Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Pluralisme Menyelamatkan Agama-Agama

Judul: Pluralisme Menyelamatkan Agama-Agama
Penulis: Mohammad Shofan
Penerbit: Samudra Biru
Tebal: 193 halaman
Kondisi: Buku baru (bagus)
Harga: Rp. 30.000 (belum ongkir)
Order: SMS 085225918312


Teror atas nama agama yang seringkali dilakukan oleh umat Islam di Indonesia, adalah cermin kuat ideologi fundamentalisme Islam dengan pendekatan literalis dan formalis; absolutis dan anti-pluralis, dan sebagian lagi didasarkan pada pandangan yang apokaliptik mengenai misi-politik agama. Teologi kekerasan yang dianut para radikalis ini bisa dilacak pada teologi Wahhabi—sebagaimana yang dianut oleh Muhammadiyah—yang didirikan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb. Teologi Wahhabi secara terang-terangan mengafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali kepada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi.

Kebiasaan kaum Wahhabi yang mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi, dalam Negara yang sangat plural, seperti di Indonesia, sungguh merupakan cermin ketidakpahaman mereka terhadap pesan moral agama itu sendiri. Karenanya, tatkala pemerintah Saudi ‘terpaksa’ menggunakan telepon, TV, radio dan lain-lain, kaum Wahhabi ini melakukan perlawanan keras. Modernitas mengandaikan adanya perubahan, inovasi atau bid’ah.

Meskipun modernitas tidak begitu saja dilawankan dengan tradisi, tetapi tradisi tidaklah mesti sesuai dengan perkembangan zaman yang terus menerus berubah. Meminjam analisis Habermas, bahwa di dalam masyarakat modern yang plural, norma-norma sosial yang diberlakukan hanya dapat meraih validitasnya dari akal budi manusia. Hanya norma-norma yang didasarkan pada akal budi manusialah yang dapat mengikat interaksi diskursif antara kelompok dan individu yang berbeda-beda di dalam masyarakat plural. Dalam hal ini, Habermas sependapat dengan John Rawls, yang mengatakan bahwa di dalam masyarakat plural, kesepakatan hanya dapat dicapai, jika masing-masing pihak mau menekan kepentingan kelompoknya masing-masing, dan mencari irisan di antara kepentingan mereka.

Consensus hanya dapat dicapai dengan penerapan prinsip-prinsip dasar keadilan, yang mereka terima di dalam pandangan dunia normatif mereka. Ada semacam basis universal dalam upaya mencapai persetujuan dan kesepakatan tentang norma-norma umum, bahkan di dalam masyarakat plural, yang memiliki acuan nilai yang berbeda-beda. Hal inilah yang diyakini oleh Habermas dari bangunan epistemologisnya tentang teori tindakan komunikatif, yang membentuk interaksi sosial, dimana setiap partisipan interaksi dapat saling berupaya mencapai kesalingpengertian dalam proses pembentukan identitas, dan pengaturan kehidupan sosial.

Norma-norma moral menyediakan setiap orang dengan motif-motif kognitif rasional yang lemah, yang didasarkan pada argumentasi bahwa tidak ada alasan yang baik untuk melakukan sebaliknya, yakni melanggar norma moral, tetapi argumen tersebut sama sekali tidak menyediakan motif rasional bagi tindakan moral. Norma-norma moral menuntut adanya suatu diskursus praktis, yang harus dilaksanakan di tataran faktual real. Karenanya, norma-norma moral tidaklah cocok untuk mengatur interaksi sosial antara dua orang yang berasal dari latar belakang yang berbeda, di mana relasi saling percaya belumlah terbentuk, sehingga membutuhkan waktu yang lebih banyak bagi proses diskursus praktis untuk menciptakan kesalingpemahaman.

Hal inilah yang ditekankan oleh Shofan dalam buku ini, meskipun Shofan secara eksplisit tidak mengatakan demikian. Namun dari keseluruhan isi buku ini, Shofan mengatakan bahwa dalam setiap tradisi keagamaan, selalu terkandung benih-benih ideologi atau teologi yang bersifat isolasionis (tiap agama hidup dan berkembang dalam “ghetto-nya” sendiri-sendiri), konfrontasionis (yang lain dan yang berbeda adalah pesaing yang perlu dicurigai), dan bahkan kebencian (yang lain dan yang berbeda adalah musuh yang harus ditaklukkan). Jika hal di atas tidak segera diatasi, maka bukan tidak mungkin apa yang menjadi kekhawatiran Shofan akan muncul, yakni fanatisisme akibat dari ketidakpercayaan diri untuk menghadapi perbedaan pemikiran, ekspresi kehidupan, kemudian menetapkan segala hal ihwal yang suci dianggap steril, tak pernah terkontaminasi, dan bersifat murni. Fanatisisme ini pada akhirnya merendahkan kemuliaan manusia sebagai hamba Tuhan, berupa pencapaian kebenaran dan martabat manusia. Shofan meyakini bahwa untuk menegakkan pluralisme tidaklah muda di tengah arus konservatisme yang semakin deras.

