Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Novel Jalan Menikung

Judul: Jalan Menikung (Para Priyayi 2)
Penulis: Umar Kayam
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti
Tebal: 184 halaman
Kondisi: Buku baru stok lama (bagus)
Harga: Rp. 60.000 (belum ongkir)
Stok kosong


Masih ingat Para Priyayi, kisah tentang keluarga besar Sastro Darsono dari Wanagalih? Dalam Jalan Menikung ini kisah keluarga Sastro Darsono berlanjut dengan kehidupan Harimurti-Sulistianingsih bersama anak tunggal mereka, Eko, yang belajar di Sunnybrook College, Connecticut, Amerika Serikat. Sukses dalam studi dan ingin kembali ke tanah air, ternyata Eko tersandung oleh masa lalu ayahnya. Harimurti dipecat dari pekerjaannya, anjuran sang ayah ia tetap tinggal di Sunnybrook dan kemudian bekerja pada sebuah perusahaan penerbitan di New York. Sementara itu, Eko terpikat pada Claire Levin, putri induk semangnya yang Yahudi-Amerika.

Perkawinan Eko dengan seorang Yahudi memicu perdebatan hangat di antara orangtuanya dan juga di antara suami istri Lantip, kakak angkat Harimurti. Akankah Eko tercerabut dari akarnya, yaitu kehilangan keindonesiaannya, kejawaan, kepriyayian, dan keislaman? Kunjungannya ke Indonesia membuat Eko sadar bahwa dia telah menempuh jalan menikung dari kerabat besarnya.
Kebijaksanaan Para Priyayi (Jawa)

Apakah kepriayian Jawa berporos pada kebijaksanaan (wisdom) sebagai  kelenturan sikap dan sekaligus nilai yang menentukan perilaku dan menjadi “wisdom” untuk menghadapi perubahan zaman serta pilihan-pilihan kehidupan?

Bagaimana pula para priayi dengan tradisi ketika “trah” (darah priayi) yang menurun dihayati oleh generasi-generasi berikutnya? Tetap dirawat mati-matian secara tafsir penghayatan fisik? Secara semangat lentur, tapi tetap berprinsip mengacu ke kebijaksanaan yang disesuaikan dengan perubahan zaman? Ataukah ibarat seorang pemain ski air: ia memainkan ombak laut sekaligus dipermainkan? Apakah “wisdom” itu tidak mengatur manusia Jawa seperti etika Barat mengatur orang barat?

Novel Para Priyayi 2 karya Umar Kayam ini mencoba menanggapi dengan  jernih lewat tiga pengisahan. Yang pertama, perilaku hidup generasi berikut dari keturunan (trah) Sastrodarsono; generasi anak-anaknya dan generasi cucu. Di sana dipaparkan generasi mana yang lebih menghayati warisan kepriayian sebagai status, kulit formalitas. Generasi yang lebih muda menghayati isi semangatnya, pun ketika ditabrakkan pada pilihan jalan menikung perkawinan beda ras (Eko dan Claire) sekaligus beda agama: yang satu Jawa-Islam dan si Claire Amerika-Yahudi.

Jalan menikung ini justru, oleh generasi muda yang sudah pasca-Indonesia dan lintas agama, diselesaikan manis secara “esensial” (mendasar) lewat perkawinan sipil dengan pilihan perekat utama mereka, yaitu cinta itu sendiri. Jadi, kemanusiaan menjadi ungkapan paling dewasa ke-Jawa-an priayi yang mengatasi beda ras dan agama.

Sebuah simbol generasi baru humanis universalkah generasi pasca-Indonesia priayi itu? Inilah generasi Eko (anak dari Harimurti dan Sulistianingsih, turunan langsung keluarga besar Sastrodarsono, sebagai Para Priyayi 1).

Dengan paralel (penyejajaran) serupa, Anna Aditomo Nugroho, yang kaya raya sebagai anak pengusaha priayi Tommi, memilih menikahi Boy Saputro, yang keturunan Cina, dengan pilihan cinta tulus manusia dan pilihan kemanusiaan, meskipun sang ayah—yang tidak mau darah priayinya dicampuri darah Cina—menolak perkawinan anaknya ini dengan tidak hadir dan tidak membiayainya lantaran pilihan itu.

