Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Banten Sebelum Zaman Islam

Judul: Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 932? - 1526
Penulis: Claude Guillot, Lukman Nurhakim, Sonny Wibisono
Penerbit:  Bentang Budaya, 1996
Tebal: 235 halaman (ukuran besar)
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok kosong
Para sejarawan mutakhir, terutama yang juga arkeolog, semisal Claude Guillot, menyesalkan pertimbangan akademis Hoesein Djajadiningrat yang “meremehkan” teks naratif Sajarah Banten, yang menurut arkeolog dan sejarawan semisal Guillot itu, justru terbukti “mengkhianati” temuan-temuan material arkeologis bertahun-tahun kemudian setelah Hoesein Djajadiningrat menulis bukunya, yang mulanya disertasi tentang sejarah Banten, yang telah dijadikan rujukan selama puluhan tahun oleh para penulis dan sejarawan yang menulis tentang Banten. Sebab, temuan-temuan arkeologis mutakhir malah membuktikan Banten lebih tua dari yang ditulis dan disimpulkan oleh Hoesein Djajadiningrat, di mana Banten adalah sebuah negeri dan entitas politik yang ada bersama-sama dengan Pakuan, dan bahkan beberapa kali sempat bersitegang dengan kerajaan Sriwijaya yang memiliki ambisi untuk menguasai Jawa.

Tak hanya itu. Menurut Guillot, Hoesein Djajadiningrat juga ternyata “kurang baik” alias kurang teliti dalam memilah dan mengkomparasi sumber-sumber Portugis yang dijadikan rujukan, di saat ia malah meremehkan sumber lokal teks Sajarah Banten yang ditulis oleh bangsawan keturunan Cirebon, yang justru belakangan lebih “menepati” temuan-temuan arkeologis di Situs Banten Girang. Meskipun memang dalam banyak hal, kekurangtepatan seperti itu dapat dimaklumi sejauh menyangkut sejarah yang tidak didukung oleh penelitian arkeologis.

Para peneliti, semisal Claude Guillot, Daniel Perret, Lukman Nurhakim, dan Sonny Wibisono itu, misalnya, berpendapat bahwa meski sumber-sumber Portugis telah berjasa memberi informasi awal, namun haruslah diakui jika tidak diteliti dan dikomparasi dengan sabar dan teliti, hanya akan menciptakan kesimpangsiuran. Untunglah, orang-orang Eropa yang datang setelah orang-orang Portugis, semisal orang-orang Belanda dan Perancis, sedikit-banyaknya telah meluruskan kesimpangsiuran tersebut, seperti yang diceritakan Lodewijcksz, bahwa untuk waktu yang cukup lama Banten telah seringkali dengan keliru disebut Sunda Kalapa ketika kita mempercayai informasi-informasi para pengunjung singkat Portugis awal. Mereka juga seringkali menyebut Banten sebagai kerajaan Sunda, meski yang mereka maksudkan adalah sebuah negeri yang disebut Banten Girang.

Berkat penelitian Claude Guillot dan laporan orang-orang Belanda yang lebih cermat tersebut, kita jadi tahu bahwa orang-orang Portugis yang beberapa di antara mereka lebih merupakan para pengunjung singkat itu, juga keliru dengan seringkali menyamakan Pelabuhan Banten yang dikuasai Banten Girang, dengan Pelabuhan Kelapa yang dikuasai Pakuan, ketika mereka menyebutnya dengan nama yang sama: yaitu Pelabuhan Sunda.

Teks Sajarah Banten yang “diremehkan” Hoesein Djajadiningrat itu justru lebih relevan dengan temuan-temuan arkeologis belakangan di Situs Banten Girang. Apalagi bila kita terlampau mempercayai dengan buta laporan-laporan tergesa beberapa orang Portugis, jadi tidak semua, yang “menyamakan” Pelabuhan Banten dengan Pelabuhan Sunda (yang ternyata adalah Kalapa) dan yang kemudian oleh Belanda dinamakan juga Batavia, yang di Era Islam justru terbukti bahwa Pelabuhan Banten merupakan Pelabuhan Terbesar di masa keemasan Kesultanan Banten di jaman Sultan Ageng Tirtayasa. Demikianlah diceritakan dalam Sajarah Banten bahwa ketika Sunan Gunung Jati bersama anaknya, Hasanudin, hendak “meng-Islam-kan” Banten, tempat yang pertamakali mereka datangi adalah Banten Girang sebelum mereka juga mendatangi Pulasari, sebelum akhirnya menaklukannya secara militer dengan kekuatan militer gabungan dari Jawa.

Barulah selanjutnya, ketika mereka (Sunan Gunung Jati dan Hasanudin) hendak memantapkan kemenangan politis dan agamisnya, dan demi menyusun geopolitik pemerintahan yang pastilah juga terdorong oleh maraknya “trend perdagangan berbasis maritim ketika itu”, Sunan Gunung Jati memerintahkan Hasanudin untuk membangun ibukota bukan di tempat ibukota Banten Girang di masa Hindu-Siwa tersebut, tetapi di sebuah tempat yang kelak dikenal sebagai ibukota Kesultanan Banten. Di tempat yang hendak dijadikan ibukota baru itu, ada seorang pertapa bernama Batara Guru Jampang yang tengah bertapa, dan rupanya melakukan pertapaan yang cukup lama, di sebuah batu berbentuk empat persegi panjang yang disebut Watu Gigilang alias Batu Nan Berkilau, di mana karena kecukuplamaan dan kekhusukan tapa sang resi itu membuatnya tak bergeming ketika sejumlah burung hinggap di kepalanya.

Pada saat itulah, Sunan Gunung Jati memperingatkan Hasanudin agar tidak memindahkan batu tersebut atas alasan apapun setelah Batara Guru Jampang mangkat. Bahkan, di batu itulah Hasanudin “dibaptis” alias “dibaiat” menjadi penguasa Banten setelah mereka berhasil “menaklukan” Banten Girang dan sejumlah orang-orang Hindu lama di Pulasari, meski salah seorang petinggi Kerajaan Hindu Banten Girang tersebut, yang bernama Prabu Pucuk Umun, tetap kukuh untuk tidak menjadi seorang muslim seperti yang dikehendaki oleh Sunan Gunung Jati dan Hasanudin, dengan jalan “menyingkirkan diri” ke daerah Banten pedalaman.