Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstruksi Tatanan Sosial

Judul: The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstruksi Tatanan Sosial
Penulis: Francis Fukuyama
Penerbit: Qalam, 2000
Tebal: 528 halaman
Kondisi: Bekas (bagus)
Terjual Pekanbaru


Futuris Francis Fukuyama bicara tentang kekacauan besar dalam keteraturan sosial dalam beberapa bab penjelasan di buku The Great Disruption ini. Di bab pertama, ia menjelaskan tentang aturan-aturan yang berlaku di dunia selama ini. Di masa setelah Era Industri, lebih dari setengah abad, Amerika Serikat dan negara-negara ekonomi maju telah memasuki fase yang disebut sebagai “era informasi“ atau juga bisa disebut “era postindustri”. Masa ini ditandai dengan peningkatan di bidang ekonomi yang menggantikan posisi manufaktur. Peran informasi dan pengetahuan bertambah tinggi seiring dengan meningkatnya teknologi tinggi yang menggantikan tenaga manusia. Produksi semakin mengglobal ditambah lagi teknologi informasi yang semakin murah memudahkan pertukaran informasi dan komunikasi secara luas.

Masyarakat mengasosiasikan era informasi ini dengan adanya kemajuan di bidang internet pada tahun ’90-an, tetapi sebenarnya dimulai sudah lama dari masa deindustrilisasi di Amerika yaitu sekitar tahun ’60-an sampai awal ’90-an juga ditandai dengan meningkatnya kondisi sosial di negara-negara industri. Tingkat kejahatan dan gangguan sosial mulai meningkat di kebanyakan negara ditambah lagi tingkat demografi di negara-negara Eropa yang semakin menurun dan tingkat kepercayaan masyarakat semakin berkurang kepada pemerintah.

Tren sosial yang terjadi dimana melemahnya ikatan sosial yang terjadi di negara-negara barat muncul di saat ekonomi di masyarakat tersebut bertransisi dari era industrial ke era informasi. Hipotesis dari buku ini bahwa kedua faktor tersebut saling berhubungan, di mana yang menghubungkan adalah tehnologi, ekonomi dan budaya.

Fukuyama menjelaskan mengapa keteraturan sosial penting pada masa depan domokrasi liberal. Salah satu tantangan terbesar di era informasi modern yang dihadapi oleh demokrasi saat ini adalah apakah mereka bisa menjaga norma–norma sosial yang ada dalam menghadapi perubahan tehnologi dari kurun waktu 70-an pada awal 90-an telah muncul demokrasi baru di Amerika Latin, Eropa, Asia dan negara-negara bekas komunis yang disebut oleh Samuel Huntinton sebagai gelombang ketiga (Third wave).

Pada kebanyakan negara-negara ekonomi maju banyak terjadi penyatuan antara institusi politik dan ekonomi selama beberapa waktu, dan diajukan sebagai acuan yang dilihat pada politik liberal dan institusi ekonomi. Negara liberal yang modern mengambil sikap bahwa dalam hal yang menyangkut masalah politik, pemerintah tidak akan mengambil sikap antara dua pihak yang berada dalam posisi yang berbeda yaitu. agama dan budaya tradisi. Gereja dan negara adalah dua hal yang berbeda sehingga akan tercipta opini yang plural.

Masyarakat telah menciptakan pemikiran-pemikiran individulistik di mana pemikiran ini berjalan dengan baik dan bersamaan datangnya abad 20 terdapat beberapa alternatif terhadap demokrasi leberal dan kapitalime pasar sebagai dasar prinsip organisasi dalam masyarakat modern. Penciptaan aturan-aturan dalam hukum merupakan salah satu hal yang paling membanggakan dalam peradaban barat. Walaupun hukum formal dan kekuatan institusi politik dan ekonomi bisa di bilang sangat berpengaruh tetapi bukan jaminan suksesnya manyarakat modern. Demokrasi liberal selalu tergantung kepada beberapa nilai-nilai budaya agar bisa bekerja dengan baik. Masalah yang banyak dihadapi oleh demokrasi modern adalah bahwa mereka tidak bisa megandalkan pre kondisi budaya mereka. Dalam institusi formalpun tidak ada jaminan masyarakat yang berada dibawah naungannya, akan terus menikmati nilai-nilai budaya dan norma dibawah tekanan teknologi ekonomi, dan perubahan sosial malahan kebalikanya individualisme dan toleransi yang dibangun menjadi sebuah institusi formal bisa mendorong keragaman budaya dan mempunyai pontensial untuk menggali dari nilai-nilai moral dari masa lalu.

