Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Demokrasi dan Budaya Birokrasi

Judul: Demokrasi dan Budaya Birokrasi
Penulis: Dr. Kuntowijoyo
Penerbit: Bentang Budaya, 1994
Tebal: 272 halaman
Kondisi: Bekas (cukup)
Stok Kosong

Sebenarnya yang terjadi selama ini, sejak Orde Baru, adalah proses modernisasi dalam pergulatan. Namun, modernisasi, sejak diperkenalkan pada belahan kedua dasawarsa 1960, sudah mendapat tantangan maupun tentangan. Kesan pejoratif lalu menempel pada istilah modernisasi.

Karena itu, orang cenderung untuk tak memakai istilah itu. Lalu diganti dengan pembangunan. Bagi Dr. Kuntowijoyo, salah seorang penganjur modernisasi, pembangunan sama saja pengertiannya dengan modernisasi itu. Keduanya mengandung tiga aspek: rasionalisasi, demokrasi, dan nasionalisme. Dan ketiganya menjadi acuan ideologi golongan menengah di Indonesia.

Proses rasionalisasi terjadi dengan sikap meninggalkan cara berpikir mistis dan kepercayaan magis untuk digantikan dengan cara berpikir ilmiah. Rasionalisasi adalah juga penerapan per- hitungan untung-rugi dalam kegiatan ekonomi. Juga hubungan- hubungan berdasarkan kontrak dalam perdagangan dan industri. Dengan tiga cara berpikir itu, masyarakat bergerak dari kondisi agraris ke urban-industrial.

Demokratisasi dilakukan dengan meninggalkan orientasi pada status. Juga diwujudkan dengan menggalang partisipasi rakyat banyak dalam proses pengambilan keputusan. Tentu saja rakyat yang paling di bawah tak bisa secara langsung ikut dalam proses itu. Mereka diwakili oleh golongan menengah.

Nasionalisme di Indonesia pada mulanya adalah nasionalisme kultural sebagaimana yang diperlihatkan oleh Budi Utomo, yang didirikan pada 1908, sebagai organisasi kaum profesional In- donesia yang pertama. Tapi corak nasionalisme itu berubah dengan cepat menjadi nasionalisme politik yang menuntut kemer- dekaan dari penjajahan dan membentuk negara bangsa (nation-state).

Terhadap ketiga unsur ideologi, Kunto ingin menambahkan dua lagi nilai modern yang diacu oleh golongan menengah Indonesia pada perempat abad ke-20. Pertama adalah egalitarianisme atau nilai-nilai persamaan. Nilai ini dianut, baik oleh golongan agama maupun nasionalis. Kunto di sini agaknya melupakan kepeloporan golongan sosialis atau komunis dalam egalitarianisme, bahkan egalitarianisme radikal.

Namun, dalam buku kumpulan karangan yang disunting Mustafa W. Hasyim dengan judul Demokrasi & Budaya Birokrasi itu, Kunto mengakui bahwa cita egalitarianisme tak cukup merata dianut oleh golongan menengah. Kesan ini, sekali lagi, dikarenakan Kunto "melupakan" peranan aliran radikal dalam sejarah Indonesia. Sekalipun golongan sosialis dan komunis itu diingkari eksistensinya, dalam sejarah tidak bisa.

Cita kedua yang ingin ditambahkan ahli sejarah dari UGM, yang menulis disertasinya tentang Madura pada Universitas Columbia, itu adalah altruisme. Cita ini cukup kuat tertanam, terbukti dari kenyataan bahwa golongan menengah bekerja untuk kepentingan yang lebih luas dari kepentingan golongan menengah sendiri.

Terbentuknya birokrasi pada masa kemerdekaan telah memperluas golongan menengah dengan pegawai negeri sebagai birokrat baru. Ini terjadi akibat penerapan demokrasi liberal, lewat mana kekuasaan dapat digulirkan kepada berbagai kelompok politik, sehingga tidak ada penguasa negara yang permanen. Ini berakibat pencairan kelas atas.

Namun, kemudian terjadi pergeseran ke arah terbentuknya kelas baru secara permanen, karena terpisahnya pembagian kelas secara politik dan secara ekonomis. Ini menyebabkan menyusutnya golongan menengah secara kuantitatif maupun kualitatif. Hal yang disesalkan oleh Kunto dalam perkembangan peranan golongan menengah Indonesia selama 40 (sekarang 50) tahun terakhir: ter- jatuhnya golongan menengah menjadi rekanan lapisan atas kekuatan power elite, meminjam istilah Mills, dan mengerosinya pandangan dan sikap hidup altruistik menjadi egosentrik.

Kunto berpendapat tentang perlunya sebuah proses transformasi demokratis. Arus bawah merupakan faktor penting dalam mendorong proses itu. Namun, negara, betapapun punya peran sentral, hendaknya tak menjadi instrumen bagi sebagian kecil masyarakat untuk menguasai sumber-sumber ekonomi. Jika hal itu telah men- jadi kenyataan, maka yang diperlukan adalah suatu proses demok- ratisasi. Demokratisasi adalah juga pembagian surplus sosial secara adil dan merata.

Kunto melihat adanya tiga jenis demokrasi. Pertama adalah demokrasi politik. Demokrasi ini terwujud jika, dalam pembagian kekuasaan, masyarakat berada di atas negara. Kedua adalah demokrasi sosial, yang terjadi jika jaminan kesejahteraan warga negara mendapatkan alokasi memadai. Dan ketiga adalah demokrasi ekonomi, yang terwujud jika kekuasaan produktif berada di tangah bagian terbesar masyarakat.

Agaknya seluruh karangan Kunto ini terkerangka dalam pemikirannya tentang masyarakat industri. Dewasa ini Indonesia mengenal pasti beberapa gejala yang perlu dilihat secara kritis, misalnya dominasi teknostruktur terhadap masyarakat. Menuju masyarakat industri yang sejati, teknostruktur memerlukan sosialisasi, demokratisasi, dan humanisasi. Ini merupakan tugas para pemimpin baru masyarakat industri.

Dawam Rahardjo