Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme

Judul: Tragedi Raja Midas: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme
Penulis: Dr. Komaruddin Hidayat
Penerbit: Paramadina, 1998
Tebal: 362 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 50.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Buku ini merupakan karya Komaruddin Hidayat yang ketiga, setelah beberapa karyanya juga diterbitkan oleh Paramadina. Yakni, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial (Paramadina, 1995), dan Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeunetik (Paramadina, 1996), yang memperoleh sambutan luas dan didiskusikan di berbagai kampus. Bukunya yang lain adalah Passing Overs Melintasi Batas Agama (Gramedia dan Paramadina, 1998).

Dalam buku yang terakhir ini, selain sebagai editor, ia juga menyumbangkan beberapa tulisannya. Selain aktif menulis di berbagai surat kabar, majalah dan jurnal ilmiah, serta menjadi pembicara dalam berbagai seminar dan diskusi, wajahnya pun sering muncul di-TV mengisi acara bertema sosial-keagamaan. Meskipun merupakan bunga rampai, buku ini cukup serius dalam mencoba menawarkan ide-ide tentang respon terhadap kehidupan sosial-keagamaan di Tanah Air. Bahkan, terkadang juga bersentuhan dengan wilayah politik, tapi tetap dalam bingkai wacana (ke)agama(an).

Karya utuh tentang pemikiran Islam di Indonesia, masih bisa dihitung dengan jari. Yang paling akhir adalah Agama dan Keadilan karya Masdar F Mas'udi. Buku ini, menurut Martin van Bruinessen antropolog terkemuka yang beberapa waktu tinggal di Indonesia merupakan karya yang original dan provokatif. Meski tidak utuh, buku Tragedi Raja Midas layak untuk diapresiasi. Cara penilaiannya tentu dengan kriteria sudut pandang bunga rampai. Komaruddin di buku ini mencoba melakukan rekonstruksi atau diturunkan sedikit kriterianya menjadi ''reintepretasi'' terhadap bangunan paradigma pemahaman kita tentang pesan-pesan agama (Islam). Kesadaran kita berpikir, memahami dan merefleksikannya dalam realitas kehidupan dicoba digugat lagi oleh Komaruddin. Komaruddin mengisahkan, betapa hancur-remuk nasib seorang raja bernama Midas yang dikutip dari mitologi Yunani Kuno.

Diceritakan, Raja Midas adalah sosok penguasa yang ''rakus'' yang selalu menumpuk kekayaan untuk diri dan keluarganya, sehingga ia tidak rela kalau ada orang lain yang memiliki kekayaan melebihi dirinya. Sedemikian serakahnya Raja Midas sehingga suatu hari ia datang ke Dionysus, salahsatu Dewa Yunani yang teramat sakti, untuk meminta petunjuk dan mantra agar ia memiliki tangan ajaib sehingga setiap barang yang disentuh berubah menjadi emas. Sampai makanan dan minumannya pun berubah membeku menjadi emas, terakhir juga anak-anak dan istrinya berubah menjelma patung emas. Demikianlah gambaran ''keserakahan'' anak manusia, yang akhirnya menjadikan celaka pada dirinya sendiri (hlm 91-92).

Di balik simbolisasi tragedi Raja Midas itu, Komaruddin mengkritisi fenomena penguasa yang serakah dan angkuh sebagaimana cerita Raja Midas tadi. Satu pesan yang bisa kita tangkap adalah bahwa ''keserakahan'' yang melekat pada seseorang akan mendatangkan malapetaka, baik untuk dirinya, masyarakat maupun lingkungannya. Terlebih lagi, jika ia seorang penguasa yang kebetulan mendapatkan fasilitas kekuasaan politik, maka hubungan sosialnya cenderung bersifat struktural dan menindas. Dalam jargon ilmu sosial, yang muncul adalah relasi kekuasaan yang dominatif, bukannya liberatif. Dalam situasi sosial seperti itu, bagaikan sebuah taman, orang-orang atau anak buah di sekelilingnya akan disulap menjadi ''patung emas''. Semahal-mahal harga patung emas tetaplah patung yang tidak bernyawa yang nilai dan harkatnya tidak sanggup menandingi nilai kemanusiaan yang dianugerahi nikmat hidup dan kemerdekaan.

Mengapa orang mau disulap menjadi patung emas? Karena, dalam dirinya juga terjangkit sindrom Midas, hanya tidak mendapatkan kesempatan sebagaimana raja Midas. Karena itu, political garden yang terhampar adalah suatu kebun yang tidak memiliki kehidupan. Di sana, tidak ada lagi elan vital. Tak ada canda, ledekan dan bahkan juga fantasi dan imajinasi yang begitu human karena mereka bukan lagi homo sapiens dan homo ludens. Karena, makna dan kualitas hidup yang spiritual dan intelektual telah direduksi dan digantikan dengan ukuran- ukuran yang sangat materialistik. Ukuran sukses atau gagal seseorang bukan lagi pada prestasi moral dan intelektualnya, tetapi seberapa jauh bisa mengakumulasi kekayaan meskipun dengan jalan mematikan kehidupan orang lain dengan sentuhan ''tangan Midas''.

Buku ini hadir persis di tengah suasana krisis politik, ekonomi dan hukum yang melanda Indonesia akibat model serta proses pembangunan yang salah, sehingga hasil jerih payah Orde Baru selama hampir tiga puluh tahun yang selalu dibangga-banggakan tiba-tiba dipertanyakan dan digugat kesahihannya. Paradigma pembangunan Midasisme akan mengukur hasil pembangunan dengan jumlah gedung bertingkat, banyaknya jalan tol, berdirinya tugu-tugu pembangunan. Pendeknya, pembangunan dikatakan berhasil jika aspek ekonomis-material meningkat, meskipun dimensi mentalitas dan kepribadian sebuah bangsa ambruk, ruh budaya hilang. Secara keseluruhan, buku ini bisa menyajikan sebuah potret fenomena kehidupan sosial-politik di negara kita yang senantiasa panas dengan intrik-intrik elit politiknya. Saya pikir buku ini cukup reflektif untuk menganalisa fenomena tersebut.