Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Novel Byar Pet

Judul: Byar Pet (novel)
Penulis: Putu Wijaya
Penerbit: Pustaka Firdaus, 2003
Tebal: 161 halaman
Kondisi: Buku stok lama (bagus)
Harga: Rp. 35.000 (belum ongkir)
Order: SMS 085225918312


Menari di atas kata-kata, barangkali cukup mewakili seorang Putu Wijaya dalam karyanya ini. Mengisahkan perjalanan seorang kampung dalam mencari "dirinya sendiri" lengkap dengan intrik, suka duka, dan gemerlap Jakarta. Memadukan kisah kekonyolan nasib dengan berjuta cerita ibukota, menjadikan Byar Pet, layak baca bagi pencinta "kelincahan pena" Putu Wijaya.

Bagaimana rasanya memasuki dunia asing yang benar-benar lain dari pengalaman dunia sekitar kita sebelumnya? Itulah yang dinarasikan oleh Byarpet-nya Putu Wijaya. Menjejal kata demi kata yang ternukil dalam novel Byarpet seolah memasuki kisah keterasingan. Seperti apa persisnya keterasingan yang digambarkan oleh Putu Wijaya? Bagi kita yang sering terbelit dengan pertanyaan seputar identitas diri, akan paham keterasingan macam apa yang ada dalam Byarpet.

Kisah bermula dari tokoh utama yang melakukan perjalanan ke Jakarta untuk menemui seorang teman. Namun sayang, di pemberhentian bus pertama, sang tokoh kehilangan dompet berikut catatan alamat temannya di Jakarta. Tidak hanya sebatas itu malah, bahkan KTP dan nama teman yang akan dikunjungi pun ia lupa. Lupakan pertanyaan bagaimana mungkin si tokoh utama bisa lupa nama orang yang akan ia kunjungi. Sebab, rangkaian perjalanan dan pengalaman si tokoh selama di Jakarta jauh lebih penting untuk sebuah renungan pertanyaan.

Tanpa KTP dan hanya dengan sedikit sisa uang di tangan, maka bermula-lah petualang tokoh Byarpet ini di Jakarta. Satu demi satu tingkah polah Jakarta tak luput dari pengamatannya. Sebagai orang yang datang dari kota kecil pedalaman, Jakarta membuatnya syok. Orang-orang Jakarta, lingkungan sosial Jakarta, senyum orang Jakarta, semua terasa sangat lain di matanya. Di selintas mata dan benaknya berkelebat pikiran tentang survival. Ya, ketahanan untuk terus survive di rimba Jakarta telah menuntut penghuninya bersikap dan bertindak layaknya di rimba.

Perjalanan sang tokoh di Jakarta termasuk spektakuler. Bagaimana tidak, tanpa arah dan tujuan dia berani mengarungi Jakarta mencari orang yang dia sendiri tak ingat. Walaupun dengan mati-matian dia telah berusaha mengingat, tetap saja sosok yang akan dia temui itu terasa kian jauh dan terbenam dari ingatannya. Dalam suasana yang tidak menentu itulah sang tokoh tiba-tiba melihat photo kenalan lamanya di koran, Marno. Merasa mendapat sebuah keajaiban, apalagi setelah ia tahu temannya Marno tersebut tinggal di Jakarta, dengan bantuan polisi ia beranjak menuju rumah temannya tersebut. Tapi ternyata apa yang ia dapati? Pergolatan batin. Bagaimana tidak, Marno yang ia kenal di kota tempat tinggalnya, ternyata orang kaya dan penting di Jakarta. Tak pernah tahu ia selama ini kalau Marno adalah seorang konglomerat. Dulu, semasa ia menganggap Marno sebagai orang kebanyakan seperti dirinya, mereka bisa santai dan lepas dalam setiap obrolan apapun tanpa ada jarak. Tanpa rasa kikuk. Tak ada rasa superior dan inferior di antara mereka. Tapi, setelah kini ia tahu Marno orang gede, akankah segala kehangatan yang mereka lalui dulu sebagai dua orang bersahabat akan bisa tetap berlaku? Mula-mula sang tokoh ini meragu, akankah dia menamu ke rumah istana Marno atau tidak, tapi setelah dipikir-pikir dia lebih memilih untuk menunggu saja dulu di depan gerbang rumah Marno. Sebab, kata orang yang tahu kebiasaan Marno, sebentar lagi mobilnya akan datang masuk ke pekarangan rumah.

Setelah menunggu agak lama, benar saja, mobil Marno yang diakrabi betul oleh abang becak yang mengantarnya tampak muncul di tikungan jalan dekat mereka. Apa yang terjadi? Dari luar si tokoh bisa melihat bahwa benar itu Marno yang ada di dalam mobil, sedang bicara dengan koleganya. Sudut pandang mereka bertemu. Sayang, si tokoh yang yakin itu Marno merasa asing dengan pandangan marno yang ia kenal sebelumnya. Sudut mata mereka berlalu seiring mobil masuk pekarangan. Si tokoh mematung di luar seolah keyakinannya kini sedang berbalik, bahwa yang ia lihat bukanlah Marno. Sekali lagi Marno melihat dari sudut matanya ke arah sang tokoh utama cerita. Pandangan mereka kembali bertemu. Kembali, sang tokoh merasa mata yang bertumbuk dengan matanya sangat asing. Lain sekali, seolah tak pernah tahu mata itu sebelumnya. Di sini, sang tokoh merasa ada sesuatu yang aneh dan lain di Jakarta.

Beranjak dari Marno yang tidak jadi ia temui. Sang tokoh kembali bergelut dengan nama teman yang akan ia kunjungi semula. Tetap tidak berhasil dia mengingat. Akhirnya setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan untuk kembali saja ke kota halamannya, setelah mengalami banyak perasaan aneh tentang Jakarta dengan seluruh isinya. Keputusan yang ia ambil adalah jalan terbaik. Bagaimana mungkin bisa terus bertahan di Jakarta yang serba lain di matanya sedangkan tujuan sendiri ia tidak jelas.

Cerita lalu mengalir seiring dengan kepulangan sang tokoh ke kota kecilnya. Kembali ia mencoba mengingat nama yang tadinya ingin ia tuju di Jakarta. Bemacam nama ia coba seluncurkan dari mulutnya. Kroso, Kromo, Parno, adalah sederet nama yang ia desiskan sembari berharap ada jembatan pengingat tiba-tiba meloncat dai benaknya. Tapi, masih saja belum berhasil. Hingga pada sebuah momen tak terduga tiba-tiba nama “Kropos” hinggap begitu saja di kepalanya. Ia ingat nama Kropos. Itulah nama yang ingin dia cari di Jakarta. Tapi, semuanya telah terlambat, sebab nama itu lekat di benaknya saat ia sampai di kota tempat ia tinggal. Semua sudah tidak ada gunanya lagi…

Byarpet ditutup saat sang tokoh turun dari bus dan menginjakkan kakinya ke tanah, lantas tiba-tiba seseorang memanggil dengan keras, “Kropos!”. Pada saat itu sang tokoh menoleh—dan merasa dialah yang dipanggil. Pada nyatanya, suara itu memang memanggil namanya, si tokoh Byarpet ini.

Inilah kejutan dari Putu Wijaya lewat Byarpet-nya. Nama yang ingin si tokoh cari di Jakarta adalah dia sendiri. Seolah perjalanan sang toko cerita ke Jakarta menjadi semacam pencarian identitas yang tak kunjung diketahui. Dan di Jakarta, memang ia tidak menemui Kropos (atau si tokoh itu sendiri), tapi ia kembali mengenal dirinya setelah sampai di kota tempatnya tinggal…

Byarpet-nya Putu Wijaya ini memang terbuka penafsirannya bagi siapa pun yang membacanya. Boleh jadi setiap kepala yang membaca Byarpet ini memperoleh kesan berbeda setelah halaman terakhir ditutup. Apa pun maknanya Byarpet, bagi saya, karya ini adalah sebuah cermin jernih. Banyak detail cerita yang digambarkan di sini mengarah kepada itu…