Secara khusus, Fukuyama menjelaskan tentang modal sosial (social capital). Modal sosial didefinisikan sebagai sebuah perangkat nilai-nilai informal atau norma-norma yang diperuntukkan bagi anggota-anggota kelompok dalam sebuah lingkungan tertentu yang dianggap cukup kooperatif. Kepercayaan juga merupakan suatu hal yang membuat berjalannya sebuah kelompok atau organisasi menjadi lebih efisien. Semua masyarakat memiliki perbedaan kapasitas dalam modal sosial yang ditandai dengan tingkat kepercayaan yang terangkum dalam norma-norma kooperatif seperti kejujuran, timbal balik dan rasa memiliki masing-masing anggota dalam sebuah masyarakat. Keluarga adalah salah satu dari modal sosial yang paling penting dimana pun.

Modal sosial memiliki banyak keuntungan terutama di bidang ekonomi dimana menjadi sebuah kritikan untuk menciptakan masyarakat sipil yang sehat yang merupakan gabungan antara keluarga dan negara. Fakta bahwa modal sosial bisa digunakan untuk tujuan-tujuan yang merusak tidak menutup kenyataan bahwa secara umum modal sosial sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

Tentang keluarga, Fukuyama menjelaskan bahwa di antara norma-norma sosial yang ada, yang paling diperhatikan adalah hal-hal yang berhubungan dengan reproduksi, keluarga dan hubungan antara jenis kelamin. Terdapat hubugan yang kuat antara keluarga dan modal sosial dimana keluarga merupakan hal yang paling mendasar dalam unit sosial. Teori modernisasi yang cukup populer dalam ilmu-ilmu sosial tidak melihat kehidupan keluarga sebagai suatu masalah terutama transisi dari keluarga besar menuju ke keluarga inti. Dan ini juga menjelaskan bahwa perubahan dalam struktur keluarga berpengaruh pada modal sosial.

Buku ini juga menjelaskan penyebab kekacauan keteraturan sosial dari kebijakan-kebijakan konvensional. Secara umum kebijakan konvensional yang berhubungan dengan faktor-faktor penyebab kekacauan dari aspek-aspek yang berbeda.

Pertama, kekacauan yang disebabkan oleh kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Terdapat sebuah korelasi antara keluarga berantakan, kemiskinan, kejahatan, ketidakpercayaan, rendahnya tingkat pendidikan dan tingkat modal sosial. Banyak kontradiksi dan argumen yang muncul mengenai dampak-dampak karena faktor-faktor ekonomi dan budaya. Pandangan kiri mengatakan beragumen bahwa kejahatan, keluarga berantakan dan ketidakpercayaan disebabkan oleh kurangnya lahan pekerjaan, kesempatan, pendidikan dan kesenjangan ekonomi.

Kedua, kekacauan yang disebabkan oleh tingkat kepemilikan dan keamanan. Kebalikan dari penjelasan sebelumnya dimana kemiskinan dan kesenjangan menjadi salah satu penyebab, kali ini kekacauan terjadi karena meningkatnya jumlah kepemilikan atau kekayaan. Argumen ini dikemukakan oleh Daniel Yankelovich dan Ronald Inglehart dimana konsep nilai-nilai post materialistis telah menyatakan bahwa tingkat kepuasan akan terpenuhinya kebutuhan dasar ekonomi memunculkan seperangkat prioritas yang berbeda seiring dengan meningkatnya hiraki kebutuhan.

Ketiga, kekacauan yang disebabkan oleh kesalahan pada kebijakan pemerintah. Penjelasan atas meningkatnya gangguan sosial dikemukakan oleh konservatif. Mereka melihat meningkatnya kejahatan sebagai hasil dari melemahnya sanksi kriminal yang muncul di masa-masa tersebut. Kelemahan yang paling mendasar menurut konservatif bahwa ilegitimasi hanyalah bagian dari masalah yangbesar yaitu melemahnya ikatan keluarga, diantaranya menurunnya tingkat kesuburan, peceraian, kohabitasi. Untuk memahami masalah kejahatan yang muncul adalah dengan mengurangi sanksi hukuman daripada mengubah institusi sosial seperti keluarga, komunitas, dan sekolah.

Keempat, kekacauan yang disebabkan oleh peralihan budaya asing. Ini menbawa kita ke arah dimensi budaya. Meningkatnya individualisme dan hilangnya pengawasan komunal telah memberikan akibat yang besar pada kehidupan keluarga, perilaku seksual dan keinginan orang untuk mematuhi hukum. Penjelasan dari masalah ini bahwa budaya bukanlah merupakan suatu faktor melainkan lebih kepada penjelasan mengenai waktu dan cepatnya arus transformasi karena budaya cenderung berubah secara kamban ketika dibandingkan dengan faktor-faktor lain seperti peralihan kondisi ekonomi, kebijakan publik atau ideologi.

