Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Camera Branding: Cameragenic Vs Auragenic

Judul: Camera Branding: Cameragenic Vs Auragenic
Penulis: Rhenald Kasali
Penerbit: Kompas Gramedia, 2013
Tebal: 406 halaman

Wajah-wajah baru yang beken kian menggurita di tengah masyarakat. Mereka tak pakai dempul atau baju perlente. Tak juga merajut kata-kata manis di depan kamera. Sebut saja Joko Widodo (Jokowi) yang baru sukses menjadi Gubernur DKI Jakarta, mengalahkan sang petahana. Walau kalah di survei, nyatanya publik akhirnya jadi jatuh cinta pada Jokowi.

Atau agak jauh di Inggris Raya sana. Susan Boyle, yang penampilannya sempat dicela habis oleh Simon Cowell, sang juri Britain's Got Talent, akhirnya jadi orang yang paling dicari di seantero Inggris. Lima juta kopi album pertamanya laris manis di pasaran hanya dalam waktu dua bulan.

Seperti contoh di atas, Rhenald Kasali melalui buku teranyarnya, Camera Branding: Cameragenic vs Auragenic, ingin menyampaikan bahwa ada perubahan dalam selera publik tentang apa yang lalu lalang di depan kamera. Televisi tidak lagi menjadi medium searah seperti teori jarum suntik, yang populer dalam kajian komunikasi massa, melainkan juga menjadi televisi sosial. Artinya, medium ini menjadi lebih interaktif.

Dulu komoditas media yang dikemas apik di televisi bisa diprediksi pasti laris di pasaran. Artis cantik dan tampan selalu jadi tenar (ini disebut Rhenald sebagai cameragenic). Hal ini mendorong makin banyak kepalsuan di depan kamera. Tak mengherankan jika banyak tokoh publik berusaha mati-matian untuk selalu tampak di televisi guna mendapat kans bagus dari penontonnya.

Kini publik memasuki peradaban baru yang sangat berbeda. Sebuah perubahan yang menempatkan teknologi media yang begitu konvergen menjadi medium untuk membangun brand. Semua orang punya ponsel berkamera dan memiliki perekam suara. Setiap hal detail dalam kehidupan masyarakat tak bisa dilepaskan dari tangkapan kamera.

Muncul juga kemudian istilah citizen journalism alias jurnalisme publik. Bukan lagi media besar mapan saja yang bisa bicara ke publik, tapi semua orang memiliki porsi penting. Oleh Rhenald, ini dikatakan sebagai peradaban kamera.

Orang menonton TV tidak lagi untuk melihat kemewahan ibu kota atau kecantikan dan kemegahan di dalamnya. Mereka mencari orisinalitas yang mendekati realitas. Maka, banyak brand, baik komersial, politik, maupun demokrasi, yang lebih otentik dan realistis yang makin digandrungi. Semakin orisinal, semakin banyak publik yang memberikan umpan balik melalui kamera-kamera jalanan. Televisi makin interaktif.

Jadi, tak salah jika kemudian Rhenald melihat ada perubahan selera masyarakat. Mereka melihat brand bukan lagi melalui sebagus apa dia di depan kamera alias cameragenic, melainkan lebih ke seotentik dan seinteraktif apa dia di layar kaca alias auragenic.

Sebenarnya auragenic tidak sesederhana itu. Bagi Rhenald, auragenic tidak hanya memberikan brand awareness (kesadaran terhadap brand), melainkan juga memberi efek positif terhadap publik. Auragenic memang istilah baru. Tetapi nyatanya ini memberi efek yang signifikan terhadap posisi pihak-pihak yang ingin tenar di publik.

Camera branding, dalam hal ini, akan menjadi fenomena penting dalam marketing, social transformation, politik, pembentukan karakter, dan bisnis di era baru Indonesia. "Orang biasa yang bukan siapa-siapa bisa tiba-tiba terkenal karena kamera, tetapi bisa juga seorang pesohor tiba-tiba hancur karena kamera," begitu kata Jokowi.

Tetapi, kembali lagi, bagian mana di dunia ini yang bisa lepas dari logika komoditas jika sudah masuk industri pertelevisian?

Adistya Prabawati