Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Hiper-Moralitas: Mengadili Bayang-bayang

Judul: Hiper-Moralitas: Mengadili Bayang-bayang
Penulis: Yasraf Amir Piliang
Penerbit: Belukar, 2003
Tebal: 176 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Sleman


Apa jadinya jika bangsa Indonesia terjerumus dalam situasi di mana batas-batas antara benar dan salah, baik dan jahat, moral dan amoral menjadi kabur dan simpang siur? Yang ada di sana hanyalah masyarakat yang mencari keadilan lewat “bahasa kekerasan”, seperti penjarahan, pembakaran, pembunuhan, pembantaian, dan penghancuran.

Kondisi bangsa yang memprihatinkan inilah yang ingin diangkat Yasraf Amir Piliang dalam kumpulan tulisannya berjudul “Hiper Moralitas: Mengadili Bayang-bayang”. Digambarkan bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang berada dalam garis abu-abu, titik ambiguitas, “ketidakpastian moral” (intermedinancy of moral), yang oleh Yasraf, meminjam istilah Goerge Bataille, disebutnya sebagai Hiper Moralitas (hyper morality). Kondisi ketika ukuran-ukuran moral tidak dapat dipergunakan lagi. Yang ada adalah situasi yang melampaui batas-batas good and evil.

Tanda-tanda keruntuhan moral itu direpresentasikan melalui aksi-reaksi kekerasan dalam masyarakat. Dari cara melakukan, menyelesaikan dan memandang kekerasan itu dari sudut pandang nilai-nilai (sosial, budaya, keagamaan). Merosotnya moral yang terjadi bahkan tidak pernah dibayangkan oleh akal karena telah melampaui batas ukuran bangsa yang beradab. Pun di mata dunia, lanskap moralitas kebangsaan kita telah didominasi unsur-unsur kebobrokan yang kronis. Predikat buruk mencapai nomor satu untuk banyak hal. Sebutlah rankingisasi korupsi, kolusi, pengangguran, pelanggaran hak cipta hingga pelanggaran hak asasi manusia (HAM), semuanya menunjukkan angka-angka yang memprihatinkan.

Terlepas dari perdebatan tentang parameter atau indikator apa saja yang digunakan untuk mengukur proposisi di atas, fakta demikian tentu sangat mencoreng muka bangsa Indonesia yang selama ini selalu mengklaim label identitasnya sebagai bangsa yang bermoral tinggi.

Sebenarnya tak ada yang baru dari buku “Hiper Moralitas: Mengadili Bayang-bayang”. Seperti tulisan-tulisan Yasraf pada umumnya, tema yang ditawarkan pun masih berkutat dalam wilayah mainstream. Bercerita tentang realitas sosial di masyarakat yang sarat dengan berbagai konflik. Lewat sisi-sisi lain dari realitas itu digali makna baru, kemudian dicari jalan keluarnya. Klise. Nilai kurang membicarakan “Hiper Moralitas : Mengadili Bayang-bayang” barangkali akan bertambah setelah melihat kenyataan bahwa buku ini “hanya” merupakan comotan tulisan-tulisan lepas Yasraf di harian Kompas selama tiga tahun, kurun 1998 hingga 2001. Konsekuensi dari kumpulan tulisan seperti ini adalah terjadi banyak pengulangan. Dan sejujurnya harus diakui, analisis ilmiah dari wacana-wacana yang diangkat dalam buku ini terasa kurang “menggigit”, cukup jauh bila harus menandingi “kedahsyatan” dua buku Yasraf sebelumnya, “Sebuah Dunia yang Dilipat” (1998) dan “Sebuah Dunia yang Menakutkan” (2001).

