Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Soft Power untuk Aceh: Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi

Judul: Soft Power untuk Aceh: Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi
Penulis: Darmansjah Djumala
Penerbit: Gramedia, 2013
Tebal: 321 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 60.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Sejarah Aceh adalah sejarah yang penuh dengan kekerasan. Berawal di masa penjajahan Belanda, Aceh adalah wilayah yang tak mau tunduk pada pemerintah kolonial. Ketika Indonesia merdeka, ternyata Aceh tak juga sepi dari kekerasan. Hal ini terjadi ketika Daud Beureueh melakukan pemberontakan pada September 1953.

Untuk meredam pemberontakan Daud Beureueh yang ingin menegakkan Daulah Islamiyah di Serambi Mekkah itu, Presiden Soekarno melakukan pendekatan hard power dengan operasi militer. Hal ini terjadi sampai tahun 1959. Pada 1959, ketika pemerintah mengeluarkan Keputusan Perdana Menteri Nomor 1/Missi/1959, yang memberi Aceh otonomi di bidang agama dan pendidikan (soft power), barulah Daud Beureueh mau turun gunung.

Di era Presiden Soeharto, tahun 1976, Hasan Tiro melakukan pemberontakan dengan bendera Geraka Aceh Merdeka (GAM). Di masa itu, pendekatan yang diambil lebih banyak dengan kekuatan militer (hard power) daripada soft power. Pada 1989, misalnya, Presiden Soeharto menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) yang makan korban ribuan jiwa.

Meski lebih banyak dengan pendekatan militer, di era Orde Baru itu juga pernah dilakukan pendekatan soft power berupa Operasi Bhakti TNI. Tapi, karena DOM lebih dominan, konflik tak pernah kunjung henti. Bahkan lahir generasi baru ''pendendam'' yang secara diam-diam bersimpati kepada GAM.

Setelah Soeharto lengser, paradigma baru yang lebih mengedepankan perundingan mulai dijajaki. Di era B.J. Habibie, keluarlah Undang-Undang Nomor 44/1999 tentang Otonomi Khusus di Bidang Pendidikan, Agama, dan Adat. Di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), disepakati jeda kemanusiaan, Mei 2000.

Ketika Megawati menggantikan Gus Dur yang diberhentikan MPR, lahir Undang-Undang Nomor 18/2001 tentang Otonomi Khusus: 70% migas, syariat Islam, dan Wali Nanggroe. Juga ada Bhakti TNI untuk merehabilitasi TNI. Meskipun demikian, operasi militer tetap jalan dan GAM tetap melawan.

Walhasil, di era Soekarno sampai Megawati, dua pendekatan, hard dan soft power, selalu digunakan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan. Baru di era Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, pasangan presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, 2004, pendekatan hard power ditinggalkan.

Jusuf Kalla melakukan pendekatan kepada GAM secara informal, kemanusiaan, dan kekeluargaan. Mengedepankan nilai-nilai demokrasi, kesetaraan, dan dialog. Hasilnya? Terjadinya perundingan Helsinki, Januari 2005. Pada Agustus 2005, nota kesepahaman (MoU) Helsinki diteken. Maka, damailah Aceh sebagaimana terlihat sampai kini.

Pengalaman pendekatan soft power di Aceh itu tampaknya perlu dijajaki untuk kasus-kasus pemberontakan di daerah. Pendekatan militer tak akan pernah bisa meredam gejolak yang ada. Bahkan, jika dilakukan dalam tempo yang lama, akan melahirkan generasi baru ''pendendam'' yang bersimpati kepada kaum pemberontak.

Di era keterbukaan ini, mendengarkan aspirasi dan mendialogkannya adalah langkah awal menuju titik temu dan kesepahaman. Ketika aspirasi bisa diserap dan didialogkan, berbagai konflik akan bisa teratasi dengan penuh kedamaian.

Herry Mohammad