Pengisahan kedua ditunjukkan lewat penghayatan kelenturan semangat “wisdom” priayi dalam tawakal (tidak menyerah), manakala Harimurti pada puncak-puncak karirnya di perusahaan penerbitan buku tetap saja harus mundur karena kena politik bersih lingkungan meski tidak bersalah.

Begitu pula si Eko, yang dengan semangat cinta tanah air dengan sumpahnya mau berbakti kepada bangsa ini setelah menyelesaikan studi di Sunny Brook, Amerika Serikat, dengan tawakal tidak jadi pulang dan bahkan hidup di sana dengan generasi barunya lantaran konsekuensi politik dendam kesumat bersih lingkungan dan politik irasionalitas bangsanya sendiri.

Dua (2) pengisahan Jalan Menikung di atas, yaitu perkawinan lintas agama dan lintas ras serta pilihan priayi untuk memuliakan kemanusiaan dan melindungi hidup sesama orang banyak, dikalimatkan Kayam dalam sindiran halus tetapi tajam.

“Ini soal darah cucu-cucu saya nanti, Hari. Saya tidak mau kalau darah priayi Sastrodarsono ditambah darah pejuang angkatan ’45 Nugroho lantas tercampur dengan darah Cina.” (kata Tommi)

Dalam hati Lantip, ia heran akan ketidakpekaan Tommi terhadap perasaan orang lain. “Maunya, semua dimulai dari sudut dirinya sendiri. Ini sindrom apa?” pikir Lantip.

Dia lantas ingat Embah atau Eyang Sastrodarsono. Meski priayi kecil, pandangan hidup serta kepekaannya terhadap kehidupan priayi dua puluh empat karat.

“Inti semangat priayi adalah keikhlasan untuk mengabdi dan mengayomi hidup orang banyak atau wong cilik.” (halaman 83-84)

Pengisahan yang ketiga, Umar Kayam menunjuk nilai hormat terhadap leluhur dan orang tua dengan memuliakan makamnya, menanam dalam dan menjunjung tinggi orang tua dan yang dituakan (mendhem jero, mikul dhuwur), yang ekspresinya adalah pemugaran makam (Bab XII). Selain hormat kepada yang berjasa melahirkan kehidupan, bingkai-bingkai penyelesaian konflik atau masalah-masalah jalan simpang kehidupan secara priayi adalah pembicaraan bersama dalam musyawarah keluarga besar, tempat kebersamaan dihayati dan diperbaharui tali-temali pengikatnya, termasuk pula perhelatan-perhelatan perkawinan. Sebab, kebersamaan yang saling menghormati dalam menghormati keragaman hidup itu ibarat satu mangkuk penuh macam-macam buah cherry (menurut penghayatan “tepa salira”: menghormati keragaman sesama generasi Harimurti, halaman 4).

Tiga pengisahan di atas mau menggarisbawahi secara susastra bahwa “wisdom” bagi orang Jawa (priayi) adalah kebijaksanaan untuk tidak hanya tahu atau “ngerti kawruh“, tetapi juga “laku” itu sendiri. Jadi, pemahaman dari dalam, sesuatu yang dimengerti (intuisi rasa batin) dari dalam dirinya sendiri.

Wisdom ini dapat juga menjadi semacam kompas atau nurani, sesuatu yang bercahaya, menyentuh, tidak memaksa, tetapi bersuara di hati kita untuk mengatakan kebenaran ini atau itu. Dari sini orang Jawa memandang sosok tenang, hening, sebagai sosok bijaksana, yang dalam tiga pengisahan di atas dipusatkan pada tokoh Lantip (simbolis sekali lantaran ia berarti tajam dan awas, sementara hening bernuansa pengendapan diri dan mampu memberi pertimbangan bijaksana).

Si Lantiplah, “nurani” priayi, cahaya wisdom dalam soal-soal amat pelik dan berat, yang menjadi terang di gelap-gelap dan buram-buram Jalan Menikung-nya Umar Kayam.

