Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Soekarno dan Cina

Judul: Soekarno dan Cina
Penulis: Nurani Soyomukti
Penerbit: Garasi, 2012
Tebal: 330 halaman

Kehidupan keturunan Tionghoa semasa Orde Baru mengalami tekanan yang signifikan. Mereka terpaksa melepas budaya dan atribut bernuansa Tionghoa. Padahal, orang Tionghoa sudah menginjak Nusantara sekitar abad ke-14. Dalam catatan Cina terkuak, kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina.

Namun buku-buku sejarah nasional kurang mengungkapkan peran etnis Tionghoa. Peran mereka terbukti saat merebut kemerdekaan dan mengusir penjajahan Belanda. Mereka ambil bagian dalam menyuplai tenaga, logistik, dan menyelundupkan senjata dari Singapura untuk para gerilyawan. Bahkan mereka terlibat pertempuran Surabaya melawan Inggris, November 1945.

Kemunculan nasionalis Tionghoa di Indonesia dipengaruhi pemikiran modern di Tiongkok, yang dikenal dengan gerakan nasionalis, pimpinan Dr. Sun Yat Sen. Gerakan ini tertanam dalam organisasi Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Jakarta, yang rata-rata anggotanya berpendidikan Barat. Ketika itu, etnis Tionghoa diperlakukan diskrimatif di mata hukum dan peradilan Pemerintah Hindia Belanda, sehingga membangkitkan kesadaran nasional di kalangan mereka.

Melalui koran Sin Po milik peranakan Tionghoa, terungkap sikap agar orang Tionghoa yang tinggal di Hindia Belanda meninggalkan dan menarik diri dari institusi-institusi politik lokal, untuk terlibat aktif dalam dinamika politik di Tiongkok dan gerakan nasionalisme yang tumbuh. Setelah kekuasaan dinasti Tiongkok runtuh, orang-orang nasionalis kian yakin bahwa republik adalah sistem terbaik yang harus dijalankan Indonesia. Republik adalah tatanan pemerintahan yang banyak diidealkan tokoh pergerakan.

Secara garis besar, buku ini menguak peran etnis Tionghoa dalam sejarah perjuangan bangsa. Sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, gerakan pemuda Tionghoa aktif terlibat. Waktu itu, rumah milik Sie Kok Liong dijadikan tempat kongres pemuda. Ada empat pemuda keturunan Tionghoa lainnya selain Sie Kok Liong, yakni Kwee Thiam Hong, anggota Jong Sumatera. Ia aktif dalam pergerakan, sehingga namanya cukup dikenal di kalangan pejuang. Saat Sumpah Pemuda, ia mengajak tiga rekannya, Ong Kay Sing, Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie. Kini rumah itu menjadi Museum Sumpah Pemuda, tapi perannya kurang dihargai pemerintah.

Dalam pertempuran Surabaya, pemuda Tionghoa juga mengambil peran cukup besar. Gam Hiann Tjong dan Auwyang Tjoe Tek tergabung di Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI), di bawah pimpinan Bung Tomo. The Djoe Eng, pemain sepak bola terkenal masa itu, tergabung di Laskar Merah dan sebagian besar pemuda Tionghoa terlibat dalam Kebangkitan Rakyat Indonesia (KRIS).

Pada masa peralihan kekuasaan Jepang kepada Republik Indonesia, angkatan muda Tionghoa ikut membantu. Sebagai bentuk nasionalisme Indonesia, orang Tionghoa mendirikan partai politik, yakni Partai Tiongkok Indonesia (PTI). Kebetulan partai ini memiliki visi sama dengan PNI yang didirikan Soekarno.

Ketika Amir Sjarifoeddin membentuk kabinetnya, Siauw Giok Tjhan menjabat sebagai Menteri Negara yang mewakili etnis Tionghoa dan Dr. Ong Eng Die dari PNI sebagai Wakil Menteri Keuangan. Tokoh nasionalis Tionghoa di Indonesia berjuang tanpa pamrih, meskipun sering dibedakan. Misalnya Siauw Giok Tjhan yang tidak mendapat fasilitas perumahan pemerintah.

Soekarno dan tokoh-tokoh nasionalis lainnya selalu menyebut pengaruh nasionalisme Tiongkok ikut andil dalam mengusir penjajah. Bahkan Soekarno menyatakan bahwa Pancasila yang dijadikan sebagai dasar negara dipengaruhi pemikiran Dr. Sun Yat Sen. Hal itu terungkap dalam pidato yang kemudian dikenal sebagai "Pidato Kelahiran Pancasila''. Pembelaan Bung Karno terhadap etnis Tionghoa terlihat dalam kongres VIII Baperki, 14 Maret 1963.

Buku karya Nurani Soyomukti ini menyajikan pergolakan etnis Tionghoa yang cukup menarik, karena tulisannya diperkuat dengan penelurusan lika-liku perjalanan Tionghoa dan referensi yang akurat.

Fathurozi
Pengkaji budaya di Pancur Studies dan staf Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang