Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Tarekat Petani: Fenomena Tarekah Syattariyah Lokal

Judul: Tarekat Petani: Fenomena Tarekah Syattariyah Lokal
Penulis: Prof. Dr. Nur Syam, MSi
Penerbit: LkiS, 2013
Tebal: 250 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 80.000 (blm ongkir)
SMS/WA: 085225918312
PIN BBM: 5244DA2C

Tarekat cepat berkembang dan punya pengaruh besar di Indonesia. Mukti Ali menyatakan, kunci keberhasilan pengembangan Islam di Tanah Air, antara lain, melalui tarekat dan tasawuf. Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Abd. Al-Rauf Singke, dan Wali Songo adalah penyebar Islam termasyhur.

Kehadiran Wali Songo dan mursyid di tengah masyarakat merupakan indikator bahwa penyebaran Islam dapat diterima masyarakat melalui tarekat. Dengan sikap hidup para syekh tarekat yang berpihak pada kepentingan rakyat, tak pelak nama dan ajarannya sangat berpengaruh dalam pembentukan pemikiran Islam rakyat serta elite penguasa di Nusantara.

Seiring dengan berjalannya waktu, tarekat mengalami stigmatisasi. Bahkan, dalam diskursus intelektual Islam, tarekat sering dituduh sebagai penyebab kemunduran dunia Islam. Walaupun tuduhan itu tidak sepenuhnya benar, pandangan semacam itu agaknya cukup dominan, baik di kalangan pemikir non-muslim maupun pemikir muslim. Tidak mengherankan bila peran-peran sosial politik yang sebenarnya riil dimainkan oleh tarekat terhapus dari dokumen sejarah.

Stigma itu muncul lantaran timbulnya kesenjangan di dunia tarekat. Secara harfiah, tarekat berarti jalan, yaitu jalan menuju Tuhan. Secara khusus, tarekat diartikan sebagai metode praktis untuk membimbing seseorang dengan jalan berpikir, merasa, dan bertindak melalui tahap-tahap kesinambungan ke arah tertinggi, yaitu hakikat. Inilah logika transendental yang menganggap bahwa tarekat hanya melulu hubungan kepada Sang Hakiki tanpa memedulikan kehidupan sosial.

Kondisi ini makin diperkuat dengan pranata sosial kaum tarekat. Hampir seluruh tarekat memiliki pranata dalam bentuk ajaran, seperti baiat, tawajjuh, khalwat, dan zikir. Pranata dan ajaran tarekat itu kemudian melahirkan suatu orde keagamaan yang membentuk struktur kehidupan komunitas penganut tarekat yang ketat, kuat, dan tertutup. Dalam kelompok yang dilandasi satu ajaran agama, keyakinan keagamaan anggota kelompok itu menjadi amat kuat dan mantap.

Melalui buku ini, Nur Syam meruntuhkan stigma kaum tarekat dan mengembalikannya seperti sediakala. Hasil penelitiannya di daerah Mayong, Jepara, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa tarekat tidak bersifat eksklusif. Tarekat bukan hanya soal wilayah manusia dengan Tuhannya, melainkan juga memiliki dimensi sosial.

Sebagian besar masyarakat Mayong mengikuti tarekat Syattariyah. Mereka pun mengamalkan ajaran-ajaran yang diwejangkan sang mursyid. Namun mereka tidak serta-merta melupakan aktivitas sosial ekonomi. Mereka, yang hampir mayoritas petani, masih melakukan aktivitas lainnya layaknya seorang petani. Acara seremonial di desa juga selalu dilaksanakan. Dinamika kehidupan pun mereka jalani seperti biasa layaknya makhluk sosial. Ini mengindikasikan bahwa stigma yang disematkan pada kaum tarekat tidak sepenuhnya benar.

Gerakan tarekat yang menyeimbangkan pengembangan spiritual dan kepedulian terhadap tugas duniawi merupakan gerakan keagamaan yang dibutuhkan dalam masyarakat yang sedang menghadapi efek pembangunan dan modernisasi. Secara teoretis, gerakan tarekat sebagai institusi pemberdayaan harus menjadi apa yang oleh Petter L. Berger dan Richard Neuhaus disebut sebagai institusi mediasi. Yaitu menjadi lembaga sosial keagamaan yang memiliki posisi di antara kehidupan individu yang bersifat privat dan lembaga makro yang berhubungan dengan kehidupan publik.

Gerakan tarekat yang bersifat keagamaan, seperti zikir dan tawajjuh dapat berfungsi sebagai sarana pembinaan wilayah-wilayah privat, yang bertujuan menguatkan keimanan serta moralitas anggota. Sedangkan kelembagaan (organisasi) tarekat dapat menjangkau peran-peran publik, seperti jaringan bisnis dan korporasi politik.

Di akhir bukunya, Nur Syam menyatakan, kehidupan sufistik melalui tarekat seyogianya tidak menimbulkan ekses negatif pengasingan diri dari kehidupan duniawi. Bahkan seharusnya konsep-konsep tasawuf dan pranata kelembagaan tarekat dapat dikembangkan sebagai jawaban atas problem sosial kontemporer.

Abdullah Hanif
Pemerhati dunia buku, alumnus UIN Yogyakarta