Menurutnya, pandangan normatif tentang pluralisme tidak boleh dibiarkan berhenti pada lembaran-lembaran teks, tetapi perlu dipahami dengan kerangka metodologis dalam menafsirkan dan mentransformasikannya. Untuk melakukan itu, menurut Shofan dibutuhkan kerja intelektual secara sungguh-sungguh. Shofan sangat sadar, bahwa kerja intelektual dalam mewujudkan pluralisme memerlukan keberanian. Dan Shofan sudah membuktikannya, dengan tetap memilih jalur intelektual yang diyakininya sebagai sebuah kebenaran: ”memperjuangkan pluralisme”. Meskipun untuk hal itu, ia pernah menghadapi pilihan sulit dalam hidupnya. Shofan, yang saya kenal, adalah seorang ”pendiam yang aktif”, Ia diam dalam ”riuhnya suara”, Ia calm namun sesekali menggebrak, menuding, terkadang juga marah ketika mendapati sesuatu yang dinilainya tidak sesuai dengan kata hatinya. Tak berlebihan jika Shofan adalah pribadi yang—meminjam istilah Irshad Manji—”beriman tanpa rasa takut”. Baginya, sikap menutup diri dari dialog bukanlah merupakan suatu kekokohan dasar sejati dalam beriman, tapi merupakan kegoyahan.

Kekokohan yang sejati tidak memerlukan ”benteng” ketertutupan. Baiklah. Berbeda dengan Shofan yang banyak berbicara di tataran normativitas teks, saya ingin melihat fenomena keberagaman melalui legitimasi dari hukum positif, dengan sebuah pertanyaan: apakah yang merupakan hak mendasar yang harus dimiliki oleh setiap warga negara yang bebas dan setara, jika mereka ingin mengatur lalu lintas kehidupan sosial mereka dalam kerangka hukum positif. Ketika tujuan dari konstitusi hukum telah ditentukan, maka hukum positif, dengan elemen paksanya yang berupa sanksi, akan menentukan cara untuk mencapai tujuan tersebut, dan kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk prosedur hukum.

Secara partikular, hak-hak legal mengandaikan bahwa setiap warga negara memiliki status hukum yang setara. Setiap warga negara haruslah sepakat satu sama lain tentang hak-hak kebebasan yang sangat mendasar, seperti hak untuk mendapatkan perlakuan yang setara, hak untuk berpartisipasi pada komunitas politik tertentu, dan hak bagi setiap orang untuk mendapat jaminan perlindungan hukum. Habermas mengajarkan kita untuk selalu menempatkan kesepakatan legal-politis yang rasional sebagai sebuah otoritas yang lebih tinggi daripada relasi etnis, golongan, ras maupun agama. Di dalam negara dengan begitu banyak “bangsa”, ikatan yang paling mungkin diantara dua orang yang berasal dari latar belakang “bangsa” yang berbeda adalah ikatan legal politis, yang dibentuk melalui proses diskursus untuk mencapai kesepakatan yang rasional. Hanya dengan kesadaran semacam itulah masyarakat majemuk, yang terdiri dari berbagai “bangsa” tapi satu “negara”, dapat tetap hidup bersama dengan stabil dan dinamis. Tesis ini disebut Habermas sebagai patriotisme konstitusional.

Mengingat kenyataan pluralisme agama dan pluralisme sosial dapat dijumpai di mana-mana. Maka tak bisa lain, kehadiran pluralisme, baik sebagai konsep pengetahuan maupun sebagai sebuah teori adalah merupkan hal yang wajar adanya—bukan malah ditolak, apalagi diharamkan. Belum lagi jika dikaitkan antara nilai-nilai Islam dengan masalah keindonesiaan. Keterpaduan antara keislaman dan keindonesiaan ini sebagai perwujudan dari nilai-nilai Islam yang universal, berkaitan dengan tradisi lokal Indonesia. Inilah yang selalu ditekankan oleh almarhum Nurcholish Madjid [Cak Nur] Rahimahullah.

