Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Asal Mula Hukum Islam: Alqur'an, Muwatta', dan Praktik Madinah

Judul: Asal Mula Hukum Islam: Alqur'an, Muwatta', dan Praktik Madinah
Penulis: Yasin Dutton
Penerbit: Islamika, 2003
Tebal: 440 halaman
Kondisi: Buku stok lama (bagus)
Harga: Rp. 150.000 (belum ongkir)
Order: SMS 085225918312


Menurut Farouq Abu Zaid, hukum-hukum Islam yang dilandaskan melalui para Imam mazahibul arbaah muncul sebagai reaksi atas perkembangan masyarakatnya, dan bahwa hukum Islam senantiasa berubah, berkembang dan berganti menurut kondisi setiap zaman dan situasi masyarakatnya. Berkaitan dengan itu ia mengklasifikasikan para imam mazhab ke dalam sistem yang berbeda yaitu, Imam Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit (80-150 H) digolongkan Imam kaum rasionalis, Imam Malik ibn Anas (93-179 H) digolongkan ke dalam Imam golongan tradisionalis, Abu Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Syafi’I (150-204 H) digolongkan Imam kaum moderat, Ahmad ibn Hambal (164-243 H) imam kaum fundamentalis.

Buku ini memberikan perspektif baru tentang Imam Malik yang sebagaimana umumnya digolongkan kepada mazhab pemikiran tradisional yang tekstualis ternyata memiliki posisi ketiga, (alternatif, pen) antara para ahli hukum based text pasca Asy-Syafi’i dengan para orientalis Barat. Keberadaan kitab Muwataa’ sebagai kitab hukum yang dibuat pada masa awal Islam untuk tidak mengatakan yang terawal tentu menjadi bahan kajian yang menarik untuk mengetahui karakteristik kitab dan pengaruh tradisi Madinah, serta Al-Qur’an dalam kitab tersebut.

Dalam kitab-kitab yurisprudensi Islam (ushul fiqh) secara umum akan didapatkan bahwa hukum Islam bersumberkan dari al-Qur’an dan Sunnah. Berkaitan dengan itu, menurut Yassin Dutton terdapat dua pendapat utama tentang sumber-sumber yurisprudensi Islam. Pertama, pendapat dari para ulama klasik (yaitu paska Asy-Syafi’i. Kedua, pendapat dari kelompok resivionis dari mayoritas sarjana Barat modern, khususnya yang sependapat dengan Goldziher dan Schacht.

Pendapat klasik menunjukkan bahwa hukum Islam sebagai hukum yang berasal dari dua sumber utama, terpelihara dalam teks-teks al-Qur’an dan Hadits di samping sumber-sumber tertentu yang diakui lainnya seperti ijma’ (konsensus) dan qiyas (analogi) yang pada akhirnya otoritas final itu semua adalah berasal dari teks-teks itu sendiri. Pendapat kedua menganggap sebagian besar teks-teks hadits yang ada adalah palsu, hal ini dilakukan untuk memperkuat apa yang pada dasarnya merupakan tradisi lokal dari tiap-tiap pusat pendidikan di dunia Islam dengan otoritas nabi sebagai usaha untuk melegitimasi pendapat mereka.

Banyaknya hadits-hadits palsu dan tidak pernah ada atau sangat sedikit yang benar-benar eksis keotentikannya, serta terdapat sejumlah kerancuan dan kontradiksi baik dalam teks maupun periwayatan, menjadi bukti untuk meragukan otentisitas Hadis Nabi. Penyandingan kata Kitab dan Sunnah dan bahwa ungkapan Sunnah nabi telah dipakai sejak masa-masa awal, tetapi hanya dalam pengertian kabur dan umum atas apa yang dianggap benar dan sesuai oleh masing-masing kelompok yang menggunakannya, seperti digunakan oleh beragam kelompk politik yang masing-masing mereka menyerukan kembali pada Kitab Allah dan Sunnah nabi.

Berkaitan dengan eksistensi kitab Muwatta pada abad ke 2 H yang diragukan oleh para orientalis resivionis seperti diutarakan Calder yang berpendapat bahwa karya ini merupakan produk yang tertulis di Cordoba pada akhir abad 3 H. Yassin memberikan argumen-argumen empirik yang didapatinya untuk membuktikan bahwa Kitab Muwatta’ tidak hanya merupakan produk dari Malik di Madinah yang ditulis sebelum kewafatannya pada 179 H, tetapi secara substansial juga telah eksis sebelum 150 H. (hal.52-53). Buku ini terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama memberikan penjelasan tentang latar belakang konteks Madinah secara umum.

Signifikansi hal ini akan nampak nyata jika ingin meletakkan Malik dan kitab Muwatta’nya ke dalam setting ke Madinahannya secara tepat. Bagian ini terdiri dari tiga bab yang berbicara tentang Malik dan Madinah, Kitab Muwatta’, dan amal masyarakat Madinah.

Bagian kedua secara lebih khusus membahas tentang unsur al-Qur’an dalam kitab Muwatta’. Bab empat, Pertimbangan-pertimbangan tekstual, menjelaskan secara singkat aspek-aspek tekstual dari al-Qur’an dalam kitab Muwatta’ serta mencakup penelusuran terhadap bagian-bagian yang syazz yang terdapat di dalamnya serta arti pentingnya penafsiran.

