Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Ironi Cukai Tembakau

Judul: Ironi Cukai Tembakau: Karut-Marut Hukum & Pelaksanaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau Indonesia
Penulis: Gugun El Guyanie, dkk
Penerbit: Indonesia Berdikari, 2013
Tebal: 204 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Harga: Rp. 100.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
 

Pada 2008, industri hasil tembakau mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 6,1 juta orang, baik langsung maupun tidak langsung. Penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) pun tidak sedikit. Data Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Kementerian Keuangan Republik Indonesia 2011 memperlihatkan, pendapatan negara dari CHT merupakan bagian terbesar dari seluruh penerimaan negara dari pungutan pajak dalam negeri. Bahkan, pada 2012, realisasi CHT-nya sebesar Rp 84,4 trilyun atau 95,5% terhadap total penerimaan cukai. Ini melampaui proyeksi pemerintah dalam RAPBN yang Rp 83,3 trilyun.

Nah, 2% dari CHT itu dibagikan kepada provinsi yang banyak menyumbang cukai kretek itu. Tentunya, Jawa Timur mendapat kucuran alokasi dana bagi hasil (DBH)-CHT paling besar setiap tahunnya. Pada 2012, Jawa Timur mendapatkan DBH-CHT Rp 689 milyar, kemudian alokasi definitif mencapai Rp 817,6 milyar. Besarnya alokasi yang diterima Jatim tidak terlepas dari keberadaan industri hasil tembakau. Sebagian besar dari 38 kabupaten/kota di provinsi itu merupakan daerah penghasil tembakau dan produk turunannya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 20 Tahun 2009, setidaknya ada lima jenis kegiatan yang dibiayai DBH-CHT. Yakni, peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di bidang cukai, dan pemberantasan hasil kena cukai. Adapun besaran alokasi untuk masing-masing dari lima jenis kegiatan ini sangat beragam di seluruh daerah. Demikian pula dengan alokasi untuk berderet kegiatan turunannya, sehingga menciptakan konfigurasi alokasi dana yang rumit.

Hasil penelitian menyebutkan ada tiga hal yang menimbulkan banyak persoalan dalam pengelolaan dan penggunaan DBH-CHT. Yakni, kewenangan pihak eksekutif terlalu besar dalam menentukan arah penyaluran DBH-CHT, aturan mengenai besaran alokasi kegiatan yang kurang jelas, dan sanksi ringan jika terjadi penyalahgunaan, yaitu hanya penghentian kucuran DBH-CHT.

Temuan di lima daerah penerima DBH-CHT --Jawa Timur, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta-- memperlihatkan bahwa sangat sedikit pemerintah daerah itu yang melibatkan pihak legislatif serta masyarakat sipil. Termasuk kalangan yang seharusnya menerima manfaat dalam penentuan peruntukan DBH-CHT. Hasilnya, pengetahuan dan pengawasan berbagai pihak di luar lingkaran eksekutif menjadi minim sehingga membuka celah dan peluang besar bagi pihak eksekutif melakukan tafsir "mana suka" dalam penggunaan DBH-CHT.

Persoalan yang ditemukan di semua daerah adalah terjadinya ketimpangan alokasi antar-kegiatan. Ada dua pola umum. Pertama, sulitnya menemukan daerah yang menerapkan pembagian DHB-CHT yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan nyata dari para penerima manfaat utama dari dana itu. Di Kediri, misalnya, kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan kualitas bahan baku tidak dilaksanakan, karena di daerah ini memang tidak terdapat perkebunan tembakau. Anehnya, kegiatan pembinaan industri mendapat alokasi sangat kecil (0,35%). Padahal, Kediri merupakan salah satu sentra industri rokok terbesar. Justru kegiatan "pembinaan lingkungan sosial" mendapatkan alokasi terbesar, yakni 98.59% (Rp 53,4 milyar).

Kedua, "pembinaan lingkungan sosial" menjadi kategori kegiatan yang paling banyak ditafsirkan secara bebas, sehingga paling sering mendapat alokasi terbesar. Dalam hal ini, tim penulis melihat sangat kuatnya dominasi "rezim kesehatan". Frase "pembinaan lingkungan sosial" menjadi jalan masuk legal untuk memanfaatkan DBH-CHT. Dominasi itu terlihat dalam jumlah besaran alokasi yang diterima.

Tentu saja, dominiasi "rezim kesehatan" dalam penggunaan DBH-CHT menimbulkan ironi, khususnya bagi para petani tembakau, kalangan industri hasil tembakau, dan para konsumen pembayar utama CHT. Dengan sangat tendensius, semua kegiatan sektor kesehatan yang menggunakan DBH-CHT di semua daerah secara eksplisit ditujukan untuk melemahkan sektor pertanian dan industri tembakau.

Ade Faizal Alami