Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Meniadakan atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia

Judul: Meniadakan atau Merangkul? Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia
Penulis: Dr. Julianus Mojau
Penerbit: BPK Gunung Mulia, 2012
Tebal: 484 halaman

Bangsa plural! Inilah realitas Indonesia yang melekat sedari awal. Orang yang berbudi terang dan berpikiran fajar pasti melihat pluralitas sebagai kekayaan. Apalagi terbukti, negara ini terbentuk dan besar karena kekuatan itu. Para founding father kita memiliki beragam latar belakang.

Sayang, acapkali kelompok tertentu memakai perbedaan itu untuk menciptakan konflik terbuka ataupun tersamar dalam kemasan agama atau suku. Apa pun motifnya, ketegangan antara Kristen dan Islam adalah salah satu fenomena yang kerap terjadi.

Julianus Mojau setidaknya menyebut dua penyebab, yakni stigma terhadap orang Kristen Indonesia sebagai pihak yang mewarisi agama penjajah dan marjinalisasi golongan Islam oleh pihak penguasa Orde Baru. Kata Dr. Komaruddin Hidayat, di mata umat Islam, secara historis psikologis, umat Kristen memiliki beban yang merupakan "dosa warisan" dari penjajah, yang kebetulan kehadirannya turut memperkenalkan Kristen.

Sehingga, menurut Komaruddin, kaitan antara sejarah imperialisme dan Kristenisasi masih terasa sulit dipisahkan dan dihapuskan dari persepsi umat Islam. Asosiasi antara penjajah, misionaris, dan westernisasi masih terasa kuat; hal itu sekali-sekali muncul ke permukaan ketika ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan politik menguat.

Marjinalisasi tampak dalam berbagai perlakuan yang disangka sebagai tindakan diskriminatif, misalnya penolakan keinginan untuk menghidupkan Masyumi. Pembentukan suatu partai Islam baru ditolak. Partai-partai Islam dihimpun dalam Partai Persatuan Pembangunan yang dikendalikan. Sementara itu, beberapa teknokrat Kristen dipercaya kalangan militer (sebagai alat kekuasaan rezim Orde Baru) menduduki posisi penting di kabinet. Keresahan pihak Islam juga terkait dengan proselitisasi.

Atas hubungan pasang surut itu, menurut Julianus Mojau, telah muncul upaya dari kalangan Kristen untuk membangun hubungan baik dengan kaum muslim. Sebut saja T.B. Simatupang dengan teologi sosial modernisme, Josef Widyatmadja dengan teologi sosial liberatif, dan Victor I. Tanja dengan teologi sosial pluralis. Tentu tawaran teologi para tokoh itu memainkan peran sendiri-sendiri. Namun, dalam pandangan Julianus, model-model teologi itu masih menyisakan masalah karena tidak berhasil membuat pengalaman traumatis kaum muslim tersembuhkan.

Karena itu, Julianus menawarkan model teologi untuk melampaui model lama itu, yakni dengan teologi sosial pluralis-transformatif-rekonsiliatif. Dengan model ini, dia optimistis, hubungan Kristen-Islam akan berlangsung atas dasar ketulusan dan saling berangkulan untuk membangun negara-bangsa ini demi kehidupan bersama yang lebih damai, adil, dan sejahtera.

Menurut Julianus, demi meretas kebuntuan hubungan Islam-Kristen, tema refleksiologis yang mendesak adalah eklesiologi, yakni teologi yang memiliki karakter pluralis, transformatif, dan rekonsiliatif dalam hubungannya dengan kesadaran arah hidup bergereja dan umat Kristen pasca-Orde Baru.

Buku ini kaya data dan fakta karena merupakan hasil penelitian mendalam untuk disertasi doktoral penulis, yang berjudul "Pergulatan Teologi Protestan Selama Orde Baru". Sebagai buku teologi sosial Protestan, buku ini langka. Penulis berani mengkritik tajam teologi Protestan yang berkembang selama Orde Baru. Teolog modernis seperti Eka Darmaputera, T.B. Simatupang, Latuihamallo, O. Notohamidjojo, dan S.A.E. Nababan dinilainya berperan melegitimasi ideologi pembangunan dan hegemoni rezim Orde Baru.

Hal itu terjadi karena para tokoh tersebut umumnya sangat dipengaruhi ideologi pembangunan rezim Orde Baru serta teologi pembangunan Church Commission on Participation in Development sejak Sidang Raya World Council of Churches (WCC) di Upsalla pada 1967. Kata kunci dalam dokumen WCC dan Dewan Gereja Indonesia pada waktu itu adalah "pembangunan".

Kritik atas "pembangunan" di kalangan gerakan ekumenis (WCC dan DGI) pada umumnya berasal dari gerakan Urban Rural Mission, yang menganut teologi kontekstual dunia ketiga (teologi pembebasan).

Pada umumnya, teolog sosial liberatif secara tajam mengkritik kemiskinan struktural sebagai akibat kebijakan pembangunan yang dianut rezim Orde Baru. Para teolog sosial liberatif ini memberikan suara berbeda dari yang disuarakan teolog sosial modernis dalam menyikapi pembangunan.