Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer

Judul: Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer
Penulis: Koesalah Soebagyo Toer
Penerbit: KPG, 2009
Tebal: 512 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 100.000 (belum ongkir)
Order: sms 085225918312


Bersama Mas Pram mengungkap sisi-sisi kehidupan Pramoedya Ananta Tour, novelis terbesar Indonesia, yang jarang diketahui umum. Misalnya tentang kehidupan seksualnya, kegigihan kerjanya, pandangannya tentang wanita dan perkawinan, aktivitasnya menjelang 1965, sikapnya tentang Tuhan dan doa, cara dia mendidik adik-adiknya, sampai percakapan-percakapan ketika ditangkap tahun 1965.

Memoar ini adalah buku kedua Koesalah Soebagyo Toer yang memaparkan kehidupan Pramoedya setelah Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali. Ditambah catatan Soesilo Toer, buku ini menyuguhkan inside story kehidupan Sang Novelis yang lebih lengkap sejak masa kecil di Blora hingga meninggal tahun 2006 di Jakarta.

Karya ini akan melengkapi ruang pengetahuan siapa pun yang mengagumi karya-karya Pramoedya.

Barangkali ini potret yang lebih lengkap tentang sebuah Keluarga Gerilya yang sesungguhnya.

Memoar setebal 512 halaman yang juga dilengkapi foto-foto dan lampiran, ditulis dalam bentuk cerita-cerita pendek yang memikat. Koesalah Soebagyo Toer, penulis Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, mengungkapkan bahwa apa yang ada di buku ini sifatnya adalah pelengkap terhadap apa yang sudah pernah dituliskan dalam buku tersebut. Saya sendiri belum pernah membaca Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali, jadi tentunya dapat membandingkan isi kedua buku.

Tertawa terbahak. Terharu. Gemas. Geram. Tersenyum. Bersimpati. Sedih.

Tentunya, masih ada banyak lagi reaksi ketika membaca tulisan-tulisan pendek Koesalah yang sangat apik. Dalam buku ini, dia memaparkan detil-detil setiap peristiwa yang sangat berkesan ketika beinteraksi maupun bersinggungan dengan Pram, sang anak pertama yang lahir hidup dalam keluarga tersebut.

Dari uraiannya, saya dapat menyimpulkan kedekatan yang erat antara Pram- yang semula dipanggil Moek di dalam keluarga- dengan sang ibunda. Selain itu dengan sosok-sosok perempuan lain yang kemudian menjadi inspirasinya. Lebih lanjut tentang perempuan, ada beberapa hal yang dapat ditangkap secara tersirat. Kehidupan perkawinan pertamanya, perkenalan keluarga dengan istri keduanya, serta hal-hal spesifik yang hanya dia bicarakan dengan Koesalah: “Di situ dengan cerita-ceritanya Mas Pram membuktikan kata-katanya sendiri bahwa tak ada lelaki yang suci”. (h282). Perihal Chen Xiaru, yang disitir oleh banyak pihak memiliki kedekatan tertentu dengan Pram, sama sekali tidak disinggung dalam memoar ini.

Pram, sebagai anak tertua dalam keluarga, dideskripsikan sebagai anak yang mengambil tanggung jawab mendidik adik-adiknya. Berbekal pesan sang Bunda yang memintanya untuk tidak bergantung pada orang lain dan kemudian menuntut ilmu di Eropa, Pram, menurut pandangan saya berhasil mengarahkan adik-adiknya untuk menuntut ilmu dengan baik di Jakarta, bahkan sampai ke Eropa.

Rasa haru begitu menyelimuti ketika mengetahui keadaan keluarga tersebut setelah pembebasan Pram dan adik-adiknya dari penjara. Carut marut. Kesulitan keuangan yang membuat mereka tinggal berdesakan dalam satu rumah. Diam (mungkinkah merasa bersalah ?) setelah mendengar ‘ungkapan’ kekesalan salah seorang adiknya tentang kakak beradik yang harus dikejar-kejar aparat dan bolak-balik masuk penjara karena menyandang nama ‘Toer’ yang sama.

Satu-satunya hal yang membuat darah saya tersirap karena menahan kesal dari buku ini adalah ketika Koesalah mengutip kalimat nasihat utuh yang keluar dari mulut Pram tentang makna perkawinan, “ Kalau cari istri, perhatikan rumahnya, bersih dan rapi enggak!” demikian katanya yakin dengan maksud nuturi. “Dan jangan kawin sama orang Sunda!” tambahnya. (hal. 195)