Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17

Judul: Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad Ke-17
Penulis: Leonard Y. Andaya
Penerbit: Ininnawa & Media Kajian Sulawesi, 2004
Tebal: 483 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Stok Kosong


Buku yang ditulis seorang “Bugisianis” Leonard Y. Andaya (pengajar pada University of Auckland Selandia Baru) ini, bisa dikatakan cukup spektakuler. Ia mengungkapkan kisah budaya dan sejarah pergolakan politik di Sulawesi Selatan pada abad ke-17 sampai ke kisi-kisi paling terkecil sekalipun sehingga buku dengan judul asli “The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) In the Seventheenth Century” ini sangat patut mendapatkan perhatian untuk dibaca bagi generasi sekarang, meski oleh penulisnya memberikan beberapa catatan peringatan.

Andaya pada bagian pendahuluan mengemukakan dengan sangat hati-hati, bahwa sampai sekarang ini masih banyak orang Makassar yang mengenang kejatuhan Goa (baca: Kerajaan Gowa) dengan sangat getir; Mereka menganggap bahwa sebuah kerajaan “Indonesia” sejati, telah dihianati oleh kelompok “Indonesia” lainnya, dan menjadikan Belanda, sang “kolonial”, sebagai pemenang utamanya…..(hal. 2)

Andaya membahasakan seperti itu, karena disesalkan kalau standar sekarang setelah Indonesia merdeka, digunakan sebagai ukuran untuk mengevaluasi kejadian di abad ke-17, karena sentimen dari semangat nasionalisme sekarang tidak sama ukurannya pada masa kerajaan kala itu, dimana Indonesia (tanpa tanda petik) belum ada. Itu juga sebabnya, ketika standar masa lalu digunakan, Andaya melakukan penulisan Indonesia dengan tanda petik. Kalau menggunakan standar sekarang, maka kata Andaya orang Sulawesi Selatan, antara yang bersuku Bugis atau Makassar tidak akan pernah berhenti memperdebatkan peran tokoh masing-masing sebagai “Pahlawan Nasional” Indonesia sejati, dan siapa yang melakukan penghianatan.

Andaya sepertinya tidak ingin terjebak dengan ukuran dan perdebatan yang ikut berlanjut mempengaruhi konstalasi perpolitikan lokal Sulawesi Selatan sampai sekarang. Ia hanya ingin menyelesaikan ambisi penelitiannya untuk menggali dan mengungkit sejarah lokal di “Sulawesi Selatan” pada abad ke-17, karena menurutnya meski peristiwa sejarah lokal pada paruh abad ke-17 telah banyak diterbitkan, tetapi cenderung berorientasi regional dan hampir tidak ada yang membahas implikasi peristiwa tersebut terhadap wilayah “Sulawesi Selatan” secara keseluruhan. Itulah sehingga kalau mau dikatakan buku inilah yang berhasil mengungkit secara meluas implikasi itu, berangkat dari peran Arung Palakka yang ikut berperan meluluhlantahkan Benteng Somba Opu.

Kerajaan Gowa adalah salah satu dari tiga kerajaan tersohor di nusantara yang sangat diperhitungkan oleh VOC. Salah satu faktor pendukungnya, karena Gowa berada di posisi yang sangat strategis, tepat berada di kawasan perlintasan perdagangan sejumlah negara asing yang bermaksud memperebutkan hasil kekayaan bumi yang melimpah di semenanjung kepulauan Maluku. Dan strategi politik perekonomian yang diberlakukan para Raja-raja Gowa pada Abad 16, bahwa “Gowa adalah Negara yang terbuka bagi siapa saja”, kemudian sangat mendukung bertumbuhkembangnya Bandar Makassar sebagai pelabuhan transit pelayaran bagi siapa saja, dari dan menuju ke Maluku. Meskipun diberlakukan secara terbuka, tetapi para Raja-raja Gowa tidak mau menerima sistem kongsi, karena ia tidak mau didikte oleh negara asing.

