Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Pulau Galang: Wajah Humanisme Indonesia

Judul: Pulau Galang Wajah Humanisme Indonesia
Editor: Asvi Warman Adam
Penerbit: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, 2013
Tebal: 150 halaman

"Aku tak mungkin lagi kembali melakukan hal yang pernah kita lakukan bersama di Kamp Galang. Walau penuh kenangan, hidupku di negara baru ini telah berubah. Aku kini telah berkeluarga dan mempunyai dua anak yang menggemaskan. Semuanya perempuan. Aku hargai kegigihanmu untuk terus menemuiku hingga kita bisa berjumpa di Arkansas. Tapi, maafkan aku, kita tak mungkin bersatu lagi...."

Begitulah petikan surat cinta perpisahan seorang wanita pengungsi Galang kepada mantan pacarnya, petugas asal Indonesia. Surat cinta itu tercantum dalam buku sejarah tentang pengungsi Vietnam di Pulau Galang 1976-1996, yang diterbitkan Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, akhir tahun lalu.

Dalam bahasa Vietnam, percintaan pengungsi dengan petugas Indonesia kerap diistilahkan Galang tinh sau, yang berarti "derita cinta Pulau Galang". Derita karena kedua pihak sama-sama tahu tidak mungkin bersatu. Para petugas Indonesia, yang kebanyakan berasal dari Pemerintah Kota (Pemkot) Batam, suatu saat akan meninggalkan Galang. Begitu juga para pengungsi.

Karena itu, ketika Indonesia resmi membuka Pulau Galang sebagai kamp penampungan manusia perahu Vietnam, sejak awal baik petugas maupun pengungsi dianjurkan untuk tidak terlibat secara asmara. Sebab bisa menyakiti satu sama lain. Tapi urusan hati, siapa bisa menebak? Begitulah. Akhirnya asmara tetap saja terajut. Berpisah, lalu terajut lagi oleh rombongan pengungsi baru dan petugas baru, kemudian berpisah lagi. Terus-menerus hingga istilah Galang thin sau muncul.

Buku ini dengan bagus menggambarkan kehidupan di Pulau Galang serta bagaimana Indonesia menangani masalah ini. Dimulai dari 1975, ketika kota Saigon akhirnya jatuh ke tangan tentara komunis Vietnam Utara, sebanyak 1 juta warga Vietnam melarikan diri sebagai pengungsi.

Eksosus ini jelas membawa masalah keamanan di Asia Tenggara. Sekitar 30.000 orang mendarat di berbagai pulau di Indonesia (Natuna, Anambas, Bintan). Oleh Presiden Soeharto, akhirnya para pengungsi itu direlokasi ke Pulau Galang, yang secara administratif berada di wilayah Pemkot Batam, Provinsi Riau.

Penangangan Indonesia terhadap para manusia perahu itu teryata sangat baik. Stasiun TV Jepang, Asahi News, yang pernah mengirim tiga wartawannya meliput kondisi Galang, menceritakan bahwa kamp di sini lebih baik dibandingkan dengan tempat-tempat pengungsi Vietnam lainnya, seperti di Thailand atau di Hong Kong.

Pasalnya, Pemerintah Indonesia juga membangun infrastruktur bagi para pengungsi, seperti jaringan listrik, air, tempat ibadah, pasar, bahkan jalan raya. Bantuan lain yang diberikan, antara lain, berupa jaring atau perahu, hingga para pengungsi bisa bekerja mencari ikan dan menjualnya ke pasar. Dari berbagai kesaksian pengungsi, sikap Pemerintah Indonesia ini sangat berbeda dari, misalnya, tentara Malaysia, yang justru sering merampas uang yang mereka bawa sebagai bekal sebelum mengirim perahu mereka kembali ke laut.

Tapi, bagaimanapun idealnya kehidupan sebagai pengungsi, penderitaan tetaplah ada. Pada 1995, ketika upaya pemulangan pengungsi Vietnam dimulai, banyak pengungsi yang tidak lolos "screening" menjadi pengungsi atau ditolak pengajuan suakanya berusaha sekuat tenaga melawan. Yang tidak kuat bahkan mengalami depresi, lalu bunuh diri. Buku ini, misalnya, mencatat terdapat sekitar 500 makam pengungsi Vietnam di Pulau Galang.

Hingga kini, sebagaimana terlihat di berbagai foto dalam buku ini, bangunan bekas pengungsi, seperti barak, kantor UNHCR, dan pasar, masih tetap ada di Pulau Galang. Hanya, kondisinya tidak terawat hingga ada yang seperti rumah hantu. Meski demikian, itu tidak membuat ikatan batin para pengungsi Vietnam (yang kini telah banyak tinggal di Amerika Serikat atau Australia) mengenai Galang jadi pupus. Pada 2005, sebanyak 142 pengungsi, yang kini tinggal di Amerika Serikat, Eropa, dan Australia, atas sponsor sebuah perusahaan Singapura, bersama-sama kembali menengok pulau itu untuk bernostalgia.

Basfin Siregar