Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia

Judul: Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia
Penulis: Clifford Geertz
Penerbit: YOI, 1977
Tebal: 208 halaman
Kondisi: Buku bekas (cukup)
Terjual Bantul

Buku ini membahas tentang dua kota yang di teliti oleh Clifford Geertz, dua kota dan di dua provinsi berbeda yaitu Jawa dan Bali pada tahun 1952-1954 dan1957-1958. Di tanah Jawa dia meneliti kota Mojokuto, sebuah kota kecil  di daerah Jawa Tengah. Awalnya Mojokuto adalah daerah yang sebagian penduduknya bekerja sebagai petani di tanha mereka sendiri, sampai ketika Belanda secara besar-besaran mengusahakan pertanian dan perdagangan. Terutama tebu karena Mojokuto terkenal dengan sbutan “daerah gula”. Saking pesatnya saat itu, banyak petani yang bekerja musiman sebagai kuli perkebunan. Pesatnya perdagangan membuat beberapa kebun harus di korbankan untuk dijadikan jalur rel kereta api, hal ini membuka lapangan kerja baru untuk buruh kasar.

Sehingga waktu itu pasar kebanjiran pedagang-pedagang kecil yang mencari nafkah secara marginal, meskipun saat itu Jepang menjajah namun perkembangan ekonomi Mojokuto terus berkembang. Di Mojokurto terdapat 4 golongan besar, yaitu atasan (priayi), yang meliputi pegawai negri dan pegawai dengan pangkat yang tinggi, kedua adalah pedagang meliputi semua pedagang yang notabennya cukup kaya, lalu wong cilik yang meliputi buruh tak bertanah, petani-petani kecil dan tukang-tukang yang marjinal. Dan terakhir wong Cina, mereka merupakan pedagang di Mojokurto namun keberadaan minoritas di daerah Mojokurto. Meskipun Priayi kedudukannyan paling tinggi namun para pedaganglah yang merupakan golongan paling penting.

Pusat ekonomi Mojokuto adalah pasar, dengan definisinya sebagai satu struktur pranata dalam masyarakat Jawa diman formalisme, kesadaran status dan introversi yang merupakan ciri khas kebudayan Jawa menjadi lema. Karena perdaganga di Mojokuto pada umumnya bebas dari kurungan norma-norma yang kabur batasannya. Dengan penegetahuan yang kita peroleh dari teori Marx mengenai peranan Protestan, nampaknya teori ni berlaku di Mojokuto dimana para reformis Islam yang merangsang komuniti ekonomi di Mojokuto layaknya dahulu protestan dalam memacu ekonomi Barat.

Tidak sampai situ saja, pemerintah kolonial membangun toko-toko di depan bangunan pasar guna menyaingi toko orang Cina yang terlebih dahulu berdiri, dan juga guna merangsang pertumbuhan kelas pemilik toko pribumi. Adapula yang membangun industri rumahan di tenggara Mojokuto,  karena ada beberapa perusahaan tahu di daerah ini yang akhirnya disebut “kampung tahu”.

Dalam perkembangannya, Mojokuto mempunyai ciri-ciri khas. Pertama perkembangan ekonomi di Mojokuto ialah perkembangan ekonominya terjadi di dalam dan di atas landasan pola perdagangan tradisonal. Banyak pedagang tradisoinal itu bersifat fungsionel bagi timbulnya kapitalis modern. Kedua, masalah inti yang dihadapi oleh para pemimpin itu adalah masalah organisasi. Kekurangan modal, tenaga kerja yang terampil dan disiplin. Ketiga, perkembangan ekonomi di Mojokuto ialah perkembangan itu tergantung pada suatu revolusi yang belum selesai dalam gaya hidup kekotaan.

Mojokurto juga merupakan kota yang terdiri dari golongan-golongan status sub-budaya yang tersendiri, makin lama makin berubah jadi kota yang terdiri dari campur baur berbagai ormas yang terlihat di dalamnya intraksi penuh persaingan. Kemudian perkebunan juga telah mengeluarkan Mojokurto dan pedesaan di sekitarnya dari dunia tani swasembada untuk selama-lamanya. Awal menjelang tahun 1945 terjadi proses dislokasi dari struktur sosial tradisional mengalami pergeseran yang cepat, kebutuhan akan pola-pola organisasi baru sangat diperlukan hal itu terlihat dengan munculnya empat partai besar yaitu: PNI, NU, Masyumi, dan PKI yangmemiliki sejumlah perkumpulan yang khusus dalam rangka mengorganisir kegiatan sosialnya, biasanya disebut aliran.

Yang selanjutnya di teliti oleh Clifford Geertz adalah kota Tabanan, Bali. Konon kisahnya Tabanan awalnya sebuah dinasti yang didirikan pada tahun 1350 oleh Batara Hario Damar seorang palima dari Majapahit abad ke-14. Setelah delapan belas generasi tidak pernah terputus, Belanda menangkap raja Tabanan saat itu Nerario Ngurah Rai Perang, menjarah, membakar istananya dan hendak mengasingkannya. Namun sebelum di eksekusi sang raja bunuh diri sehingga dinasti yang sudah berumur lima ratus itu berakhir. Dibawah pengawasan Belanda akhirnya Tabanan dipimpin oleh kepala bangsawan junior. Setelah 20 tahun keluarga raja yang telah bunuh diri terdahulu dikembalikan dari pengasingan.

