Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku God, Do You Speak English?

Judul: God, Do You Speak English? Perjalanan Penuh Emosi Tiga Sukarelawan Indonesia di Tajikistan, Bangladesh, dan Guyana
Penulis: Jeff Kristianto, Nina Silvia, & Rini Hanifa
Penerbit: ReneBook, 2013
Tebal: 346 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 50.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Meninggalkan kemapanan kerja untuk menjadi sukarelawan (volunteer) pada sebuah masyarakat di sebuah negara yang ribuan kilometer jaraknya dari tempat asal adalah sebuah keputusan berani. Itulah yang dipilih secara sadar oleh Jeff Kristianto Iskandarsjah, pebisnis kerajinan tangan dan kuliner asal Bogor, Jawa Barat, yang mukim di Jimbaran, Bali.

Usai melewati tahap seleksi yang panjang, pada awal Februari 2011, Jeff berangkat menuju Tajikistan. Reaksi beragam dari teman-temannya membuat Jeff sempat termenung. Salah satunya komentar ini, "Biasanya orang kerja di luar negeri itu ke Amerika, Eropa, Australia, atau setidaknya Singapura, deh. Mendapat gaji lebih gede dari di Indonesia. Lo ngapain ke negeri yang masih konflik, digaji kecil banget lagi!"

Itulah pilihan Jeff. Sama seperti enam bulan sebelum berangkat, ia lebih memilih berkerja menjadi konsultan di yayasan untuk remaja penyandang keterbatasan di Bali yang memiliki anggaran terbatas. Padahal, tawaran kerja dari sebuah anak perusahaan asing di Bali dengan gaji dua setengah kali lebih besar tinggal diambilnya.

Jeff punya dasar pertimbangan sendiri: "Tapi ketika saya tahu ada puluhan anak penyandang keterbatasan yang berubah jalan hidupnya, saya merasa jauh lebih 'kaya' dibandingkan dengan membuat satu perusahaan internasional menjadi lebih kaya karena saya ada di sana."

Jeff ditempatkan di Khijand, kota kecil di bagian utara Tajikistan. Kisahnya di kota itu terbungkus dalam 22 rangkaian cerita penuh kejutan, kekonyolan, tantangan, keprihatinan, kemanusiaan, sekaligus optimisme. Jeff, misalnya, mesti merelakan US$ 40 melayang ke tangan polisi gara-gara memotret salah satu sudut Bandar Udara Dushanbe dengan nyala lampu flash. "Harga yang mahal untuk satu foto bodoh!" tulisnya.

Tugas utama Jeff adalah menyusun proyek "craft experience tour" untuk turis. Tujuannya, agar mereka dapat melihat dan belajar cara membuat kerajinan dari gerabah hingga karpet sehingga dari turis dan juga perajinnya terbentuk kesadaran tentang kerajinan Tajikistan yang berkualitas tinggi. Pembimbingan tentang desain dan kualitas agar sesuai dengan target pasar menjadi tantangan tersendiri.

Di sela-sela kesibukan Jeff mendatangi para perajin, banyak denyut dinamika sosial dan budaya masyarakat Tajikistan yang langsung bisa ia rasakan. Di siang hari bolong, Jeff sempat ditawari minum vodka! Dan minuman berkadar alkohol 40% ini dijual bebas di mana-mana.

Meskipun banyak kendala dari soal bahasa, kekakuan masyarakat lokal, hingga infrastruktur yang jelek seperti mati lampu dan air mati sehingga tidak bisa mandi, Jeff mencoba memahami karakter, adat, dan arti kehidupan bagi masyarakat lokal. Dia berusaha tidak seperti kebanyakan sukarelawan dari negara lain yang berkeluh kesah. Menurut Jeff, mereka masih memakai pola "negara asal saya paling hebat", mengeluh ini-itu, karena tidak sama dengan negaranya.

