Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu

Judul: Dari Buku ke Buku: Sambung Menyambung Menjadi Satu
Penulis: P. Swantoro
Penerbit: Tembi dan KPG, 2002
Tebal: 461 halaman
Kondisi: Buku baru stok lama (bagus)
Terjual


Tidak kurang dari 200 buku diceritakan di sini dengan cara yang demikian rupa sehingga tampil seolah-olah pribadi yang hidup: bagaimana buku lahir, berkembang, bergerak, dan menggerakkan sang pencerita dalam kegiatannya sehari-hari. Di latar belakang masih tersembunyi sekitar tiga-ribuan buku lain milik pribadi sang pencerita yang memancarkan pengaruhnya.

Pada usianya 70 tahun, sang pencerita hendak memindahkan sebagian buku itu ke museum khusus di daerah tempat lahirnya, Yogyakarta dan sebagian lagi di rumahnya, dengan harapan akan dimanfaatkan oleh umum. Lewat karya ini, ia terlebih dulu ingin bercerita kepada cucu-cucunya, dan dengan itu kepada generasi mereka.

Polycarpus Swantoro bak seorang Don Quixote. Ia suka membaca buku dan seolah berdiam di masa silam. Sebagaimana Don Quixote tergila-gila oleh roman dan para ksatria (knight), Swantoro terpesona oleh buku sejarah dan para sarjana yang hidup seperti yogi. Dan kelihatannya ada yang terasa majenun (quixotic) dalam hidup wartawan senior Kompas ini. Itulah perkelanaannya ke pedalaman perpustakaan, seperti tanpa tujuan, dan melarutkan diri dalam berbagai bahan pembicaraan.

Buku karya P. Swantoro ini tak memiliki tema tunggal. Juga tak ada sistematik yang terjaga. Isinya beragam-ragam, dari politik hingga sastra, dari profil para sarjana pengkaji Indonesia hingga empu pembuat keris. Kenangan pribadi, minat akademis, dan gairah seorang kolektor barang antik bercampur di satu titik. Pemaparannya di-biarkan mengalir lancar sampai jauh, melewati berbagai kelokan, dan muaranya tidak begitu ketahuan.

Seperti tersirat dari judulnya, Dari Buku ke Buku: Sambung-Menyambung Menjadi Satu, buku ini memang bercerita seputar buku. Buku yang disinggung-singgungnya umumnya sudah tua dan langka serta isinya berkaitan dengan sejarah Indonesia. Misalnya The History of Java karangan Thomas Stanford Raffles (1811-1816), yang terbit pada 1817, atau Onrust op Java, De Jeugd van Pangeran Dipanegara: Een Historisch-Litteraire Studie karya S. van Praag, yang terbit pada 1947.

Jika Anda pencinta buku, karya P. Swantoro ini adalah contoh yang bagus perihal apa artinya menulis. Dalam buku ini, menulis dapat dilihat sebagai akibat dari membaca. Yang dituturkan di dalamnya adalah pengalaman sang penulis sewaktu membaca buku-buku yang dicari, dikumpulkan, dan dicintainya. Swantoro, kolektor buku yang berlatar belakang pendidikan di bidang sejarah itu, mengistilahkan pengalamannya sebagai "perkelanaan memori". Jadi, buku-buku penting yang dibicarakannya adalah yang melekat erat pada ingatannya.

Tapi buku ini bukan kolase resensi, melainkan lebih mendekati sebuah ensiklopedia, semacam kompas yang menunjukkan rujukan-rujukan utama yang kita perlukan manakala hendak meninjau sejarah Indonesia. Dan memang terasa sekali adanya tendensi untuk mempertautkan buku-buku yang dibahas dalam buku ini dengan sejarah negeri yang hebat ini. Malah judulnya itu tadi agaknya bisa mengundang asosiasi kepada pulau-pulau yang sambung-menyambung menjadi Indonesia. Katakanlah karya ini adalah semacam upaya melihat sejarah Indonesia dari sebuah ruang baca.

Menghadapi buku kayak begini, kita bisa bertanya: buku-buku penting apa yang tidak dibaca, atau tidak disinggung-disinggung, oleh Swantoro? Dengan kata lain, segi-segi penting apa saja dari sejarah Indonesia yang tidak disoroti atau cenderung tersembunyikan dalam buku ini? Pertanyaan seperti itu, rasanya, penting juga. Sebab, kita tahu, setiap teks cenderung menyembunyikan atau menyisihkan teks lainnya.

Ambil contoh perihal "Peristiwa 30 September 1965" yang menurut Swantoro merupakan "periode yang sangat penting dalam sejarah Indonesia." Anehnya, buku yang dikutip sehubungan dengan peristiwa itu cuma Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966) karangan Hermawan Sulistyo. Dan, anehnya pula, peristiwa itu sendiri cuma dikomentari sambil lalu dalam ruang yang kurang dari dua halaman belaka.

Betapapun, buku ini terasa penting juga artinya. Bahkan, untuk jenisnya, buku ini mungkin yang pertama di Indonesia. Ditulis dengan kesadaran akan pentingnya sumber dan akurasi pengutipan ala wartawan kawakan, buku ini seperti menegaskan betapa pentingnya membaca dan menulis dalam hidup kita.

Juga terasa adanya kehendak untuk menyapa kaum muda dalam buku yang diluncurkan sehubungan dengan ulang tahun Swantoro yang ke-70 ini. Dalam buku ini, Swantoro mendudukkan diri sebagai seorang "kakek". Dan kalau Anda mau dianggap cucunya, Anda pasti merasakan semacam ajakan untuk berjalan-jalan sambil menghikmati sebuah pelajaran perihal asketisisme intelektual.

Namun, pada akhirnya, kita mungkin mesti meniru karakter "the curate" dalam bab keenam buku pertama roman klasik Don Quixote karya Miguel de Cervantes Saavedra yang termasyhur itu. Dengan apa yang oleh Cervantes disebut "pemeriksaan yang menyenangkan dan mengundang penasaran" (the pleasant and curious scrutiny) atas seabrek buku, kita mungkin bisa tahu buku-buku mana dari koleksi Swantoro yang betul-betul perlu kita baca dan tak perlu dilemparkan ke luar jendela.