Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke

Judul: Pembantaian Massal 1740: Tragedi Berdarah Angke
Penulis: Prof. H.M. Hembing Wijayakusuma
Penerbit: Pustaka Populer Obor, 2005
Tebal: 265 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 80.000 (belum ongkir)
Order: SMS 085225918312



Mengisahkan, pembantaian biadab yang dilakukan VOC terhadap warga etnis Tionghoa di Batavia pada tahun 1740, yang menewaskan lebih kurang 10.000 korban jiwa, telah mengubah tatanan sosial dan ekonomi secara drastis. Kecemburuan sosial akibat faktor ekonomi yang dirasakan VOC, ternyata harus dibayar mahal oleh warga etnis Tionghoa, bukan hanya dengan air mata dan keringat, tetapi juga dengan nyawa. Tragedi besar dalam sejarah kota Jakarta yang mengangkat nama Kali Angke sebagai saksi bisu atas peristiwa pembantaian tersebut. Perlawanan dari warga etnis Tionghoa terhadap VOC pasca peristiwa tersebut, memperlihatkan bahwa warga etnis Tionghoa dan Bumiputera senasib sepenanggungan dalam menerima perlakuan kejam VOC. Perasaan yang akhirnya menumbuhkan rasa persatuan antara warga etnis Tionghoa dan Bumiputera, untuk menentang keberadaan pihak penjajah Belanda serta untuk memperoleh kemerdekaan. Tragedi Angke merupakan sebuah pelajaran tentang pentingnya Hak Asasi Manusia, yang diharapkan tidak akan terulang lagi di alam kemerdekaan seperti saat ini.

Disamping juga menceritakan eksistensi awal etnis Tionghoa di Indonesia semenjak masa dinasti-dinasti yang berkuasa di China (abad ke-3) dengan Kerajaan-kerajaan tua di Nusantara. Juga mengenai misi muhibah Laksamana Cheng Ho ke Nusantara sekitar 1405M-1433M.

Sejarah masa lalu Jakarta sebagai kota yang berumur lebih dari 400 tahun tidak selalu dipenuhi kisah indah tentang kehidupan manusia didalamnya.

Cerita tentang perjuangan terhadap penindasan, serta tragedi berdarah juga banyak terjadi dan menciptakan kisah tersendiri bagi Jakarta.

Salah satu kisah mengenaskan itu adalah terjadinya peristiwa pembantaian massal lebih dari 10.000 orang etnis Tionghoa oleh penguasa VOC, tahun 1740.

Kisah kelam ini berawal dari masalah memanasnya hubungan antara permintah VOC dengan imigran Tionghoa yang ada di Jakarta(Batavia-red) waktu itu.

Kemunduran VOC dalam bidang perdagangan akibat kalah bersaing dengan Maskapai Perdagangan Inggris, The Britisch East India Company yang berpusat di Callcuta, India dalam perebutan hegemoni perdagangan bangsa-bangsa Eropa (1602-1799) menimbulkan tekanan besar terhadap seluruh wilayah jajahan VOC termasuk Hindia Belanda.

Guna mengatasi hal tersebut Heeren XVII(Kamar dagang VOC) menekan Gubernur Jendral Hindia Belanda di Batavia saat itu agar dapat memaksimalkan jumlah pendapatan dan aliran dana segar ke kas VOC.

Sementara disisi lain, besarnya pengeluaran angkatan perang VOC akibat pemberontakan yang terjadi di berbagai wilayah kekuasaan kolonial di Nusantara serta terus meningkatnya jumlah imigran Tionghoa yang berhasil dalam bidang perdagangan di Batavia yang jika dibiarkan akan menyebabkan ancaman serius bagi kelangsungan dagang VOC di negeri ini membuat bingung penguasa VOC di Batavia.

Untuk memecahkan masalah tersebut secara bersamaan, Dewan Hindia Belanda dan Gubernur Jendralnya (saat itu dijabat oleh Valckeneir ) sepakat melakukan jalan pintas dengan menggalakkan program tanam paksa bagi warga bumiputera. Sementara bagi para etnis keturunan dan para imigran Tionghoa yang terkenal lebih berhasil, upaya-upaya pemerasan terselubung mulai dilakukan. Pemberlakuan program “Surat Ijin Tinggal” adalah salah satunya.

Seluruh etnis Tionghoa yang ada di dalam tembok maupun diluar tembok Batavia diwajibkan memiliki “Surat Ijin Tinggal” yang dikeluarkan pemerintah VOC dengan masa berlaku terbatas. Aturan program ini sangat keras. Apabila ditemukan imigran Tionghoa yang tidak memiliki “Surat Ijin Tinggal” diberikan hukuman berupa denda atau hukuman penjara. Bahkan yang lebih buruk adalah pengusiran mereka dari seluruh wilayah Hindia Belanda.

Pemerintah VOC beralasan bahwa pemberlakuan program ini adalah agar wilayah Batavia dan sekitarnya bersih dari para pendatang ilegal yang selalu mengganggu ketertiban. Harus diakui bahwa alasan tersebut tidak sepenuhnya salah. Kondisi Batavia yang saat itu dipenuhi para imigran (terutama Tionghoa) menjadi tidak teratur. Tempat perjudian dan hiburan tumbuh bak jamur di musim hujan.

