Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Bujang Tan Domang Sastra Lisan Orang Petalangan

Judul: Bujang Tan Domang Sastra Lisan Orang Petalangan
Penulis: Tenas Effendy
Penerbit: Bentang Budaya, 1997
Tebal: 820 halaman
Stok Kosong


Ketika buku ini diluncurkan di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, beberapa waktu lalu, Tenas Effendy, penyusun buku ini, menjerit dengan penuh kecewa. Yang membuatnya kecewa adalah soal habitat atau tempat hidup cerita tersebut yang kini telah terguncang hebat. Disadari atau tidak, habitat itu rusak akibat digilas alat-alat besar pembabat hutan dan penebang kayu demi pengembangan lahan pertanian dan perkebunan besar, juga untuk permukiman baru. Gemuruh roda pembangunan dalam upaya peningkatan kehidupan rakyat telah menghalau sebagian masyarakat dan satwa setempat ke lahan-lahan yang lebih aman sebagai habitat baru.

Walaupun ada tombo atau terombo, yang dipegang orang Petalangan sebagai peraturan peruntukan dan pemakaian tanah warisan nenek moyang yang disebut dengan "tanah wilayat", mereka tak dapat berbuat apa-apa. Negara telah membuat peraturan baru yang banyak bertentangan dengan ketentuan tanah wilayat, sebagaimana disebutkan dalam tombo. Negara tak mengakui lagi hak penguasaan tanah secara adat tersebut. Itulah sebabnya, banyak orang tak tertarik lagi dengan tombo karena tak dipakai lagi sebagai bukti pemilikan tanah.

Situasi ini amat berpengaruh pada kelangsungan hidup tombo, yang dalam sastra lisan orang Petalangan diungkapkan secara lisan dengan nyanyian panjang berjenis puisi, antara lain dengan bentuk pantun dan bahasa berirama. "Akan lenyapkah karya sastra ini?" tanya Tenas Effendy. Ia akhirnya menjawab sendiri, bagaimana situasi yang bermula dari sebuah surat keputusan menteri yang memberikan izin hak pengusahaan hutan untuk sekian ribu hektare, yang dalam ketentuannya harus memperhatikan lahan perumahan dan pertanian rakyat yang tidak boleh diganggu. Bagaimana kenyataannya? Para usahawan yang sebagian juga "serakawan" tidak peduli, karena mereka mendapatkan bantuan dari apa yang disebut sebagai "oknum".

Lahan yang boleh digarap para usahawan itu haruslah lahan yang sudah ditetapkan dengan surat keputusan menteri dikurangi lahan untuk rakyat. Maka terjadilah permainan angka jumlah hektare yang sangat merugikan rakyat, karena tak sesuai dengan apa yang ditetapkan negara mengenai "hutan tanah wilayat" tersebut.

Menurut Tenas Effendy, tombo bukan sekadar menjadi rujukan untuk mengetahui asal-usul pedusunan dan hutan tanah wilayat, melainkan juga menjadi rujukan hukum adat, falsafah, dan norma- norma sosial yang mereka warisi turun-temurun, yang lazim disebut dengan tunjuk ajar.

Pesan-pesan dalam Nyanyi Panjang Tombo, selain dilengkapi dengan amanat dan petuah, juga mengandung pesan-pesan moral yang berisi nilai-nilai luhur budaya dan sosial masyarakat. Kelengkapan isi tombo dapat dikatakan sebagai sebuah ensiklopedi -yang kecil atau khusus- tentang orang Petalangan, seperti diucapkan Ignas Kleden pada peluncurannya.

Bahasa (dialek) Petalangan merupakan suatu dialek bahasa Melayu yang dicampur dengan bahasa atau dialek Minangkabau, khususnya dialek Payakumbuh.

Perhatikanlah kutipan ini:

Eeii ... Aaii ..../ Iyolah budak Bujang Tan Domang/ Copat belai di tongah umah/ Sodang engan to topian/ Sodang oat inyo menyusu/ Pemainan di umah bose/ Kalimpape di laman luwe/ Codiknyo bagai diaje-aje/ Bosenyo bagai ditiup-tiup

Indonesianya:

Eeii ... Aaii ..../ Ialah budak Bujang Tan Domang/ Cepat berlari di tengah rumah/ Sedang ringan ke tepian/ Sedang erat ia menyusu/ Permainan di rumah besar/ Limpapas di halaman luas/ Cerdiknya bagai diajar-ajar/ Besarnya bagai ditiup-tiup

Teks cerita dalam bahasa Petalangan yang disusun Tenas Effendy ini terdiri dari 716 halaman. Sebuah kerja yang tidak kecil. Dengan terbitnya buku ini bertambah pulalah kepustakaan sastra lisan Indonesia, di samping yang sudah pernah dikerjakan para ahli, seperti Tanggomo, Sastra Lisan Gorontalo (1991) oleh Nani Tuloli dan Cerita Kentrung Sarahwaelan di Tuban (1993) oleh Suripan Sadi Hutomo. Kedua buku ini diterbitkan Indonesian Linguistics Development Project (Ildep).

Sedangkan Bujang Tan Domang diterbitkan Ecole Francaise d'Extreme-Orient, The Toyota Foundation, Yayasan Bentang Budaya, 1997. Sepuluh tahun terakhir ini, Prancis memang banyak menerbitkan naskah-naskah Nusantara dalam rangka kerja sama budaya antara Indonesia dan Prancis.

Dan Bujang Tan Domang pun menjadi sumbangan amat berharga bagi ilmu pengetahuan sosial budaya di Indonesia.

Lukman Ali
Dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan mantan Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa