Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku The Tao of Islam

Judul: The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam
Penulis: Sachiko Murata
Penerbit: Mizan, 2000
Tebal: 462 halaman
Kondisi: Stok lama (Bagus)
Stok kosong




Membaca buku The Tao of Islam, muncul pertanyaan spontan: mengapa sebuah buku Islam harus diberi judul kata "Tao"? Taoisme adalah sebuah agama mistik Cina. Tak berlebihankah membaca Islam dengan cara pandang Taoisme?

Tembok pemisah teologis yang biasa muncul, bahkan sering diperkuat di kalangan agamawan, tak menghalangi Dr. Sachiko Murata, profesor studi agama-agama pada Department of Comparative Studies di State University of New York at Stony Brook, Amerika Serikat, untuk melakukan rintisan yang berani: menziarahi Islam dengan falsafah Cina, khususnya Taoisme dan Konfusianisme.

Ada sejarah yang cukup panjang sampai buku ini dapat terbit. Bermula dari keinginan Murata untuk menghilangkan stereotipe negatif di kalangan mahasiswa Barat atas Islam: Islam dianggap agama yang penuh dengan kekerasan, terorisme, dan sama sekali tak mempunyai konsep kemanusiaan yang mencerahkan. Apalagi kalau itu dibandingkan dengan falsafah Timur, yang sekarang sedang menjadi mode cara berpikir, bahkan cara hidup yang begitu digandrungi generasi muda Barat, lewat paham mistik new age.

Murata, yang bertahun-tahun mendalami falsafah mistik Islam dan Cina, dan pernah menulis disertasi tentang perbandingan hukum keluarga dalam Islam dan Konfusianisme, menganggap situasi ini tak menguntungkan untuk citra dan studi-studi Islam di Barat. Karena itu ia mengambil langkah drastis yang sangat cerdas, mencari orientasi baru dalam metodologi pengajaran Islam bagi mahasiswanya di Barat.

Pengetahuan Murata mengenai falsafah Cina telah menginspirasikan pengertian baru mengenai hubungan kedua agama ini. Ia melihat ada kesamaan dalam cara beragama kaum muslim dengan orang Cina. Tentang hukum agama dan aturan-aturan mengenai kehidupan sosial, misalnya, orang Cina memakai cara pandang Konfusianisme, sementara orang Islam melalui aturan keagamaan (syariah Islam). Dalam kehidupan mistik dan tekanan kepada pengalaman keagamaan, orang Cina menggunakan Taoisme, sedangkan kaum muslim menjalankan thariqah (jalan sufi).

Dari kajian-kajiannya yang kemudian menghasilkan buku The Tao of Islam ini, Murata tahu persis, banyak sekali kesamaan pandangan teologi, kosmologi, dan psikologi antara orang Islam dan Cina. Ia yakin, kedua konsep ini bisa dipertukarkan untuk membaca kedua agama itu. Maksudnya, orang Cina bisa memahami Islam lewat tema pemikiran Cina. Sebaliknya, orang Islam bisa memahami falsafah Cina melalui cara pandang Islam.

Murata mencoba menyiasati cara menangkal gambaran buruk masyarakat Barat atas Islam dengan "cara berputar" -- menjelaskan Islam dengan cara Cina. Strategi menepis stereotipe buruk cara Murata ini ternyata membuahkan hasil yang mengagumkan: mengubah stereotipe menjadi apresiasi yang luar biasa terhadap Islam. Mula-mula Murata mengajarkan falsafah dan kearifan Cina, seperti yang tercantum dalam kitab I Ching dan Tao Te Ching yang sangat dikagumi mahasiswanya. Selanjutnya ia mengajarkan Islamologi dengan terminologi Cina. Taoisme memang mendapatkan porsi besar dalam eksperimen perbandingan agama ini. Itu pula sebabnya Murata memberi judul bukunya The Tao of Islam, yang secara harfiah berarti "jalan Islam".

Falsafah Taoisme sangat menekankan pemahaman holistik dari tegangan-tegangan aspek feminin-maskulin yang terkenal dengan istilah yin-yang. Keseluruhan buku 462 halaman ini sebenarnya berisi mengenai relasi gender dalam pemikiran Islam, khususnya teologi, kosmologi, dan psikologi. Istilah "gender" di buku ini bukan dalam arti yang biasa dikenal dalam feminisme -- hubungan sosial laki-laki dan perempuan dalam konteks kuasa -- bahwa perempuan dalam sejarahnya selama ini telah mengalami diskriminasi melalui perlakuan yang tak setara. "Gender" di sini menerangkan bahwa Tuhan dalam seluruh realitas itu hanya bisa dipahami lewat paradoks-paradoks feminin-maskulin.

Murata menggambarkan, pada dasarnya Tuhan itu tak bisa dipahami dengan akal. Teologi Islam menyebut laysa kamitslihi syai-un (tak ada yang menyerupai atas-Nya). Atau Taoisme menyebut, "Nama yang dapat disebut dengan nama, bukanlah nama yang sebenarnya." Tapi bukan berarti kita tak bisa menangkap pengertian mengenai Tuhan, karena kita sebenarnya masih tetap bisa memahaminya lewat manifestasinya. Manifestasi ini, oleh Murata, disebut "Dualitas Ilahi" dan "Dua Tangan Allah". Manifestasi "Dua Tangan" ini adalah prinsip di mana alam ini ditegakkan, bahwa segala sesuatu diciptakan serba berpasangan -- ada lelaki ada perempuan, ada gelap ada terang. Dalam Taoisme, inilah prinsip yin-yang.

Karena itu, buku yang telah mendapat pujian dari banyak ahli Islam, seperti Seyyed Hossein Nasr dan Annemarie Schimmel, ini jelas merupakan sumbangan yang besar bagi pemahaman mengenai tema pemikiran Islam. Fokus buku ini adalah tasawuf, tapi metodologinya adalah falsafah Cina. Di samping isinya merupakan "kitab rujukan", metodologinya pun menggugah minat: sebuah penyeberangan yang saling meminjam konsep. Dan rupanya proyek "perbandingan agama" ini belum selesai. Murata sekarang sedang mengerjakan proyek sebaliknya: membaca falsafah Cina dengan cara pandang pemikiran Islam.

Budhy Munawar-Rachman,
Peneliti Yayasan Paramadina