Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Selingkuh Dua Pemikir Raksasa

Judul: Selingkuh Dua Pemikir Raksasa: Martin Heidegger & Hannah Arendt
Penulis: Elzbietta Ettinger
Penerbit: Nalar, 2005
Tebal: 209 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 40.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Pantalon komprang selutut dan jas Black Forest sederhana khas petani dengan pinggiran lebar dan sebuah kerah semi militer membungkus tubuh seorang lelaki. Ia bertubuh mungil, bermata sendu, rambutnya hitam jelaga dan kulit kecoklatan. Sepintas orang tak akan menduga bahwa ia punya kekuatan luar biasa, apalagi jika bercakap-cakap selalu tampak canggung dan hati-hati. Namun, semua kesan “biasa” dalam dirinya akan menguap saat ia memberikan kuliah di depan kelas. Caranya membangun struktur gagasan yang kompleks, membongkarnya dan menghadapkannya pada para mahasiswa menghasilkan teka-teki yang penuh pesona. Banyak yang terbius, satu orang bunuh diri setelah tiga tahun tak berhasil memecahkan teka-tekinya. Lelaki ini dijuluki “pesulap kecil dari Messkrich”. Dikagumi sekaligus dibenci karena ia memilih berafiliasi pada Nazi. Ia adalah Martin Heidegger, seorang fillsuf besar dunia.

Tahun 1926 seorang mahasiswi berusia 18 tahun di Universitas Marburg, Jerman, “tersihir” si tukang sulap berusia 35 tahun, yang sudah beristri dan mempunyai dua orang anak. Ini bukan perselingkuhan biasa karena mahasiswi tersebut kemudian juga dikenal sebagai seorang filsuf terkemuka. Hannah Arendt namanya. Hubungan keduanya merenggang setelah Heidegger “menyingkirkannya”. Heidegger menjadi salah satu pemikir penting Nazi, diangkat sebagai rektor universitas Freiburg pada tahun 1933. Sementara Arendt yang berdarah Yahudi menjadi musafir tanpa warga negara (stateless person). Namun demikian, Arendt memiliki rasa optimis untuk bangkit karena baginya hanya ada dua pilihan: go home and turn on the gas or make use of skyscraper in quite an unexpected way.

Ada beberapa penulis yang mengungkap kisah percintaan Arendt-Heidegger, namun biasanya hanya sebagai pelengkap dari tulisan mengenai pemikiran mereka. Perselingkuhan keduanya menjadi pengetahuan publik setelah Elisabeth Young-Bruehl menulis biografi Arendt yang berjudul Hannah Arendt-For Love of The World (1984). Tulisan ini tidak terlalu mendalam jika dibandingkan dengan hasil penelitian Elzbieta Ettinger yang diterbitkan tahun 1995 dengan judul Hannah Arendt-Martin Heidegger. Ettinger memiliki kelebihan karena data diperolehnya langsung dari arsip Hannah Arendt di New York dan arsip Heidegger di Marbach am Neckar, Jerman, yang sebetulnya merupakan arsip tertutup.

Terlepas dari berbagai kritik yang ditujukan pada Ettinger, lewat karyanya penikmat pemikiran kedua filsuf besar tersebut dapat menyoroti konsistensi pemikiran dan tindakan Arendt pada Heidegger. Tulisan ini akan melihat konsep Arendt mengenai nurani dan manifestasinya pada hubungan keduanya. Bagi Arendt nurani bukan Cahaya Kodrati (Lumen Naturale), yang menentukan mana yang harus dilakukan atau tidak, bukan pula suatu perenungan setelah melakukan tindak kejahatan. Nurani hanya membantu manusia untuk memahami suatu hal melalui pengujian, memenuhi diri manusia dengan berbagai rintangan. Yang membuat seseorang takut pada nurani adalah kehadiran seorang saksi yang akan terus menerus mempertanyakan dan meminta tanggung jawab dari tindakannya. Apabila seseorang tidak pernah melakukan dialog kediriannya, yang di sebut berpikir kritis, ia tidak akan pernah menguji berbagai hal. Ia juga tidak akan menyadari dampak dari tindakannya terhadap orang lain (Arendt, 1995 & 2003).

Arendt tertarik menggali nurani setelah ia menyaksikan persidangan Adolf Eichmann (salah satu arsitek pembantaian Yahudi). Eichmann merasa tidak bersalah terhadap apa yang dilakukannya. Pertanyaan tentang nurani Eichmann membawa Arendt pada konsep banalitas kejahatan. Seseorang menjadi banal, bersedia terlibat berbagai tindak kejahatan ekstrim, bukan karena ia tidak mempunyai nurani. Nurani si pelaku tidak berfungsi secara wajar. Kemandulan nurani ini memunculkan berbagai motif yang memicu seseorang menjadi pelaku genosida. Motif-motif yang muncul bukan karena si pelaku bodoh secara intelektual, tetapi berupa ketidakmampuan berpikir dan menilai secara kritis. Suatu latar belakang tindakan yang hadir akibat kepatuhan terhadap perintah, tekanan phsikologis dan mental, serta prospek kenaikan pangkat. Hal ini menjadi sebab seseorang jadi “bebal”, memposisikan segala sesuatu dengan hanya berorientasi pada kentingan diri sendiri.