Bab lima dan enam membahas tentang aspek-aspek yang bersifat teknis dari penerapan Malik terhadap al-Quran dalam kitab Muwatta’, walaupun seringkali bertentangan dengan latar belakang kontekstual tradisi. Bab ketujuh berhubungan dengan pertimbangan-pertimbangan yang lebih bersifat kronologis yaitu; arti penting naskh dan asbabun nuzul penafsiran al-Qur’an dalam konteks tradisi pada satu sisi dan kontribusi Dinasti Umayyah terhadap perkembangan hukum Islam dari pijakannya dalam al-Qur’an dan Sunnah di sisi yang lain.

Bagian ketiga merupakan kesimpulan yang terdiri dari tiga bab yang menjelaskan tentang al-Qur’an dan Sunnah, Sunnah versus Hadits serta diakhiri dengan kesimpulan melalui analisis berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya. Dengan kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam Kitab Muwatta’ terdapat banyak sekali kumpulan materi al-Qur’an yang dinyatkan secara jelas, tetapi sebagian besar dinyatakan secara tidak langsung dan taken for granted.
2. Unsur al-Qur’an merupakan sebuah bagian integral dari hukum Islam awal sebagaimana yang ditunjukkan dalam Kitab Muwatta’ dan tidak menjadi dalil pengesah yang terakhir.
3. Dalam term-term penerapannya, al-Qur’an tidak dapat dipisahkan dari Sunnah; tetapi, al-Qur’an menjadi motor bagi Sunnah, dan Sunnah menjadi pengejawantahan bagi al-Qur’an.
4. Sunnah lebih diketahui (bagi ulama Madinah) dari amal ketimbang hadits; begitu juga, ketika terdapat sebuah penafsiran terhadap teks al-Qur’an dan Hadits, maka penafsirannya lebih disandarkan pada latar belakang amal daripada semata-mata pada teks.
5. Dengan demikian, hadits lebih memiliki peran ilustratif daripada otoritatif dan pemahaman yang sebenarnya terhadap al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum yang diperoleh melalui kajian-kajian terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Hadits tidak sebanyak diperoleh melalui kajian terhadap apa yang disebut dengan amal.
6. Amal dan Sunnah tidak sama dan keduanya tidak dapat dikumpulkan di bawah terjemahan yang sama berupa ‘praktik’ atau ‘Tradisi yang hidup'. Tetapi sebagaimana Sunnah terdiri dari unsur al-Qur’an dalam praktiknya ditambah dengan unsur ujtihad (ijtihad nabi), maka begitu pula amal terdiri unsur al-Qur’an dan Sunnah dalam praktiknya ditambah dengan unsur ijtihad (ijtihad sahabat, tabi’in, khalifah atau ulama),
7. Perkembangan hukum Islam abad 1-2 menunjukkan dua kecenderungan: kecenderungan terjadinya perbedaan pendapat (ikhtilaf) yang ditimbulkan oleh ambiguitas bahasa dan kemungkinan-kemungkinan yang beragam dari penafsiran dan Kecenderungan terjadinya persamaan pendapat yang tampak dari semakin termarjinalkannya pendapat-pendapat yang syazz sebelumnya. / Mazhab yang ada.

Sebagai karya terjemahan, untuk memahami buku ini diperlukan ketelitian yang seksama agar sesuai dengan maksud penulis sesungguhnya. Dan menurut penulis disinilah kelemahan setiap buku hasil terjemahan, termasuk buku ini. Hal ini menuntut pihak penerbit untuk terus merevisi pada masa-masa yang akan datang. Namun demikian, hal ini tidak mengurangi dalamnya kajian yang disajikan oleh Yasin Dutton terhadap Imam Malik, dan kitab Muwatta’ yang penting bagi pemerhati hukum Islam pada khususnya
dan umat Islam pada umumnya.

Dalam mengkaji buku-buku hasil karya orientalis seperti ini perlu dikaji lebih mendalam dan tentu saja debatable. Menurut Prof Azim Nanji, kajian orientalism dapat menimbulkan sisi ironis pandangan terhadap suatu karya penelitian ilmiah, di mana “orientalisme” dan “Islamic Studies” yang oleh tradisi intelektual Barat-Eropa digunakan untuk mengkaji “yang lain” (the other atau Islam), ternyata telah menjadi teks serta objek kajian, sebagai “yang lain” atau Islam itu sendiri. Munculnya karya-karya seperti ini perlu kiranya menjadi bahan pertimbangan untuk terus mengkaji sumber-sumber hukum Islam klasik yang masih banyak belum disentuh oleh kalangan Islam sendiri.

Pada akhir tulisan ini, mengutip bahasanya Syafii Maarif, setiap karya harus dinilai kritis dan sejujur-jujurnya. Dan, adalah hak setiap orang untuk menerima atau menolak karya tersebut. Yang tidak etis adalah sikap menghukum karya seseorang tanpa merasa perlu mempelajarinya dengan seksama terlebih dahulu. Sikap semacam ini muncul kepermukaan sebagai manifestasi dari kecengengan intelektualisme.

Ali Mursyi Abdul Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta