Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Kalender Islam ke Arah Integrasi Muhammadiyah-NU

Judul: Kalender Islam ke Arah Integrasi Muhammadiyah-NU
Penulis: Prof. Dr. Susiknan Azhari
Penerbit: Museum Astronomi Islam, 2012
Tebal: 384 halaman

Dalam menentukan awal bulan Ramadan dan Syawal, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) memiliki model beragam dalam menggunakan metode hisab dan rukyat. Model pertama, menurut Susiknan Azhari, guru besar ilmu falak UIN Sunan Kaijaga, Yogyakarta, adalah konflik.

Pemicunya, persoalan politik dan cara pandang keagamaan dua ormas itu. Muhammadiyah berpandangan, antara wahyu dan akal harus berjalan seirama dalam rangka menuju masyarakat utama. Di sisi lain, NU berpendapat, dalam beragama harus melalui sanad (silsilah keilmuan) yang jelas atau melalui pendekatan mazhab agar diperoleh kepastian hukum.

Kaitannya dengan persoalan penetapan awal Ramadan dan Syawal, menurut penulis yang juga Direktur Museum Astronomi Islam Indonesia itu, NU mendasarkan pada rukyatul hilal (melihat hilal). Sebab rukyatul hilal dianggap memiliki sanad yang jelas melalui kitab-kitab yang mu'tabarah (sanad-nya tersambung hingga Nabi).

Sementara itu, Muhammadiyah mempertautkan antara dimensi ideal wahyu dan peradaban manusia. Sehingga Muhammadiyah tidak semata-mata menggunakan rukyat, melainkan juga menggunakan hisab (perhitungan). Pada awalnya, hisab yang digunakan Muhammadiyah adalah imkanur rukyat, kemudian hisab hakiki dengan kriteria ijtima' qabla al ghurub, dan sejak tahun 1938 M/1357 H hingga kini menggunakan hisab hakiki wujudul hilal. Adapun model kedua ialah independensi. Model ini dimaksudkan untuk menghindari konflik antara hisab dan rukyat. Pertimbangannya pragmatis. Lebih baik hisab dan rukyat dipisah dalam dua kawasan berbeda. Khususnya dalam penetapan awal Ramadan dan Syawal, guna menghindari perbedaan antara Muhammadiyah dan NU. Model ketiga adalah dialog dengan terbentuknya badan hisab dan rukyat. Model ini memotret hubungan yang konstruktif antara NU dan Muhammadiyah, terutama persoalan hisab dan rukyat. Pada model ini, setiap pihak mencoba saling memahami untuk mencari titik temu dengan memperhatikan aspek kesejajaran metode antara hisab dan rukyat. Dialog menekankan kemiripan dalam pra-anggapan dan metode. Namun model dialog tidak menawarkan kesatuan konseptual.

Model keempat adalah integrasi, yang merupakan konsekuensi logis sekaligus tuntutan alamiah dari pandangan dialog. Namun, sayangnya, menurut Susiknan, model ini baru pada tataran ide, sehingga perlu dibentuk upaya kerja sama akademik dan ilmiah. Model konflik sangat terasa pada 1992, 1993, dan 1994. Meskipun tidak terjadi kerusuhan dan percekcokan serius antara anggota Muhammadiyah dan NU pada tahun itu, banyak orang merasa kesucian bulan Ramadan dicemari dan kekhusyukan beribadah terganggu. Sebagai solusi, pasca-1994, berkembang model independensi, ketika disadari bahwa perbedaan itu hanya bersifat metodologis dan tidak perlu dibesar-besarkan. Perbedaan antara hisab dan rukyat tidak begitu bermakna. Perbedaan itu rahmat. Pada 1998, model dialog berkembang, ditandai dengan Musyawarah Ulama Ahli Hisab Rukyat dan Ormas Islam tentang kriteria imkanur rukyat Indonesia.

Kecenderungan ke model integrasi terjadi pada 2003, ketika diadakan Seminar Nasional Hisab dan Rukyat oleh Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Departemen Agama, yang ditindaklanjuti dengan Musyawarah Nasional Penyatuan Kalender Hijriah pada 18-19 Desember 2005 oleh Departemen Agama. Dengan munculnya model independensi tidak berarti ciri-ciri model konflik hilang. Sama halnya dengan kehadiran model dialog, tidak serta-merta ciri-ciri model konflik dan independensi berakhir. Begitu pula dengan kemunculan model integrasi, tidak berarti ciri-ciri model sebelumnya tidak ada. Dengan kata lain, tipologi hubungan Muhammadiyah dengan NU dalam menggunakan hisab dan rukyat lebih bersifat teoretis. Namun, pada tataran empiris, terjadi tumpang tindih model yang satu dengan lainnya.

Menurut Susiknan, baik Muhammadiyah maupun NU mengakui eksistensi hisab dan rukyat. Hanya saja, dalam prakteknya, NU mendasarkan pada rukyat, sedangkan Muhammadiyah berdasarkan hisab. Bagi NU, hisab hanya berfungsi sebagai "pembantu" pelaksanaan rukyatul hilal. Sedangkan bagi Muhammadiyah, hisab menjadi "penentu" awal bulan Qamariyah. Dengan kata lain, NU cenderung pada penampakan hilal, sedangkan Muhammadiyah lebih cenderung pada eksistensi hilal.

Untuk solusi, sebaiknya Muhammadiyah dan NU segera melakukan kajian kerja sama dengan pendekatan akademik-ilmiah melalui research development dari kalangan pemikir dan ahli di bidangnya. Sementara itu, pemerintah menjadi fasilitator tanpa intervensi agar kebersamaan dapat dikembangkan dalam memformulasikan kalender Islam nasional.

Ade Faizal Alami