Akibat-akibat yang muncul dari kekacauan juga dijelaskan lebih lanjut. Pertama, konsekuensi dari turunnya tingkat kesuburan terhadap hubungan sosial. Yang lebih ditekankan di sini adalah akibat dari menurunnya tingkat kesuburan dalam keluarga dan modal sosial karena akibat-akibat tersebut ini sangat sulit untuk diprediksi dan secara potensial dapat mengakibatkan sebuah kontradiksi. Masalah-masalah menurunnya tingkat kesuburan sangat sulit untuk diatasi bagi kohesi sosial yaitu dengan mengurangi hubungan ikatan kekeluargaan sebagai salah satu sumber modal sosial.

Kedua, konsekuensi dari kekacauan keluarga. Berubahnya bentuk keluarga inti di barat sangat berpengaruh secara negatif terhadap modal sosial. Hal ini juga berhubungan dengan meningkatnya tingkat kemiskinan pada masyarakat kelas bawah, ditambah lagi meningkatnya tingkat kejahatan dan menurunnya tingkat kepercayaan. Ada pemikiran yang dapat mempengaruhi konsep keluarga masyarakat madani. Banyak data mengacu bahwa perempuan yang bekerja lebih banyka terlibat dalam suatu organisasi dibandingkan perempuan tidak bekerja. Kapital juga mempengaruhi munculnya perubahan-perubahan terhadap keluarga secara kompleks. Dan tampaknya ini mengurangi pemikiran bahwa modal sosial diwakili oleh keluarga tapi memiliki pengaruh positif pada tingkat kepercayaan dan hubungan sosial di luar keluarga.

Ketiga, akibat kejahatan terhadap modal sosial. Tingkat kejahatan yang tinggi dapat mencerminkan ketiadaan modal sosial. Sangatnya jelas dampak dari hal tersebut berlaku sebaliknya dimana tingkat kejahatan yang tinggi dapat menyebabkan pelanggaran hukum dan ketidaktaatan pada norma yang dilakukan oleh anggota masyarakat sehingga tingkat kepercayaan antara mereka sangat kurang dan sulit untuk bekerjasama satu sama lain. Akibat jangka panjang dari ketidakterturan sosial akan menimbulkan banyak dampak negatif terhadap tatanan kehidupan masyarakat.

Hakekat manusia dan keteraturan sosial dijabarkan juga oleh Fukuyama. Para ahli ekonomi bersama dengan ahli sosiologi percaya bahwa norma-norma dikonstruksikan secara sosial. Cara mereka menginterpretasikan konstruksi ini berbeda-beda. Dari segi ekonomi lebih mengacu pada hal posisi individu secara rasional yang sejajar sementara pandangan sosiologi lebih kepada sebuah kekuatan yang besar dapat mengatur dan mendominasi kekuatan yang lemah. Tetapi untuk masa ini ilmu sosial lebih banyak didominasi oleh asumsi bahwa norma-norma sosial memang dikonstruksikan secara sosial dan untuk menjelaskan hal tentang fakta sosial lebih diarahkan kepada pemikiran Durkheim yang mengutamakan fakta sosial daripada hal biologis atau genetika. Ahli-ahli sosial tidak mengingkari bahwa manusia memiliki bentuk fisik yang dibentuk oleh alam daripada budaya. Tetapi model standar sosial menuntut bahwa hal-hal biologis hanya mencakup hanya pada tubuh, sedangkan pikiran merupakan sumber dari budaya, nilai dan norma-norma adalah hal yang berbeda. Ternyata terdapat banyak bukti-bukti nyata dalam kehidupan ilmu pengetahuan dimana model standar ilmu sosial tidak cukup, sehingga manusia lahir dengan kemampuan kognitif dan kemampuan khusus untuk belajar yang dapat mengarahkan mereka ke kehidupan bermasyarakat.

Bagi para ahli sosiologi dan antropologi, keberadaan hakekat manusia berarti sebuah relativitas budaya perlu dipikirkan kembali dan sangat mungkin untuk melihat perbedaan budaya dan moral yang universal. Bagi mereka yang tidak masuk ke kelompok ahli-ahli tersebut, hakekat kemanusiaan merujuk pada suatu pemikiran menggunakan pemahaman dengan nalar yang dimengerti sebagai arah pikiran manusia dan cara mereka bertingkah laku.

Mengenai hakekat kerjasama, Fukuyama mengulasnya di dalam bab kesepuluh. Terdapat dua hal yang menggambarkan kepentingan individual yang mengacu kepada kerjasama sosial, yaitu pemilihan hubungan kekeluargaan dan hubungan timbal balik. Pemilihan hubungan kekeluargaan adalah sebuah teori yang dikemukakan oleh William Hamilton pada pertengahan tahun 60-an dan dipopulerkan oleh Richard Dawkins dalam bukunya The Selfish Gene. Kemampuan sosial manusia dimulai dari sebuah hubungan keluarga dimana dalam keluarga terdapat pembagian peran terhadap masing-masing anggota sehingga anggota dapat belajar berinteraksi dan bekerjasama. Dalam sebuah kerjasama selain hubungan keluarga juga dibutuhkan sebuah hubungan timbal balik dimana dalam hubungan timbal balik akan tercipta sebuah kerja sama yang menguntungkan kedua belah pihak.

