Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Sekolah untuk Kaum Miskin: Pelajaran Menakjubkan dari Masyarakat Paling Miskin di Dunia

Judul: Sekolah untuk Kaum Miskin: Pelajaran Menakjubkan dari Masyarakat Paling Miskin di Dunia
Penulis: James Tooley
Penerbit: Pustaka Alvabet, 2013
Tebal: 488 halaman

Sekolah dasar swasta itu terletak di permukiman miskin di Desa Xu Wan Jia, sebuah perkampungan di balik pegunungan tinggi menjulang di Provinsi Gansu, Cina. Ruang belajarnya berada di halaman rumah Xing Ming Xin, sang kepala sekolah. Sedangkan kantor sekolah merangkap sebagai tempat tinggal. Dengan segala keterbatasannya, sekolah yang didirikan pada 1996 itu memiliki 86 murid, 43 laki-laki dan 43 perempuan. Tanpa seragam, semuanya mengenakan pakaian beragam.

Xing Ming Xin salah tingkah ketika ditemui James Tooley, profesor bidang kebijakan pendidikan asal Inggris, di rumahnya. Ia dan kerabatnya langsung menggeledah laci dan lemari, mencari rokok Lanzhou yang masih terbungkus rapi. Rupanya rokok itu sengaja disimpan untuk para tamu istimewa.

Setelah melepas sepatu, Tooley dipersilakan duduk di atas sebidang tanah yang ditinggikan, sebuah tempat tidur sederhana keluarga Xing. Dibantu Lu Xiang sebagai penerjemah, Tooley mulai berbincang dengan sang tuan rumah mengenai sekolah di desa terpencil itu.

Menurung penuturan Xing, ia mendirikan sekolah itu karena desakan warga. Tujuh belas tahun silam, warga desa kecewa dengan nilai rendah anak-anaknya yang belajar di sekolah negeri. Padahal, mereka tidak ingin anak-anak mereka buta aksara. Warga yang mayoritas bekerja sebagai buruh tani itu pun memaksa Xing membuat sekolah. Pasalnya, Xing adalah satu-satunya orang di desa itu yang memiliki ijazah SMA.

Karena desakan itulah, Xing mendirikan sekolah tadi, dengan satu cita-cita: "menawarkan standar pendidikan lebih tinggi dibandingkan dengan sekolah negeri". Biaya sekolahnya 60 yuan (US$ 7,50) per semester, ditambah 25 yuan (US$ 3,13) per semester untuk buku pelajaran dan buku latihan.

Biaya itu lebih murah dibandingkan dengan sekolah negeri terdekat yang mematok 75 yuan (US$ 9,38) per semester, ditambah biaya yang sama untuk buku pelajaran dan buku latihan. Padahal, sekolah swasta itu tidak menerima bantuan dana dari pemerintah sebagaimana sekolah negeri. Bahkan, dengan biaya sekolah semurah itu, Xing dan istrinya menyediakan makanan dan minuman untuk para murid.

Namun ada alasan lain yang lebih penting selain biaya, yakni jarak sekolah negeri terdekat, yang harus ditempuh satu jam perjalanan kaki melewati medan terjal. Jika musim hujan dan salju, jalanan tidak dapat dilalui dan sekolah negeri benar-benar tidak dapat diakses anak-anak buruh tani. Tapi, jangan salah, setiap ujian negara di kabupaten, nilai ujian siswa-siswi dari Desa Xu Wan Jia selalu lebih bagus daripada murid-murid didikan sekolah negeri.

Sayangnya, sekolah swasta itu terancam bubar. Pasalnya, Xing kesulitan menemukan orang yang bersedia mengajar. Orang berijazah SMA rupanya enggan mendatangi desa terpencil itu. Bahkan orang-orang terpelajar dari desa itu lebih memilih mengadu nasib di kota ketimbang mengajar di sekolah desa dengan gaji 200 yuan (sekitar US$ 25) per bulan. Karena hanya tersisa dua guru, Xing terpaksa menghapus kelas IV dan kelas V.

Desa Xu Wan Jia bukanlah desa yang pertama kali ditelusuri Tooley dalam ''berburu'' sekolah swasta di permukiman miskin. Perjalanannya bermula dari daerah kumuh di kota Tua Hyderabad, India. Ia terkejut menemukan daerah itu dipenuhi sekolah kecil, yang didanai secara mandiri oleh orangtua siswa. Ia berusaha mencaritahu apakah sekolah itu mampu menyediakan pendidikan berkualitas. Dari situlah dimulai petualangan ke kota kumuh terbesar di Afrika hingga akhirnya sampai di daerah Gansu.

Buku ini merupakan hasil laporan penelitian yang didanai Bank Dunia untuk mengamati sekolah-sekolah swasta di kawasan miskin dan terpencil. Hebatnya, Tooley berhasil mengubah laporan riset yang biasanya kering menjadi cerita mengalir mengenai bagaimana para orangtua yang miskin berjuang menghadirkan pendidikan bermutu bagi anak-anak.

Selain menggambarkan semangat dan kasih sayang orangtua, secara tidak langsung hasil pengamatan profesor pendidikan dari Universitas Newcastle, Inggris, itu mengajak kaum miskin untuk tidak harus menunggu sedekah pendidikan dari keangkuhan negara.

Ade Faizal Alami