Kondisi seperti itulah yang membikin gerah kaum komponi VOC yang bermarkas di Benteng Fort Rotterdam, sehingga secara diam-diam berkali-kali bermaksud menggempur Gowa yang dipandang oleh mereka sangat angkuh. Dan bertepatan dengan itu, sejumlah kerajaan lain di dataran “Sulawesi Selatan” yang telah ditaklukkan Gowa, sedang sengit-sengitnya terlibat pergolakan dan konflik kekuasaan. Sementara Kerajaan Bone yang menjadi seteru utama Gowa, sedang dalam puncak ketegangan untuk segera meladeni Gowa yang dipandang sangat arogan dengan kebesarannya. Lebih-lebih ketika Gowa mempekerjakan secara paksa ratusan masyarakat Bugis untuk menggali kanal pembatas antara Benteng Somba Opu dengan Benteng Panakukang yang dikuasai kompeni.

Momen itu kemudian dimanfaatkan oleh kompeni untuk menggalang kekuatan dengan Bone yang saat itu dimahkotai Arung Palakka sebagai Raja Bone. Tidak dapat terhindarkan lagi, Benteng Somba Opu pusat pemerintahan Gowa di gempur. Perang Makassar secara besar-besaran sudah terlanjur meletus. Kisah sejarah yang memilukan ini kemudian mencatat, tidak siapapun bisa membayangkan kalau kerajaan terbeser dan tersohor itu akhirnya lulu-lantah. Tahun 1669, Benteng Somba Opu yang menjadi simbol kedigjayaan Gowa hancur lebur rata dengan tanah jatuh ke tangan musuh, sekaligus inilah masa akhir keemasan kerajaan Gowa.

Demikian alur kisah diungkapkan secara akurat oleh Andaya dalam buku setebal 459 + xiv ini. Dikatakan akurat karena pada kisah sejarah sekecil apapun ikut diungkapkannya, misalnya isi sumpah Arung Palakka yang tidak akan pernah memotong rambutnya yang panjang sebelum ambisinya tercapai untuk menaklukkan Gowa. Tetapi sekaligus dari pengungkapan sebanyaknya hal-hal sekecil, buku ini menjadi rumit untuk dicermati alur sejarah yang diungkapkan. Apalagi dalam menulis buku ini, Andaya memiliki ambisi untuk mengcover banyak kepingan-kepingan kisah sejarah di daratan ”Sulawesi Selatan”, sehingga alur (akurat) yang diungkapkannya selalu berkelok jauh dari alur yang semestinya harus dituntaskan. Makanya membaca buku ini, seperti ketika menghadapi sebuah buku berbetuk novel.

Menulis buku ini, Andaya memiliki cukup banyak reference. Mulai dari wancara ahli sejarah, buku-buku hasil penelitian (lokal, nasional dan internasional), lontarak Bugis-Makassar, dan manuskrip sejarah di banyak perpustakaan nasional dan internasional, khususnya di KITLV Belanda, termasuk catatan harian Spieldman yang pernah bertugas sebagai Gubernur Hindia Belanda di Fort Rotterdam Makassar. Hanya saja, Andaya ikut pula mengandalkan pengungkapan sejarah dari sejumlah cerita rakyat yang terurai dalam lontara, padahal diketahui bahwa banyak cerita rakyat selain tidak memiliki urutan-urutan kejadian, juga tidak memiliki tingkat kebenaran pada kejadiannya secara faktual sejarah.

Arung Palakka dengan gelaran bahasa arab Sultan Sa’aduddin, setidak-tidaknya menjadi “pelaku utama” dalam babakan sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 yang diungkapkan buku ini, sehingga meluas ikut pula terungkapkan kisah sejarah Kerajaan Luwu, Wajo, Soppeng, Ajatappareng dan Mandar serta lainnya, lengkap dengan tokoh dan pelakunya. Apa konsekuensi dari pergolakan politik lokal itu, ikut pula dikemukakan dalam buku ini. Termasuk kisah La Patau anak dari We Mappolobombang Da Upi saudara kandung Arung Palakka yang menggantikannya, apakah ia mampu mengemban warisan yang dipercayakan untuk meneruskan kedigjayaan Kerajaan Bone padanya.