Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Catatan Seorang Demonstran

Judul: Catatan Seorang Demonstran
Penulis: Soe Hok Gie
Penerbit: LP3ES, 2012
Tebal: 454 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 70.000 (belum ongkir)
SMS/WA: 085225918312
PIN BBM: 5244DA2C


‘Catatan Seorang Demonstran’ Sebuah buku tentang pergolakan pemikiran seorang pemuda, Soe Hok Gie. Dengan detail menunjukkan luasnya minat Gie, mulai dari persoalan sosial polotik Indonesia modern, hingga masalah kecil hubungan manusia dengan hewan peliharaan. Gie adalah seorang anak muda yang dengan setia mencatat perbincangan terbuka dengan dirinya sendiri, membawa kita pada berbagai kontradiksi dalam dirinya, dengan kekuatan bahasa yang mirip dengan saat membaca karya sastra Mochtar Lubis.

“Gie”, banyak menulis kritik-kritik yang keras di koran-koran, bahkan kadang dengan menyebut nama. Dia pernah mendapat surat kaleng yang memaki-maki dia ” Cina yang tidak tahu diri, sebaiknya pulang ke negerimu saja”. Ibunya pun sering khawatir karena langkah-langkah “Gie” hanya menambah musuh saja.

“Soe Hok Gie” bukanlah stereotipe tokoh panutan atau pahlawan yang kita kenal di negeri ini. Ia adalah pecinta kalangan yang terkalahkan dan mungkin ia ingin tetap bertahan menjadi pahlawan yang terkalahkan, dan ia mati muda.

Semangat yang pesimis namun indah tercermin dimasa-masa akhir hidup juga terekam dalam catatan hariannya : “Apakah kau masih disini sayangku, bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu.”

Buku Soe Hok Gie ini adalah buku catatan harian kedua yang terbit di Jakarta — selang tidak lama setelah buku yang sama dari Ahmad Wahib beredar. Kedua penulis buku itu mati muda dan mendadak. Perasaan kehilangan atas kepergian mendadak itulah rupanya yang menggerakkan teman-teman kedua almarhum untuk menerbitkan catatan harian mereka. Kenyataan ini tidak luput dari perhatian Daniel Dhakidae yang menulis pengatar panjang untuk buku Soe Hok Gie ini. Bahkan ia melihat persamaan-persamaan antara keduanya (halaman 23). Tidak bisa disangkal banyaknya persamaan itu — yang dijajaki Daniel dengan bagus sekali. Kalau saja ia menjajaki lebih jauh lagi barangkali juga akan terlihat perbedaan yang tidak kurang menyolok.

Soe Hok Gie pada dasarnya seorang aktivis. Sedang Ahmad Wahib seorang perenung. Perbedaan ini dengan sendirinya membawa akibat luar biasa pada catatan harian mereka. Catatan harian Soe Hok Gie. adalah catatan kegiatan. Sementara Ahmad Wahib mencatat renungan-renungannya. Apakah Soe Hok Gie tidak punya pemikiran-pemikiran? Jelas punya. Ia dengan sangat jelas melemparkan pikiran-pikirannya lewat sejumlah tulisan di berbagai koran, majalah, pamflet, serta penerbitan lainnya di dalam maupun di luar negeri.

Sebagai aktivis yang dikenal luas pada masanya — baik oleh para mahasiswa, pembaca koran maupun oleh tokoh seperti Almarhum Presiden Soekarno — kematian mendadak Soe Hok Gie tidaklah lalu berarti berangkatnya dia dari ingatan banyak orang di antara kita. Tapi kematian fatal Ahmad Wahib, di tepi Jalan Senen Raya, bisa mengakhiri segalanya bila ia tak meninggalkan catatan hariannya satu-satunya hasil kerjanya yang membukakan dirinya kepada kita. Perbandingan antara kedua tokoh yang mati muda itu membawa saya kepada satu pertanyaan yang terus menggoda ketika membaca buku Catatan Seorang Demonstran ini.

Catatan harian ini konon dipersiapkan oleh Yayasan Mandalawangi dalam rangka melanjutkan usaha yang telah dimulai oleh almarhum (halaman xiii-xiv). Yang aneh bagi saya, kalau memang demikian niatnya, mengapa justru bukan karangan-karangan almarhum yang dikumpulkan untuk diterbitkan? Karangan-karangan itu lebih jelas menggambarkan, bukan saja sikap dasar atau filosofi hidup Soe Hok Gie, juga cara-cara almarhum melaksanakan cita-citanya. Saya mempunyai kesan yang amat kuat bahwa bagi Almarhum Soe Hok Gie, seorang sejarawan, catatan harian ini betul-betul merupakan catatan bagi suatu penulisan yang suatu kali akan dilakukannya.

Dan sebagai catatan yang sifatnya sangat pribadi ditulis tanpa jarak yang memadai dari kejadiannya, sudah jelas catatan demikian belum mencerminkan penulisnya secara utuh. Ibaratnya membuat film, yang dilakukan Soe Hok Gie lewat catatan hariannya barulah mengumpulkan shot-shot sebanyak mungkin. Belum jelas film apa yang akan dibuatnya, sebab itu masih tergantung tema yang sedang dikembangkannya. Bahkan jika tema telah mendapatkan bentuk, proses editing masih akan berpengaruh besar terhadap tema yang dibangun dari shot-shot yang telah dikumpulkannya sejak ia masih remaja.

Teman-teman Soe Hok Gie ternyata punya cara sendiri untuk berkabung: shot-shot itu diputar di bioskop. Akibatnya, gambaran Soe Hok Gie yang muncul ialah gambaran anak remaja yang punya cita-cita, bekerja keras, tapi juga menjadikan hanya dirinya sebagai pusat segalanya. Dari catatan harian Soe Hok Gie itu hampir sulit menemukan orang baik, kecuali dirinya sendiri. Bukan maksud saya untuk menyepelekan buku Soe Hok Gie ini.

Dari beberapa catatannya kita memang bisa memperoleh gambaran tentang apa yang sebenarnya terjadi pada masa itu: di kampus, di kalangan orang-orang sosialis yang partainya, PSI, dibubarkan, maupun hubungan orang-orang itu dengan kalangan militer. Tapi bagian-bagian ini tetap saja tidak bisa menghapuskan kebosanan kita terhadap catatan mengenai kehidupan di Fakultas Sastra — yang saya kira hanya cukup menarik untuk teman-teman almarhum yang mempunyai nostalgia terhadap masa itu. Catatan harian ini akan lebih berharga jika disertakan tulisan-tulisan almarhum yang tersebar di berbagai media. Adakah penerbitan catatan harian ini cuma merupakan kekeliruan cara menyatakan kesedihan atas kematian seorang teman? Entahlah.