Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Zaman Peralihan (Soe Hok Gie)

Judul: Zaman Peralihan
Penulis: Soe Hok Gie
Penerbit: Bentang Budaya, 1995
Tebal: 293 halaman
Kondisi: Bekas (Bagus)
Terjual Semarang


Dengan usianya yang relatif pendek, 27 tahun (17 Desember 1942 - 16 Desember 1969), Soe Hok Gie tercatat dalam sejarah gerakan kaum terpelajar Indonesia sebagai seorang tokoh yang fenomenal. Terutama pada masa 6-7 tahun menjelang akhir hayat- nya. Karakter dan kepribadiannya mengingatkan kita kepada Chairil Anwar, penyair pelopor Angkatan '45, yang meninggal juga dalam usia 27 tahun.

Bila Chairil Anwar mewariskan sejumlah karya puisi penting untuk dinikmati dan ditelaah, maka Soe Hok Gie mewariskan sejumlah catatan, artikel, dan makalah untuk diskusi yang tak kalah pentingnya untuk dikenal dan dipelajari sebagai kesaksian sejarah dari satu pribadi yang terlibat langsung dengan in- tensitas total dalam pergolakan zamannya.

Membaca Zaman Peralihan (ZP) - 36 judul naskah - tentang berbagai aspek kehidupan dalam lingkup yang cukup luas, kentara sekali bahwa situasi dan kondisi masa itu merupakan faktor yang dominan. Pertama, dalam menghadirkan tema dan wilayah pergumulan Soe Hok Gie. Kedua, dalam memberi bentuk kepada ek- spresi intelektualnya. Ia begitu aktif dalam dunia pemikiran sekaligus dengan realitas yang dengan tekun dicatatnya dari hari ke hari. Tema kebangsaan, kemahasiswaan, kemanusiaan, dan tema lainnya dalam bagian IV (Catatan Turis Terpelajar) mencuat dari situasi nasional dan internasional masa itu yang ditangkap dan direspons oleh Soe Hok Gie dengan tangkas dan lugas meski terkadang cenderung hitam-putih.

Visi dan sikapnya jelas, menarik untuk diuji kembali hingga hari ini.

Misalnya, tentang mahasiswa, teman-temannya sendiri. Setelah Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto, mahasiswa In- donesia tiba-tiba mempunyai pengaruh yang amat besar. "Belum pernah dalam sejarah Indonesia, mahasiswa-mahasiswa mempunyai pengaruh politik yang demikian besar. Tokoh-tokoh mahasiswa menjadi tokoh nasional" (halaman 27).

Tetapi bersamaan dengan itu, Soe Hok Gie melihat bahwa mahasiswa pun terpecah dua. Pertama, mereka yang mengatas- namakan mahasiswa, dan kedua, mereka yang aktif atas nama in- dividu. Yang pertama menggalang political force dan yang kedua menjadi moral force. Bagi kelompok kedua, "mahasiswa-mahasiswa yang menjadi anggota parlemen dari grup-grup mahasiswa adalah pemimpin-pemimpin yang mencatut perjuangan" (halaman 28). Kepada mereka, Soe Hok Gie pernah membikin parodi dengan mengirimkan alat rias sebagai ungkapan kekecewaannya. Ini dilakukannya di hari-hari menjelang wafat, sebelum ia berangkat ke tempat maut menunggunya di Gunung Semeru. Ia begitu kecewa terhadap tokoh Angkatan '66 yang lebih memburu jabatan politik ketimbang memikirkan perbaikan-perbaikan yang harus dilakukan setelah masa peralihan.

Bersama teman-teman sepaham, ia menganggap dirinya sebagai orang-orang yang "terdidik untuk berontak terhadap kemunafikan". Hal itu dimungkinkan dalam zaman peralihan demikian, ketika kesempatan dan kebutuhan serba terbuka. Lain dengan dekade berikutnya hingga dewasa ini, suasana untuk berontak seperti itu sudah lewat. Kini, selain bersikap kritis demi perbaikan, menjaga kelangsungan pembangunan sekaligus memelihara dan mengembangkan hasil-hasil pembangunan merupakan keharusan yang utama.

Meski ia selalu sibuk seperti terlihat dari tulisan- tulisannya, tak jarang ia menemukan dirinya dalam keadaan gundah gulana, terombang-ambing dalam kebingungan dan kesunyian. Suasana muram demikian pernah dialami dan diungkap- kan Chairil Anwar dalam puisinya "Catetan Tahun 1946" (kutipan bait pertama):

Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai

Mainan cahaya di air hilang bentuk dalam kabut

Dan suara yang kucintai kan berhenti membelai

Kupahat batu nisan sendiri dan kupagut

Perjalanannya sebagai "turis terpelajar" ke Amerika Serikat, sekitar 70 hari akhir tahun 1968, cukup mengejutkan jiwanya. Lain dari yang pernah dibayangkannya, ternyata "generasi yang kecewa" adalah juga produk negara "ultramodern" dan problem sosialnya juga serba rumit. Dari perkenalannya dengan masyarakat kampus, ia menyaksikan bagaimana mereka mempertanyakan kebijaksanaan pemerintahnya tentang perang: "Apakah hak kita untuk menjadi polisi dunia, memaksakan kehendak kita kepada bangsa lain? Apakah dukungan kita kepada Vietnam Selatan tidak bertentangan dengan tradisi demokrasi kita sendiri?" (halaman 244). Kemudian ia pun menyadari pula, "... bahwa dunia ini tidak hitam putih, tetapi kelabu. ...tidak terbagi dalam blok komunis dan anti-komunis, tapi antara bagian yang kaya dan bagian yang miskin" (halaman 242). Suatu ketika ia sempat mencatat, seperti sedang bersyukur: "... dari New York, saya menyadari banyak hal yang baik tentang Indonesia."

Buku ini memperlihatkan kerangka yang lebih jelas tentang alam pemikiran dan pengalaman Soe Hok Gie berkat kerja editor yang menyusun pengelompokan naskah-naskah dengan saksama. Kata pengantar Dr. Kuntowijoyo sangat membantu dalam menghadirkan profil Soe Hok Gie dengan sosok yang lebih jelas dalam sejarah intelektual Indonesia sepanjang tahun 1960-an yang penuh pergolakan, dalam zaman peralihan.

Leon Agusta