Namun ada satu hal yang sangat menarik, bahkan luar biasa ketika persoalan-persoalan bangsa “dikawinkan” dengan postmodern style analysis yang kental dengan warna-warni baru kebahasaan, seperti ungkapan, frasa-frasa, dan istilah. Seakan-akan kita diajak berkenalan dengan bahasa masa depan atau bahasa alien yang sama sekali belum pernah kita kenal. Sebutlah istilah libidoshopy, horrorcracy, pornokitch, heteronomi, pseudoshopy, centraphobia, dan masih banyak lagi istilah-istilah “asing” yang membuat dahi kita berkerut . Bukan tanpa resiko memang. Pembaca terpaksa harus mengernyitkan dahi, apalagi pembaca awam. Kita dipaksa melakukan pembacaan situasi sosial, politik, hukum ekonomi lewat “bahasa”. Kita serasa terseret masuk dalam dunia baru yang serba melampaui (hyper) dan maya (virtual). Anehnya, setelah satu atau dua bab awal telah dibaca, kita dipaksa menyelesaikan kesuluruhan buku tanpa mengalihkan perhatian. Memang, bisa jadi bagi pembaca yang merasa alergi dengan gempuran istilah-istilah baru dalam buku ini, akan langsung menutup dan meletakkannya begitu saja. Tentu saja karena mereka tidak ingin menikmati penjelajahan dalam dimensi baru berbahasa. Ya, serasa ada ketidakbiasaan di sini. Tapi dari ketidakbiasaan itulah keluarbiasannya terpancar.

Walaupun bukan logi ke-tiga dari dua buku pendahulunya yang konon telah menjadi referensi wajib bagi pemerhati budaya kontemporer di Indonesisa, pada buku kumpulan artikelnya yang didedah ke dalam 7 bagian ini (termasuk prolog dan epilog), Yasraf masih menyergap pembacanya dengan narasi-narasi puitis yang terjaga irama-imajinatifnya. Tak hanya menimbulkan efek retoris, provokatif, ironis—bahkan cenderung sinis—istilah-istilah yang digunakannnya kadang liar dan ekspersif. Gaya bahasa seperti ini terasa sangat pas saat mengambarkan lanskap kebudayaan kontemporer yang memang sulit, abstrak, rumit, paradoksal menjadi mudah dipahami lewat perasaan dan imajinasi ketimbang lewat logika atau rasio. Lihatlah beberapa istilah yang digunakan Yasraf dalam menilai kondisi keterpurukan bangsa ini misalnya, dengan sebutan “masyarakat sakit, “masyarakat gila”, “chaos society”, dan sebagainya.

Namun Yasraf tetaplah Yasraf yang berusaha membalut kerumitan dengan penguatan relevansi teoritik mendalam berdasarkan kajian teori-teori budaya yang ada. Nama-nama seperti Jean Baudillard, Frederich Nietzche, Julia Kristeva dan JF Lyotard kerapkali disebut ketika ia membutuhkan pisau analisis untuk membedah dan mengidentifikasi masalah–masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dalam ranah kajian budaya kontemporer secara holistik.

Seperti mozaik, buku ini mencakup banyak warna. Wacana demokrasi, otonomi, terorisme, pornografi dan seksulitas, kesenjangan ekonomi, kekerasan negara hingga kekerasan terhadap perempuan tersaji secara apik dan memikat. Daya tarik bukan pada kelengkapan mozaik yang saling berhubungan antara satu bab dengan bab lain, tetapi pada suspence, ending dan kadang solusi analitis yang ditawarkan dalam tiap gagasannya.

Kekuatan utama dari buku ini terletak pada elaborasi pengungkapan fakta yang bersumber dari kejadian-kejadian nasional tahun 1998-2001 melalui penggunaan bahasa puitis. Sementara teori-teori sosial yang ditampilkan tetap menjadi basis ketajaman analisis. Secara keseluruhan, buku “Hiper Moralitas: Mengadili Bayang-bayang” ini lebih dari pantas untuk dibaca siapa saja. Banyak pesona yang akan memperkaya wacana kita. Silakan membuktikan!