Dalam perdebatan polemik yang muncul tentang individualisme versus kolektivisme atau kapitalisme vesus sosialisme, orang cenderung melihat contoh yang diambil dari alam untuk membuktikan bahwa manusia secara alami dapat dilihat sebagai agresif, kompetitif dan hirarkis atau juga kooperatif, damai dan berbudaya. Bentuk kerjasama dan bentuk hubungan timbal balik muncul disebabkan karena mereka memberikan keuntungan pada individu-individu yang memilikinya. Kemampuan untuk bekerjasama dalam grup –yang termasuk dalam modal sosial—mengahsilkan keuntungan yang kompetitif pada menusia sehingga kualitas tersebut dapat dilestarikan dalam kelompoknya.

Secara khusus Fukuyama mengangkat isu penting dengan mengajukan pertanyaan: apakah kapitalisme menghancurkan modal sosial di dalam bab keempat belas buku ini. Menurutnya, ada kontradiksi budaya dari kapitalisme. Sumber-sumber yang menyangkut tentang kontradiksi budaya kapitalisme menjelaskan bahwa kapitalis berkembang pesat dengan memproduksi norma-norma yang memang dibutuhkan keberadaannya dalam menunjang pasar. Pemikiran yang paling populer dari pendekatan ini adalah pemikiran Joseph Schumpter mengenai kapitalisme, sosialisme dan demokrasi dimana kapitalisme cenderung untuk menghasilkan kelas-kelas elit dan juga mengganti ekonomi pasar ke arah sosialis. Dapat diterima fakta yang menyebutkan bahwa kapitalisme terkadang membawa dampak pada sebuah kerusakan dan dapat mengganggu tatanan yang sudah ada.

Di dalam pertukaran ekonomi dan moral, sangatlah sedikit ditemukan hubungan moral di luar hubungan kekeluargaan yang mengikutsertakan tindakan yang mementingkan kepentingan orang lain daripada hubungan yang timbal balik. Sementara itu suatu pertukaran ekonomi tidak sama seperti layaknya sebuah hubungan timbal balik yang sama-sama mementingkan kepentingan orang lain dalam sebuah komunitas moral. Pertukaran ekonomi menjadi sesuatu yang berbeda dimana pertukaran ini lebih memperkenalkan kebiasaaan timbal balik sebuah kehidupan ekonomi menjadi sebuah kehidupan moral. Pertukaran moral lebih memperkenalkan kepentingan dan keinginan dari masing-masing individu yang berpartisipasi di dalamnya.

Masalah yang muncul dalam masyarakat kapitalis modern terhadap sebuah hubungan moral tidak terjadi pada konsep pertukaran ekonomi. Masalahnya lebih kepada hal-hal yang menyangkut teknologi dan perubahannya. Kapitalisme sangatlah dinamis dan juga merupakan sumber kerusakan kreatifitas yang da
pat menghancurkan perubahan-perubahan yang ada pada komunitas manusia. Dan ini merupakan kenyataan yang terjadi baik itu pada pertukaran ekonomi maupun moral dan juga bisa disebut sebagai sumber kekacauan.

Bab terakhir buku ini mengkaji kembali proses rekonstruksi di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Banyak pertanyaan yang muncul mengenai kekacaauan yang terjadi, apakah hal tersebut terjadi karena meningkatnya ketidakteraturan moral atau sosial ataukah ada alasan-alasan lain yang menyebutkan bahwa kekacauan yang terjadi sifatnya lebih hanya sementara dimana masyarakat-masyarakat yang telah melaluinya akan berhasil menormakan kembali apa yang sudah dirintis? Apabila penormaan kembali ini dilakukan, bentuk apa yang akan diambil? Lalu apakah proses ini akan berjalan dengan sendirinya atau butuh intervensi dari pemerintah?

Hal yang paling mudah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah kekacauan tidak mewakili menurunnya sebuah norma dalam jangka waktu yang lama yang dibentuk oleh munculnya pencerahan, hakekat kemanuasiaan yang bersifat sekuler, atau sumber-sumber historis lainnya. Sementara budaya menekankan pada individualisme yang berakar kuat dalam tradisi, kekacauan yang terjadi lebih disebabkan karena peralihan dari industri ke postindustri dan perubahan yang terjadi pada mekanisme pasar. Mungkin hal yang paling mudah untuk menjawab pertanyaan menganai masa depan kekacauan adalah dengan melihat sejarah kekacauan tersebut di masa lalu.