Bagi Jeff, banyak nilai yang bisa ditimba dari orang Tajikistan. Di balik wajah kaku dan jarang tersenyum, bangsa itu sungguh sangat senang berbagi dan menghargai orang lain. Di kendaraan umum, anak muda akan segera berdiri dan menyilakan orang yang lebih tua duduk, juga kepada orang asing. Mereka juga akan memberlakukan tamu dengan ramah penuh kekeluargaan sampai semua hidangan dikeluarkan.

Pencarian "negeri kedua" yang begitu menggetarkan dialami pula oleh Nina Silvia. Mengindamkan Sierra Leone di Benua Afrika sebagai tempat untuk berbagi pengalaman, Nina dengan agak kecewa akhirnya mesti rela ditugaskan ke Bangladesh, untuk posisi management advisor untuk Chief Circle Office di Rangamati selama 13 bulan. Namun teman-teman Nina merasa bersyukur atas kabar itu. "Buat mereka, Sierra Leone adalah negeri antah-berantah, mungkin saya tidak akan pernah pulang lagi," tulis Nina.

Ia pun meneguhkan diri seperti yang diikrarkannya. "Saya berjanji dalam sejarah karier saya, saya akan bekerja karena panggilan hati semata, bukan hanya karena karier dan gaji. Saya ingin bisa merasakan indahnya kerja dengan dasar sukarelawanisme ini dan bisa hidup di negera asing."

Pernyataan Nina itu terasa langka untuk perempuan di zaman serba-canggih dengan tujuan-tujuan lebih realistis, seperti peningkatan karier dan kompetensi, mencari perusahaan yang sanggup memberikan gaji tinggi, menemukan jodoh, serta membangun keluarga dan hidup bahagia serba-kecukupan. Akhirnya, awal Februari 2011, Nina terbang ke Bangladesh.

Di tempat barunya, Nina mendapati banyak kejutan. Di sana, ia mendapati tidak banyak sampah plastik. Pemerintah Bangladesh sejak 2002 secara nasional melarang penggunaan kantong plastik. Kebajikan lokal begitu melekat pada masyarakat di negeri yang sering diterpa bencana itu. Nina pun benar-benar merasa tertampar sangat keras. "Di sini orang-orang hidup secukupnya, berharap sedikit, bekerja banyak. Mereka biasa dengan kerja keras dan berhemat untuk masa sulit. Setiap saat harus siaga kalau-kalau gagal panen akibat banjir atau bencana lain."

Nina menimba pengalaman bagaimana minoritas etnis di Bangladesh menghadapi ketakutan dan perlakuan diskriminatif tidak saja dari masyarakat mayoritas, melainkan juga ketidakadilan dari pemerintah yang berkuasa. Ia pun merefleksikan semua itu dengan kondisi di Indonesia kini. Pengalaman Nina yang cukup menarik adalah ketika gerak-geriknya merasa terus dimatai-matai karena kecurigaan yang besar atas aktivitas para volunteer.

Rasa empati akhirnya mengantarkan volunteer seperti Rini Hanifa ke sejumlah pedesaan di Guyana, negeri kecil di Amerika Selatan. Setelah lima tahun menjadi pekerja kemanusiaan di lembaga nonprofit asing di Indonesia, Rini mencoba menjadi volunteer di Voluntary Service Overseas (VSO) Indonesia. Kebetulan untuk pertama kali VSO akan mengirim sukarelawan Indonesia ke 40 lebih negara di mana lembaga itu bekerja. Sejak berdiri pada 1958, VSO menempatkan lebih dari 40.000 sukarelawan berpengalaman secara profesional di lebih dari 90 negara tertinggal dan negara berkembang.

VSO adalah organisasi internasional independen terdepan yang bergerak dalam pembangunan dan bekerja melalui para sukarelawan. Mereka percaya, perubahan terjadi karena individu mampu mewujudkannya. Individu merupakan kunci untuk mengatasi kemiskinan, meskipun penyediaan pangan, infrastruktur, dan teknologi juga menjadi unsur yang penting.

Tiga penulis buku ini adalah bagian dari lima orang dari kelompok pertama yang masuk program Indo Vols dari VSO. Kini, ketika buku ini terbit, sudah lebih banyak orang Indonesia yang menjadi sukarelawan di luar negeri melalui VSO.