Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia

Judul: Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia
Penulis: Sunardian Wirodono
Penerbit: Resist Book, 2005
Tebal: 197 halaman
Kondisi: Bekas (bagus)
Harga: Rp. 35.000 (blm ongkir)
Order: SMS 085225918312


Membiarkan media televisi Indonesia melengang tanpa pengawasan dan tanpa kontrol, bahkan boleh dikatakan tanpa undang-undang adalah sikap yang berbahaya dan sekaligus bodoh. Teror melalui media televisi terjadi setiap waktu. Teror tersebut bukan lagi teroro “pembangunanisme” laiknya jaman Soeharto berkuasa, namun teror atas sikap mental perilaku bangsa dan negara Indonesia.

Melalui buku ini, dapat diketahui beberapa fakta mengenai keberadaan televisi di Negara kita. Televisi adalah media yang paling luas dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Hal ini dibuktikan oleh data dari pendidikan jurnalisme TV, Universitas Indonesia tahun 2004 yang menyebutkan jumlah televisi yang beredar di Indonesia saat itu mencapai angka 30 Juta.

Jumlah tersebut diperkirakan terus mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Bukti itu kemudian diperkuat oleh data Nielsen Media Research, yang pada tahun 2004 menyebutkan; penetrasi media televisi di Indonesia mencapai 90,7%, sedangkan radio 39%, suratkabar 29,8%, majalah 22,4%, internet 8,8%, dan orang menonton bioskop sebesar 15%. Singkatnya, televisi sudah menjadi bagian dari sebagian besar kehidupan masyarakat Indonesia. Perkembangan keberadaannya telah jauh melampaui media lain.
Berbagai masalah muncul dalam citraan tentang media televisi. Televisi, agak diabaikan peran sertanya dalam membangun dan memimpin kualitas sumber daya manusia. Citra yang lebih menonjol adalah adanya eksploitasi, tercrmin pada posisi masyarakat yang lebih sebagai obyek, dengan menafikan peran-sertanya sebagai subyek. Prespektif atau dimensi etis tidak pernah menjadi unsur yang dipertimbangkan dalam berbagai lini bisnisnya.

Berbagai bentuk materi siaran apalagi yang berjenis hiburan seperti sinetron, kuis, infotainmen, atau reality show sering lepas dari norma-norma kepatutan sebuah karya kreatif yang semestinya juga harus bertanggung jawab pada tumbuhnya proses pembangunan masyarakatnya.

Kemunculan Undang-undang penyiaran nomor 32/202 tetntang penyiaran sedikit banyak telah memberikan batasan mengenai etika dan kelakuan media televisi yang terlalu berani. Namun, nampaknya aturan-aturan semacam ini tidak begitu ampuh membendung kekuatan yang muncul akibat kebutuhan untuk memenuhi biaya produksi sehari-hari. Bahkan, bisa jadi terdapat usaha para pengelola dan investor televisi di melakukan perlawanan untuk menggagalkan UU tersebut.

Kemunculan televisi lokal di beberapa daerah sebagai akibat regulasi ini tidak pula berada pada harapan yang sebanding karena stasiun televisi ini juga sama dan sebangun. Sasiun-stasiun televisi lokal tersebut juga tidak berangkat dari sebuah proses yang terjadi dalam masyarakatnya. Doktrin neoliberalisme yang memelintir dasar dari segala dasar pemikiran manusia mengarah pada kekuatan pasar, membuat modal berada di atas segalanya.

Dalam buku ini pula disebutkan banyak hal yang kritis mengenai perkembangan televisi di tanah air. Mulai dari sejarah perkembangan televisi, TVRI sebagai stasiun televisi pertama dan kemudian disusul kemunculan berbagai stasiun televisi swasta yang lebih dianggap sebagai sebuah kesempatan bisnis, daripada sebuah perimbangan keberadaan kekuatan media yang pro goverment.

Dengan berpatok pada satu akar masalah mengenai akselerasi modernisasi yang tidak diimbangi dnegan regulasi yang memadai semasa pemerintahan Orde Baru. Kebudayaan petani bercampuraduk dengan tuntutan globalisasi. Akhirnya modernisasi belum tuntas, sedangkan nilai tradisi makn menipis.

Ketidak siapan dalam mengembangkan media televisi juga disinyalir berasal dari ketidak siapan sumber daya manusianya. Setidaknya sampai pada tahun 1994 ketika Indosiar muncul sebagai stasiun televisi swasta terakhir di jaman Soeharto. Lembaga pendidikan tinggi yang spesifik untuk kepentingan dunia televisi juga belum muncul. Bahkan dari data, anak-anak muda yang menjadi mayoritas karyawan Indosiar berlatar belakang pendidikan yang beragam. Dari sarjana pertanian, biologi, sampai sarjana seni tari. Jika pun ada yang mendekati, jurusan publistik dari fakultas ilmu sosial dan politik, atau yang terdekat adalah penyutradaraan (sinematografi) dan akting dari Institiut Kesenian Jakarta.

Pada akhirnya, segala kekisruhan pembuatan regulasi media yang tidak jelas tersebut mambawa berbagai dampak yang signifikan pada masyarakat luas. Beberapa isu yang diangkat dalam buku ini adalah adanya penyeragaman budaya. Kemunclan televisi-televisi lokal yang menjamur akhir-akhir ini dinilai tidak menimbulkan perubahan situasi. Dengan keterbatasan modal yang berakibat pada kualitas sumber daya manusia, televisi lokal hanyalah perwujudan kecil dari televisi Jakarta. Jika sedikit bisa dibedakan, adalah pemakaian setting, artis, dan beberapa bahasa lokal tempat stasiun televisi teresebut berada. Selebihnya dalam tingkat kualitas yang terbatas, karakter acara yang ditayangkan oleh televisi lokal hanya adaptasi dari yang sudah ada sebelumnya, yaitu televisi-televisi jakarta. Pada posisi ini, televisi lokal juga hanya menjadi kepanjangan tangan dari pemusatan kekuatan modal di daerah.