Dengan mendalami karya Ettinger pembaca dapat melihat hal serupa terjadi pada Heidegger. Heidegger bukan orang yang anti Yahudi, bukan pula seorang antisemit fanatik. Hal ini bukan berarti ia tidak berusaha menyingkirkan orang-orang Yahudi yang ada di sekitarnya. Rasa terancam posisi akibat kedekatan dengan orang Yahudi, tidak hanaya membuat Heidegger “membuang” Arendt. Perlakuan serupa terjadi pula pada Edmund Husserl, sahabat sekaligus orang yang sebetulnya paling berpengaruh pada jabatan akademisnya. Demi ambisi jabatan, Heidegger tega meninggalkan Husserl. Ia juga mengkhianati Karl Jaspers, menjegal karir akademis Baumgarten, mahasiswa doktoralnya dan asisten yang ia tunjuk sendiri. Berbagai cara ditempuh Heidegger untuk menghancurkan mereka, termasuk menulis surat “Judaisasi” tahun 1929 yang berisi kekhawatirannya melihat banyaknya mahasiswa kedokteran berdarah Yahudi. Jasper menyebut Heidegger sebagai orang yang berusaha menjadi pemimpin spiritual Nasionalis Sosialis. Sementara Arendt menilai Heidegger sebagai intelektual yang mengalami penyimpangan nurani.

Surat-surat Arendt-Heidegger yang dijadikan penelitian Ettinger juga memperlihatkan bagaimana Arendt mengajarkan tentang pentingnya “pengampunan” dalam mengobati luka sejarah. Arendt mencoba mempraktekan konsep yang dipaparkannya dalam The Human Condition (1959): tindakan manusia tidak bisa dikembalikan pada titik nol dan untuk mengobati hal itu, obatnya adalah pengampunan. Pengampunan yang dimaksud adalah berupa sikap memaaafkan dari si korban pada pelaku kejahatan. Tetapi, bukan berarti si pelaku mendapatkan impunity. Mengampuni seseorang bukan berarti melepaskan si pelaku dari jerat sanksi hukum. Sikap memaafkan harus dilihat dalam dua sisi. Pertama, sebagai terapi trauma masa lalu bagi korban untuk menghilangkan ganjalan akibat kebencian. Di sisi lain memberikan kesempatan pada pelaku untuk memperbaiki diri dan memulai sesuatu yang baru.

Relasi antara Arendt-Heidegger pasca PD II, menjadi salah satu topik menarik dalam tulisan Ettinger. Ketika Nazi jatuh, kehidupan pun terbalik. Arendt semakin memperkokoh karirnya di dunia filsafat dan memperoleh pengakuan internasional dalam bidang filsafat politik. Sementara Heidegger mendapat kecaman dan kehilangan jabatannya. Meski demikian, ia tidak pernah mengakui kesalahannya, tak menyesal, mencabut perkataannya, tak pernah mengecam Nazi di depan umum, atau secara pribadi meminta maaf pada Arendt dan Jaspers. Jaspers menuduh Heidegger keras kepala dan tak mampu menggapai kedalaman dari kegagalannya sebagai manusia. Jaspers-Heidegger tak pernah kembali bersahabat sampai maut memisahkan mereka.

Berbeda dengan yang dilakukan Arendt. Ia memaafkan Heidegger dan membantunya memulai lembaran baru dalam hidup. Arendt adalah orang pertama yang mengunjungi Heidegger di pengasingan. Atas jasa Arendt pula beberapa karya penting Heidegger diterbitkan. Di awal “rekonsiliasi”, sikap Heidegger terhadap Arendt lebih terlihat sebagai upaya menyelamatkan diri dan memanfaatkan popularitasnya. Namun Arendt tetap bersabar, selalu mendukungnya, dan memperlihatkan sikap bersahabat. Pada akhirnya Arendt dapat membuktikan teorinya bahwa sikap memaafkan dapat menjadi suatu bentuk penyadaran bagi pelaku kejahatan. Dua tahun terakhir dalam kehidupan mereka sikap Heidegger berubah. Ia menjadi pria yang penuh perhatian, mengakui keberhasilan Arendt, bahkan membaca karya-karya Arendt secara teliti. Surat-surat terakhir keduanya memperlihatkan Heidegger telah menjadi manusia yang menyenangkan, dan menghargai orang lain.

Rieke Diah Pitaloka, Lulusan program S2 Filsafat UI. Tesisnya tentang Hannah Arendt.