniman yang mengenalkan kata itu adalah Gian Lorenzo Bernini, seorang pematung dan arsitek, ketika datang ke Perancis. Adapun kartun berasal dari bahasa Perancis, “cartone”, yang artinya kertas. Kartun memang biasa digambar di atas kertas atau bahan sejenisnya.

Sebenarnya, baik kartun ataupun karikatur, masing-masing memiliki titik satiris. Bedanya, dalam gambar kartun titik satiris itu tak ditekankan sebagai sesuatu yang dominan seperti halnya dalam karikatur. Kartun lebih mengutamakan humor ketimbang “satire”. Kartun juga tak mengandung unsur distorsi. Kalaupun ada unsur distorsi, unsur itu bukan sesuatu yang diutamakan. Yang jelas, keduanya dapat banyak dijumpai di suratkabar yang sama sekalipun.

Sebuah lukisan, kata penulis, memiliki sejuta makna. Hanya saja, seringkali orang tak bisa membedakan antara karikatur, kartun, sketsa, dan ilustrasi. Gambar-gambar berupa coretan-coretan yang cuma berfungsi sebagai penghias halaman atau pemanis tulisan atau artikel dan tak mengandung peranan sosial-politis di dalamnya disebut dengan sketsa. Adapun gambar yang merupakan hiasan untuk perlengkapan atau penunjang cerita dalam sebuah buku atau penulisan, maka lazimnya disebut dengan gambar ilustrasi. Keduanya bukan karikatur. Namun kedua jenis gambar ini bisa saja dibuat menjadi karikatur.

Sayang sekali, penulis tak pernah menjelaskan tentang beda antara lukisan dan gambar. Sebab, menurut Umar Kayam, antara kedua kata itu masing-masing memiliki pengertian yang berbeda. Akibatnya, pemakaian yang terkesan tumpang-tindih dari kedua kata itu sering membuat tafsiran penulis rancu. Contohnya gambar 2.4 (halaman 69) di mana gaya hidup “Indies” (baca: budaya campuran yang terjadi dari akulturasi antara budaya Barat dengan budaya lokal dalam hal ini Jawa) dari seorang nyonya Belanda ditafsirkan sebagai usaha pendekatan dan penyatuan-diri pura-pura dengan penduduk pribumi.

Contoh kesalahan di atas memang terkesan sepele, tapi sebenarnya fatal. Padahal buku yang berguna untuk meluruskan pemahaman kita tentang karikatur ini dapat membantu apresiasi masyarakat luas terhadap karikatur-karikatur yang sering dijumpai di suratkabar-suratkabar. Lagipula, kata penulis sendiri, tak sedikit ternyata kartunis yang mengaku sebagai karikaturis atau malah seorang karikaturis justru lebih bangga disebut sebagai kartunis ketimbang karikaturis tanpa mengecek kerja yang dilakukannya. Jelas perlu pelurusan.

Rimbun Natamarga