Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Kebebasan Cendekiawan: Refleksi Kaum Muda

Judul: Kebebasan Cendekiawan: Refleksi Kaum Muda
Penulis: M. Dawam Rahardjo, dkk
Penerbit: Pustaka Republika dan Bentang Budaya, 1996
Tebal: 423 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Terjual Kalimantan


Dalam peta pengetahuan dan kerangka epistemologi yang sama mengandung relativitas, sekaligus mengundang perdebatan, muncul problem intelektual. Tapi problem epistemologi, bagi kalangan cendekiawan kita, relatif tak mendorong terjadinya kegelisahan intelektual secara serius.

Kegelisihan intelektual justru muncul ketika artikulasi kepedulian dan komitmen moral-sosial cendekiawan terhambat oleh makin sempitnya ruang publik yang menjamin kebebasan mereka. Problem sosial dan moral (etis) cendekiawan muncul ketika dihadapkan pada berbagai kasus dehumanisasi dan degradasi nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran dalam proses kehidupan bersama, baik dalam bidang sosial politik, ekonomi, maupun budaya (pembangunan). Pada saat itu pula, cendekiawan dihadap- kan pada tuntutan untuk menentukan pilihan: harus berdiri di atas suatu pendekatan atau paradigma tertentu yang dianggap paling tepat, baik untuk dirinya maupun masyarakatnya. Di sinilah masalahnya.

Bila, misalnya, mereka memilih mainstream ideologi modernisasi dan pembangunan, itu jelas mendukung pola pembangunan yang makin kapitalistik. Tapi bila menolak kapitalisme dan memilih sosialisme, mereka dihadapkan pada kenyataan bahwa sosialisme kini sedang mengalami krisis besar. Sementara itu sistem ekonomi Islam -kalau memang ada dan ini yang mereka pilih- juga tak memberikan referensi sejarah yang faktual sebagai suatu sistem ideologi dan ekonomi politik.

Akhirnya, problem moral-sosial kaum cendekiawan dalam konteks masyarakat kita bukan semata-mata bagaimana memilih model pendekatan, melainkan juga harus berhadapan dengan berbagai masalah yang menghambat proses demokratisasi. Salah satu ham- batan yang paling spektakuler dewasa ini adalah sentralisasi kekuasaan politik pada segelintir orang yang kemudian diikuti sentralisasi kekuasaan dan wewenang (legitimasi) pada lembaga negara. Di bawah cerita besar mitologi pembangunan, institusi negara (pemerintah dan birokrasi) menjadi makin otonom dan kuat vis-a-vis masyarakat.

Problem moral-etis cendekiawan juga muncul ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa begitu sempit ruang bagi dirinya untuk mengartikulasikan tindakan praktis secara kongkret karena harus bertubrukan dengan hegemoni tunggal negara yang represif. Tindakan advokasi terhadap kelompok sosial yang lemah dan tindakan kritik sosial terhadap penguasa sama-sama menghadapi peluang yang makin sempit. Cendekiawan sadar akan kegagalan rezim developmentalis dalam meningkatkan harkat dan kehidupan berjuta-juta rakyatnya, sementara itu pula mereka tak mampu berbuat apa-apa karena rekayasa perubahan sosial telah menjadi monopoli negara. Pada konteks tindakan memberantas kemiskinan, misalnya, cendekiawan jelas mampu merumuskan cara memberantas kemiskinan itu. Namun mereka tak bisa membebaskan rakyat dari kemiskinan.

Mengapa kedua problem tadi muncul? Dalam buku ini disebutkan, problem epistemologi adalah bagaimana cendekiawan mampu mencip- takan kebebasan bagi dirinya melalui kreativitas berpikir dan pemikiran-pemikiran produktif sehingga ia dapat terbebaskan dari belenggu sejarah pemikiran. Kegenitan dan kegelisahan in- telektual lebih baik dikompensasikan pada pemikiran alternatif, betapapun tak ada gunanya secara politik.

Sedangkan jawaban atas problem moral-sosial cendekiawan adalah bagaimana mereka mampu membebaskan diri dari pengaruh tangan kekuasaan-birokratik-teknokratik. Jawaban ini berarti dengan tetap memelihara komitmen untuk tetap berada di luar struktur lembaga kekuasaan. Problem moral-sosial menuntut adanya cendekiawan bebas sebagai kelompok sosial independen yang memiliki kritisisme sosial. Eksistensi kelompok cendekiawan yang bebas-lepas dari praktek politik-birokratik-teknokratik ini sangat penting sebagai pengimbang kekuatan cendekiawan milik negara.

M. Dawam Rahardjo, guru besar Universitas Muhammadiyah Malang, dalam pendahuluan buku ini sudah menyodorkan pertanyaan menarik: tanpa mengingkari kemungkinan eksistensi cendekiawan bebas sebagai unsur kecil dalam masyarakat teknokratis di lingkungan inteligensia umumnya dan profesional khususnya, masih mungkinkah diterima pengertian adanya unsur kecendekiawanan dalam kelompok profesional dan dalam strata inteligensia? Apa bentuk kongkret tanggung jawab intelektual dan moral kelompok ini? Dengan asumsi bahwa kita menerima pengertian adanya civil society vis-a-vis negara (state), di mana kaum cendekiawan dan inteligensia menempatkan diri? Apa perbedaan persepsi tentang ambiguitas dan dilema dalam melihat kutub nilai: tradisi (keindonesiaan), agama, dan modernitas, di antara berbagai lingkungan kultural?

Seperti yang pernah diisyaratkan mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta, dalam Indonesia yang berdemokrasi, cendekiawan ikut serta dan bertanggung jawab tentang perbaikan nasib bangsa. Dan sebagai warga negara yang tahu menimbang baik-buruk, tanggung jawab tadi adalah intelektual dan moral. Buku ini mencoba merangkum berbagai pemikiran yang berkembang mengenai ek- sistensi dan tanggung jawab cendekiawan dalam Indonesia yang diterpa perubahan sosial.

Adig Suwandi
Peminat buku