Cak Nur pernah mengatakan bahwa wawasan asasi berdasarkan keislaman pada hakikatnya menyatu dengan wawasan asasi keindonesiaan berdasarkan nilai-nilai dalam Pancasila yang telah mantap sebagai nilai­-nilai kesepakatan luhur bangsa Indonesia. Kesejajaran itu menyatakan diri dalam bentuk hubungan saling menopang antara keduanya. Yaitu bahwa ajaran-ajaran agama (Islam) menyediakan bahan yang kaya dan tak habis-habisnya untuk pengisian nyata nilai-nilai Pancasila, dan Pancasila memberi kerangka konstitusional bagi pelaksanaan nilai-nilai keislaman di Indonesia sehingga semakin relevan dengan masalah bangsa dan Negara. Sampai sekarang Paramadina masih sangat konsisten dalam melakukan kegiatan-kegiatan di bidang advokasi sosial, baik menyangkut isu kebebasan beragama, pluralisme, training polisi, manajemen konflik, civic values, sampai peace building. Program seperti ini sudah dilakukan Paramadina di beberapa tempat: di Lampung, Makasar, Ternate, Sulawesi hingga Poso.

Berkaitan dengan training polisi dan isu kebebasan beragama, sepanjang tahun 2009-2010, Paramadina sudah melakukan lebih dari sepuluh kali, baik di Polda maupun Polres. Keseluruhan program pokok kegiatannya, tentu saja, diarahkan kepada peningkatan kemampuan menjawab tantangan zaman dan menyumbang tradisi intelektual yang terus menaik dalam masyarakat; peningkatkan dan penyebaran paham keagamaan Islam yang luas, mendalam, dan bersemangat keterbukaan dengan titik berat kepada: pertama, pemahaman sumber-sumber ajaran Islam, khususnya masa lahir dan proses pembentukannya, dalam kaitannya dengan lingkungan sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Kedua, penyadaran tentang sejarah pemikiran Islam, suatu hubungan dialektik antara ajaran dan peradaban yang terjadi dan berlangsung dalam panggung sejarah umat Islam. Ketiga, Apresiasi terhadap khazanah budaya dan peradaban Islam dan bangsa-bangsa Muslim.

Keempat, Penanaman semangat non-sektarian dan pengembangan serta pemeliharaan Ukhuwwah Islamiyyah yang berkonotasi dinamis dan kreatif. Kelima, pendalaman dan perluasan studi perbandingan mazhab-mazhab dan aliran-aliran dalam Islam, guna menghindari kecenderungan sikap anarkis dan eksklusivistik. Sejumlah Program kegiatan yang dirancang oleh Paramadina sangat menghargai perbedaan pendapat, dan memberi kebebasan seluas-luasnya kepada peserta untuk mengemukakan argumentasinya sekaitan dengan pemahaman keagamaan tertentu yang diyakininya selama ini. Karena iklim intelektual seperti itulah, sehingga tak berlebihan jika di Paramadina, upaya untuk melihat secara kritis terhadap pertumbuhan tradisi pemikiran Islam sangat dimungkinkan, karena pada urutannya kita bisa memilih manakah tradisi yang masih relevan untuk dipertahankan dan mana yang perlu direvisi. Dan, buku Shofan yang ada di hadapan pembaca ini, adalah bagian dari tradisi intelektual yang sudah lama dikembangkan oleh Paramadina, guna mengembangkan sikap-sikap penuh toleransi dan apresiatif terhadap kelompok­-kelompok agama lain untuk menciptakan masyarakat yang damai (salam) sebagaimana hal itu diajarkan oleh Islam. Sedikit saya singgung di sini, bahwa High Boarding School (SMU) Madania adalah salah satu bagian dari Paramadina yang bergerak di bidang penyediaan sekolah unggulan.

Dalam kurikulumnya—di samping merujuk kepada Kurikulum Pendidikan dan Kebudayaan—juga memberi bobot tambahan yang relevan dengan kehidupan modem serta mencerahkan intelektualitas dan spiritualitas siswanya. Kurikulum pendidikan agama, misalnya, diarahkan menjadi media penyadaran umat, sehingga tumbuh pemahaman yang tidak eksklusif. Membangun harmonisasi agama-agama di tengah kehidupan masyarakat plural yang menghasilkan corak paradigma beragama yang tidak rigid dan toleran. Hal itu penting dikembangkan, sebagaimana disinggung oleh Shofan dalam buku ini, mengingat guru-guru agama di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan agama dari tingkat yang paling bawah hingga yang paling tinggi nyaris kurang tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar umat beragama.

Karena itulah, tidak terlalu mengherankan jika berkecambahnya bentuk-bentuk radikalisme agama yang dipraktikkan oleh sebagian umat menjadi ancaman serius bagi berlangsungnya pendidikan pluralisme yang menekankan pada adanya saling keterbukaaan dan dialog. Setiap agama memiliki concern bersama dalam persoalan publik yang menyangkut keadilan, kesejahteraan, kemanusiaan dan keberadaban. Oleh karena itu, setiap agama harus mencari titik-temu dalam membentuk semacam “civic religion” bagi pengelolaan ruang publik bersama. Dalam konteks keindonesian, civic religion itu tak lain adalah Pancasila

(Dinukil dari Pengantar oleh Taufik Hidayat dalam pengantar bukunya).