Setelahnya Tabanan dipimpin oleh orang yang kurang cakap sehingga pada saat itu Tabanan adalah satu-satunya kabupaten di Bali selatan yang secara resmi tidak mempunyai raja. Di Tabanan keratonlah yang memberi watak pada kota, bukan pasar karena kaum Hindu merupakan tokoh-tokoh yang menonjol bukan pedagang Islam. Dan di Tabanan sama seperti di Mojokuto terdapat penduduk Cina.

Di kota struktur lapangan pekerjaan agak mencolok, yaitu setengah jumlah penduduk Tabanan hidup dari hasil tanahnya sendiri (bertani). Buruh tani yang lumrah di Mojokuto di Tabanan buruh tersebut sangat langka. Pada bidang politik juga kelihatan perbedaan yang serupa. Meskipun di Tabanan ada 2 paratai politik PNI (Partai Nasional Indonesia) dan PSI (Partai sosialis Indonesia), tapi organisasi tersebut tidak se sitematis dan selengkap di Mojokuto. Pada dasarnnya di Bali afiliasi politik itu cenderung mengikuti kesetiaan kesetian traditional, sehingga kelompok kekerabatan desa dan kelompok-kelompok kasta yang merupakan refleksi dari posisi mereka di struktur sosial setempat. Jika di Jawa proses-proses politik itu makin lama makin penting artinya dalam pembentukan kesetian-kesetian setempat, maka di Bali hanya sebagai refleksi dari kesetiaan setempat saja.

Pada jaman pra kolonial Belanda ekspor utama Tabanan adalah kopi dan impor utamanya adalah candu. Dahulu di dagangkan oleh seorang Cina kaya raya “subandar”, yang diberi kekuasaan oleh kerajaanya untuk menjadi agen di Tabanan. Setelah Belanda menguasai Tabanan, merek memerintahkan Tabanan untuk memindahkan pasar mereka ke bawah ketempat diman toko-toko dan lapak yang sepi sehingga nantinya hasil akan lebih banyak.

Tetapi pada masa perkembangan seperti ini saudagar-saudagar terkemuka di Tabanan bukanlah orang Tabanan namun sekitar 50 – 100 orang dari daerah lain di Indonesia. Terutama daerah sekitar pantai laut Jawa yaitu Jawa, Sumatra, Kalimantan. Dan orang Jawa lah yang paling makmur di antara mereka. Namun karena dari keagamaan maupunyai kesukuan mereka (orang Jawa) dianggap asing. Orang Jawa menganggap orang Bali itu sebagai pemakan babi dan orang Bali menganggap orang Islam penipu yang tak beradab. Itu memberikan pengaruh yang dinamis pada kehidupan sosial pada umumnya.

Demikianlah tindakan Belanda lima puluh tahun yang lalu dengan menurunkan aristokrat Bali dan kedudukan mereka di perpolitikan yang telah memberikan guncangan fundamental di dalam sistem sosial Tabanan. Karena sumber-sumber perubahannya dirunut dari peristiwa bunuh dirinya raja dan pengasigan keluarga kerajaan. Sehingga saat di bebaskan penerus kerajaan tersebut kurang cakap dalam memimpin. Di Mojokuto kepemimpinan ekonomi telah jatuh ke tangan keturunan – keturunan golongan elite perdagangan dari tahun sepuluh sampai ke duapuluh yang berasl dri pesisir utara berorientasi Islam, di Tabanan kepemimpinan itu telah jatuh ke tangan – tangan keturunan golongan elite dari pra evealuasi, yang beragama dan terisolasi di dalam kasta mereka.

Golongan pengusaha yang baru saja muncul sebagiannya dari kaum aristokrat dia lebih mengutamakan re-organisasi pasar, di Bali terdapat persekutuan – persekutuan yang oleh orang Bali disebut “seka”. Kelompok sosial dibentuk berdasarkan kriteria yang tunggal dan ekslusif dan di curahkan untuk mencapai tujuan sosial yang tertentu dan biasanya agak khusus. Misalnya keagamaan, politik, ekonomi, atau apa saja. Semua aspek yang disentuh seka berujung pada peningkatan ekonomi seka. Sedangkan adapula komuniti di Bali yang dibentuk berdasarkan wilayah yang paling dasar biasa disebut Banjar. Satu banjar terdiri dari sepuluh sampai duaratus rumah tangga tersusun menurut pola tempat tinggal yang memusat dengan balai pertemuan bersama sebagai fokus.

Para bangsawan Bali yang ingin membuat pasar secara modern, berniat mendirikn Firma. Salah satunya adalah Gadarata yang mencerminkan dan tergantung pada pola-pola organisasi dan kesetiaan yang tradisionil. Gadarata berkonsentrasi pada bidang ekspor impor, mereka mengekspor kopi ke luar pulau. Perdagangan di Bali tidak pernah mencapai tingkat tertinggi seperti Jawa dan juga kebanyakan pedagang di Bali bukan lah warga lokal, melainkan warga (Indonesia)  dari luar Bali. Begitulah akhirnya firma di Mojokuto tak berkembang dan firma di Bali tidak berhasil menjadi rasionil. Untuk tahap-tahap berikutnya diperlukan adanya rekontruksi yang sempurna. Baik mental penjaja maupun mentalitas raja harus ditanggalkan dan digantikan dengan mentalitas pimpinan yang profesional.