Novel ini sebagai teks memberi pengertian yang tidak hitam-putih  mengenai “stereotip” priayi Jawa, yang selama ini diwacanakan tetapi dikontekskan problematikanya secara dialektis pada bagaimana sikap hidup sebagai “wisdom” itu menghadapi persoalan-persoalan pokok kehidupan zaman ini seperti  kawin antaragama, antar-ras atau bangsa.

Namun, sebagai konteks itulah novel Umar Kayam, ketika berusaha menggeluti konflik-konflik nilai benturan-benturan pendapat umum dalam nilai yang sehat secara budaya dibandingkan dengan novel-novel sebelumnya, yaitu Bawuk, Sri Sumarah, Para Priyayi 1, memunculkan pertanyaan-pertanyaan narasi yang mengganjal kelancaran teks dan konteksnya.

Pertanyaan kritis pertama adalah bagaimana kelanjutan persoalan Harimurti yang tidak bersih lingkungan dan menyandang beban trauma sejarah dendam bangsa ini sebagai eks-PKI. Cukupkah itu dijawab dengan kisah bahwa ia harus mengundurkan diri dari pekerjaannya kendati bosnya adalah seorang mantan brigjen yang ternyata tetap pengecut bila udara Indonesia umumnya menuduh dia melindungi orang yang tidak bersih lingkungan? Pada Sri Sumarah dan Bawuk, teks narasi secara menarik dan mengasyikkan mampu menjawab dengan ujaran problem moral, dan dengan keberanian kemerdekaan memilih si istri untuk tetap mendampingi suami yang eks-PKI dengan pengorbanan harus berpisah dengan anak-anak yang dititipkan ke para orang tua dan mertua. Pada novel Jalan Menikung, eksplorasi ini menghilang dan lalu pindah ke tokoh-tokoh lain.

Pertanyaan kedua, Bab XI, yaitu “Sowan-Sowan”, serta Bab XII, yaitu  ”Peresmian Pemugaran Makam”, di satu  pihak emang muncul sebagai teks  nilai priayi Jawa generasi baru yang merajutkan tali persaudaraan dengan “silaturahmi” serta memberi wujud hormat kepada leluhur dengan pemugaran makam.

Namun, di lain pihak, untuk seorang novelis (dan penulis cerpen Kunang-Kunang di Manhattan sekaliber Pak Kayam), nada sastrawi narasinya yang kita harapkan memunculkan nuansa tragis, apalagi “tragedis” (dalam konflik Yahudi bertemu Islam dan Amerika bertemu Jawa serta bagaimana dendam sejarah yang diterus-teruskan dalam wujud cap PKI yang sungguh mematikan sesama secara konteks budaya sosial, dan terutama politik itu), ternyata berlangsung datar-datar saja dengan seluruh bingkai “mangan ora mangan angger kumpul” (nilai makan bersama sebagai tali pengikat keluarga besar)! Ataukah memang ruang luas Jawa mau dilukiskan ilustratif dan mampu mencerap gado-gado apa saja, lengkap dengan persoalan indo, mestizo, yang dilukiskan Pak Kayam sebagai sesuatu yang membuat terheran-heran orang asing (orang lain) yang sulit mencerna keindoan kita sebagai jawaban sinis, menyindir, tetapi faktanya memang demikian dan apa boleh buat? Beberapa hari kemudian, Eko dan Claire berkunjung ke rumah Marie dan Maridjan di daerah Simpruk. Juga di rumah itu, Eko dan Claire dibuat terheran-heran melihat arsitektur dengan gaya hacienda, seakan mereka itu sudah menjadi tuan tanah Meksiko saja.

Ditata rumah itu pula menurut gaya “House and Garden” …, dari mana Bude Marie dan Pakde Maridjan mendapat ide membuat rumah dengan semangat Mexico?” (halaman 128-129)

Lepas dari pertanyaan-pertanyaan di atas, novel Jalan Menikung ini tetap enak dibaca untuk menangkap “wisdom Jawa”, tentu saja dengan catatan kritis di atas.