Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Pembebasan Perempuan

Judul: Pembebasan Perempuan
Penulis: Asghar Ali Engineer
Penerbit: LKIS, 2003
Tebal: 318 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 70.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Berawal dari pemahaman bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Perempuan akhirnya ditempatkan di bawah derajat laki-laki. Perempuan seolah-olah makhluk kedua (secondary creation), dan pria adalah makluk utama. Dalam realitas empirik posisi perempuan kemudian 'ditindas' dengan melekatkan norma-norma feminis seperti: pengasuh, pemelihara, lembut, pasif, dan menerima. Parahnya, dalih yang acap kali digunakan adalah mengatasnamakan legitimasi agama.

Di tengah peta kondisi dan peta persoalan seperti di atas itulah, buku Pembebasan Perempuan --diterjemahkan dari The Quran Women and Modern Society karya Asghar Ali Engineer-- hadir menggugah ruang baca kita. Di dalamnya penulis mengupas secara cermat dan komprehensif untuk mendudukkan persoalan pada aras yang semestinya.

Secara substansial, menurut Asghar, setiap agama sesungguhnya mengemban misi pembebas menuju terciptanya persamaan dan keadilan. Semangat pembebas tersebut salah satunya tercermin dalam teks kitab suci dan teraktualisasikan dalam kehidupan nyata oleh para pemeluknya. Akan tetapi, sering kali terjadi kesenjangan yang luar biasa antara teks dalam kitab suci dan teks penafsiran atas kitab suci.

Kesenjangan itu muncul disebabkan para penganut agama kerap menempatkan penafsiran kitab suci setara dengan kitab suci itu sendiri. Sikap seperti inilah yang kemudian melahirkan hegemoni, stagnasi, dan kebekuan, sekaligus bagi yang lain sebagai tantangan yang harus dilawan. Di sisi lain, terjadi perlawanan keras dari kelompok masyarakat ortodoks terhadap perubahan-perubahan dalam hukum. Padahal, hukum-hukum tradisional adalah produk masyarakat kesukuan dan feodal. Dari sinilah kemudian perempuan tersubordinasi oleh laki-laki. Perempuan dianggap sebagai second sex, sebagaimana Simon de Beavoir dalam bukunya menggambarkan perempuan.

Dalam kitab suci Alquran (baca: Islam), persoalan gender sebenarnya merupakan contoh konkret betapa antara teks kitab suci, penafsiran terhadapnya, dan konteks sosial yang melingkupi sering terjadi benturan-benturan dan ketegangan. Sehingga keadilan gender di masyarakat muslim masih sangat heterogen. Keberagaman ini penting untuk dikritisi kerena sama-sama mengklaim dirinya berpegang teguh pada kitab suci.

Lebih jauh, hukum-hukum tentang gender sering kali merefleksikan nilai-nilai patriarki yang dibentuk dan dilegitimasi dengan menggunakan kitab-kitab suci keagamaan, dan kemudian dinyatakan bahwa hukum-hukum agama itu bersifat Ilahiah dan suci, atau dengan kata lain tidak dapat diubah. Persoalannya akan menjadi semakin pelik ketika usaha apa pun bentuknya yang mengarah pada perubahan hukum tersebut dianggap palsu, karena itu merupakan usaha manusia. Maka, perubahan terhadapnya tidak dapat diterima bahkan akan menerima konsekuensi dihujat dan diserapah (hlm 4).

Mengapa rekonstruksi penafsiran terhadap kitab suci perlu dilakukan? Sebab kitab suci sering kali ditulis dalam bahasa simbolis agar dapat memberikan relevansi yang permanen. Di dalamnya melekat satu tingkat ambiguitas yang membuatnya lebih fleksibel dan dapat menerima perubahan kreatif-konstruktif. Hal ini merupakan aspek urgen dari metodologi teologi untuk menghasilkan perubahan apa saja yang relevan dalam hukum.

Aspek penting lain dari metodologi ini adalah bahwa pemahaman tentang ayat-ayat suci dipengaruhi oleh keadaan, persepsi, perspektif, dan kecenderungan penafsir sendiri. Ini penting untuk dikemukakan karena pemikiran seseorang tak pernah berhenti secara final pada satu titik. Manusia, baik secara individual maupun kolektif, terus berubah dan berkembang. Kita mengenal, misalnya kategori sosial Marx muda dan Marx tua.

Kajian kritis seperti yang tersaji dalam buku ini penting untuk terus digelorakan, sebagai wujud perlawanan atas otoritas dan hegemoni tanpa batas. Dengan demikian, agama benar-benar dapat berfungsi sebagai pembebas sekaligus dapat mewujudkan masyarakat yang adil gender.