Tercatat sebanyak 7.550 jiwa imigran Tionghoa menetap di Batavia tahun 1719. Angka ini meningkat pesat hingga tahun 1739. Sebanyak 10.574 jiwa imigran Tionghoa ditemukan berada dan tinggal di dalam tembok Batavia dan sekitarnya.

25 Juli 1740, penguasa Batavia semakin mempertegas pemberlakuan program ini dengan dikeluarkannya resolusi yang isinya “penguasa VOC memiliki hak untuk menangkap dan memenjarakan seluruh warga Tionghoa yang tidak memiliki izin tinggal diwilayah Batavia”.

Resolusi sangat memukul etnis Tionghoa yang dijadikan korban. Disisi lain pemberlakuan resolusi ini menciptakan peluang korupsi baru bagi kalangan petugas pemerintah.

Sementara bagi pemerintahan Batavia dan kalangan Dewan sendiri, pemberlakuan program ini dianggap sangat baik karena selain dapat menambah penghasilan dari sisi pajak, program ini juga dapat dijadikan alat kontrol bagi semua aktivitas perdagangan etnis Tionghoa. Seb,aliknya, bagi etnis Tionghoa pemberlakuan Surat Ijin Tinggal dan berbagai macam pungutan liar ini menyebabkan krisis ketidakpuasan. Tingkat kesejahteraan mereka terus merosot dari hari ke hari, bahkan banyak diantara pedagang Tionghoa beralih profesi menjadi buruh kasar akibat kebangkrutan.

Ketidakpuasan-ketidakpuasan inilah yang kemudian menimbulkan perlawanan etnis Tionghoa terhadap pemerintah Batavia. Tercatat sejak bulan September 1740 berbagai kerusuhan kecil terjadi diluar kompleks Benteng Batavia. Peristiwa ini mencapai puncaknya pada 7 Oktober 1740. Saat itu, lebih dari 500 orang Tionghoa dari berbagai penjuru berkumpul guna melakukan penyerangan ke Kompleks Benteng Batavia setelah sebelumnya menghancurkan pos-pos penjagaan VOC di wilayah Jatinegara, Tangerang dan Tanah Abang secara bersamaan.

8 Oktober 1740, kerusuhan terjadi disemua pintu masuk Benteng Batavia. Ratusan etnis Tionghoa yang berusaha masuk dihadang pasukan VOC dibawah pimpinan Van Imhoff.

9 Oktober 1740, dibantu dengan altileri berat pasukan VOC berhasil menguasai keadaan dan menyelamatkan Kompleks Batavia dari kerusuhan. Pasukan kaveleri VOC mulai mengejar para pelaku kerusuhan. Seluruh rumah dan pusat perdagangan warga Tionghoa yang berada di sekitar Batavia digeledah dan dibakar. Termasuk rumah Kapiten Tionghoa Nie Hoe Kong yang dianggap sebagai otak kerusuhan.

Ribuan warga Tionghoa yang selamat dari kerusuhan diburu dan dibunuh tanpa perduli terlibat atau tidak dalam peristiwa pemberontakan tersebut. Banyak diantara mereka dibiarkan lari kearah kali sebelum akhirnya dibantai oleh para prajurit yang telah menunggu kedatangan mereka (terjadi silang pendapat mengenai lokasi kali tempat pembantaian ini. Beberapa sumber menyatakan bahwa kali yang menjadi lokasi pembantaian adalah Kali Angke, hingga peristiwa pembantaian ini diabadikan dengan nama “Tragedi Angke”. Namun ada pula yang berpendapat bahwa pembantaian sebenarnya tidak terjadi di Kali Angke melainkan di Kali Besar, karena letaknya lebih dekat ke Tembok Batavia. Kali Angke hanyalah merupakan titik akhir lokasi penemuan ribuan mayat korban pembantaian dihanyutkan air).

Malam hari 9 Oktober 1740, prajurit VOC kembali melakukan penyisiran guna mencari sisa-sisa etnis Tionghoa yang bersembunyi dirumah atau bangunan lain diseputar Batavia. Pembantaian kali ini lebih sadis karena melibatkan budak dan warga bumiputera yang sengaja dibakar amarahnya. Bahkan menurut cerita Gubernur Jendral Valckeneir sempat menjanjikan hadiah sebesar 2 dukat per kepala etnis Tionghoa yang berhasil dipancung

10 Oktober 1740, setelah peristiwa pemberontakan mereda, Gubernur Jendral Valckeneir kembali memerintahkan prajuritnya guna mengumpulkan seluruh warga Tionghoa yang tersisa termasuk yang terbaring di rumah sakit maupun di penjara. Mereka dikumpulkan didepan Stadhuis/ Gedung Balaikota (sekarang Muesum Fatahillah) untuk menjalani eksekusi hukum gantung. .

Saat Tragedi Angke benar-benar berakhir tercatat etnis Tionghoa yang selamat sebanyak 3.441 jiwa. Terdiri dari 1.442 pedagang, 935 orang petani, 728 orang pekerja perkebunan, dan 336 orang pekerja kasar.

Kejadian ini merupakan salah satu peristiwa pembantaian etnis terburuk yang pernah terjadi dalam perjalanan panjang kota Jakarta.