Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Pengaruh Portugis di Indonesia

Judul: Pengaruh Portugis di Indonesia
Penulis: Antonio Pinto da Franca
Penerbit: Sinar Harapan, 2000
Tebal: 152 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Terjual Sumedang


Penulis buku ini adalah mantan seorang diplomat Portugis yang bertugas di Jakarta selama enam tahun dan berakhir tahun 1970. Soekarno presiden RI pertama tidak menghendaki hubungan diplomatik setingkat duta besar dengan Portugis, karena negara itu masih menganut politik kolonial. Oleh karena itu Pinto di Jakarta sebagai Konsul, tetapi Kementrian Luar Negeri Portugis menganggapnya seorang Kuasa Usaha.

Tiga puluh tahun sejak meninggalkan Indonesia, beliau baru kembali ke Indonesia. Jadi buku ini yang aslinya diterbitkan dalam Bahasa Inggris “Portuguese Influence in Indonesia” (Lisabon, 1985) adalah pandangan beliau ketika bertugas di Indonesia lebih dari 40 tahun yang lalu.

Buku-buku mengenai hubungan Portugis dan Indonesia baik jaman dulu maupun sekarang sangat sedikit. Buku ini dapat dianggap rintisan mengenai pengaruh Portugis di Indonesia. Meskipun tidak lama dibanding Belanda yang datang kemudian, jejak pengaruh Portugis kentara sekali dalam kosa kata Bahasa Indonesia.

Kontak dengan Portugis dapat disebut kontak pertama Indonesia dengan Eropa. Pada era penjelajahan dunia baru Portugis yang telah mencapai Goa di India tertarik dengan rempah-rempah dan ingin berdagang dengan langsung mengambil dari sumbernya tanpa perantara. Oleh karena itu tahun 1511 Portugis merebut Malaka yang menguasai selat sempit tempat berlalulalangnya kapal-kapal dagang terutama mengangkut rempah-rempah dari Kepulauan Nusantara. Peran Malaka waktu itu mirip dengan peran negara Singapura saat ini. Dari Malaka, Portugis mengirim ekspedisi menyusuri Sumatera, Jawa, hingga Maluku.

Ketika Belanda datang dengan persekutuan dagangnya VOC (didirikan tahun 1602) dan memonopoli perdagangan rempah-rempah, maka Portugis makin terdesak hingga bertahan di bagian timur Pulau Timor (Timor Leste sekarang). Apapaun berbau Portugis ditumpas habis oleh VOC. Tetapi hasil interaksi Portugis-Indonesia selama 150 tahun dalam abad ke-16 dan ke-17 tidak serta merta hilang. Kini dalam kosa kata Bahasa Indonesia banyak serapan dari Bahasa Portugis seperti, antero, armada, bantal, bolu, boneka, garpu, kemeja, minggu, nona, nyonya, pesiar, roda, sekolah, serdadu, sisa, cerutu, saku, sepatu, dan banyak lagi yang lainnya.

Buku ini dilengkapi dengan foto-foto yang diambil sendiri oleh penulis buku pada saat keliling Indonesia semasa menjabat jadi konsul. Selain itu terdapat lampiran-lampiran yang mendekatkan pembaca kepada bukti-bukti pengaruh Portugis di Indonesia:

Lampiran pertama mengenai kosa kata Bahasa Portugis yang diserap dalam Bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah terutama di daerah Maluku dan Nusa Tenggara Timur.

Lampiran kedua berupa nama-nama keluarga Portugis yang ditemukan masih digunakan di Indonesia.

Lampiran ketiga memuat secara khusus Bahasa Portugis di Tugu (Jakarta).

Lampiran keempat tentang kata-kata Portugis dalam lagu-lagu Tugu (keroncong)

Lampiran kelima mengenai sandiwara Portugis di Sika (Flores).

Menarik pula pendapat seorang naturalis Alfred Russel Wallace (1823-1913) setelah mengunjungi Maluku dan kepulauan Kei tahun 1857 yang dikutip Prof. Charles Boxer seorang peneliti dalam pengantar buku ini menggambarkan bagaimana pengaruh Portugis di Nusantara: “Sangat menarik untuk mengamati pengaruh perdagangan dini Portugis dengan negara-negara ini, di dalam kata-kata bahasa mereka, yang masih dipakai di kalangan penduduk pulau yang terpencil dan liar ini. Lenço untuk saputangan dan faca untuk pisau, dan di sini digunakan sambil mengenyampingkan istilah-istilah Melayunya. Orang-orang Portugis dan Spanyol merupakan penakluk dan penjajah yang ajaib. Mereka mengakibatkan lebih banyak perubahan cepat di negara-negara yang ditaklukannya dari negara lain manapun juga di zaman modern, menyerupai orang-orang Romawi dalam kuasa mereka mencekoki bahasa, agama, dan kebiasaan merekapada suku-suku yang liar dan yang masih biadab.” (The Malay Archipelago, A Narrative of Travel with Studies of Man and Nature, Ed. London, 1894, hal.325).