Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi

Judul: Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi
Penulis: Abdul Chaer
Penerbit: Komunitas Bambu, 2012
Tebal: 303 halaman

Etnis Betawi mendiami Jakarta, yang dulu bernama Batavia, jauh sebelum modernitas berkembang dan pembangunan kota marak di mana-mana. Mereka bahkan merasakan pergolakan kolonialisasi dalam pelbagai era. Roda zaman berputar, kehidupan sosial orang Betawi turut berubah. Apalagi saat Indonesia memasuki babak baru sejarah, dan Jakarta menjadi Ibu Kota negara.

Sejak itu, perubahan drastis dirasakan penduduk Betawi. Tempat tinggal digusur atas nama pembangunan. Banyak lahan mereka disulap menjadi tempat berdirinya gedung-gedung pencakar langit. Jakarta menjadi kiblat dalam pelbagai ranah, sehingga menjadi gula pemikat datangnya semut-semut daerah.

Perubahan wajah kota Jakarta berimplikasi serius pada sistem nilai dan kehidupan sosial masyarakat. Derap pembangunan dan kehidupan sosial heterogen membuat etnis Betawi terancam. Tidak jarang mereka malah terpinggirkan. Mereka bak tamu di rumah sendiri. Fenomena sosial inilah yang coba dikaji Abdul Chaer, orang Betawi yang menggeluti sejarah-budaya Betawi Jakarta selama 40 tahun.

Chaer menghadirkan potret masa lalu orang Betawi, sekaligus sebagai komparasi wajah Jakarta saat ini. Dengan menulis sejarah Betawi pada era 1950-an ke bawah, Chaer hendak mengatakan bahwa perubahan zaman telah menghilangkan dimensi historis, politik, budaya, ekonomi, dan sistem sosial lain orang Betawi.

Pada masa silam, orang Betawi diangkat sebagai kritik atas realitas kehidupan sosial yang timpang. Dulu orang Betawi sangat egaliter, toleran, memiliki solidaritas tinggi, cinta budaya dan nasionalisme bangsa. Sekarang percampuran etnis membentuk kebudayaan baru atau bahkan identitas pribadi maupun komunalitas berbeda dari orang Betawi.

Mereka membentuk folklor sendiri. Folklor Betawi inilah yang belakangan menghiasi Jakarta. Mereka berakulturasi dengan ragam etnis dan membentuk identitas-komunalitas yang tak menampilkan wajah etnis Betawi.

Mengenai siapakah yang termasuk folk atau etnis Betawi itu, ada banyak pendapat yang berbeda. Suryomihardjo (1976) mengatakan, etnis Betawi muncul dari proses kawin-mawin berbagai etnis di Jakarta sejak abad ke-17 dan yang sudah berbahasa Melayu. Namun Saidi (1997) menyatakan, etnis Betawi ada sejak abad-abad pertama tahun Masehi.

Lepas dari asal-usulnya, etnis Betawi kini terpinggirkan dalam pelbagai ruang kehidupan. Kebudayaan mereka tergilas oleh derasnya arus perubahan zaman. Mereka merasakan banyak kebudayaan dan sistem nilai yang hilang. Adat istiadat orang Betawi hanya hadir di masa lalu atau dalam memori sejarah.

Masyarakat dan etnis yang merupakan penduduk Ibu Kota dewasa ini secara berangsur-angsur sudah dan sedang mengalami akulturasi dengan pelbagai budaya etnis pendatang, yang membentuk folklor baru, yaitu folklor Jakarta.

Dalam hal bahasa, banyak generasi muda Betawi yang tidak lagi menggunakan bahasa Betawi sebagai bahasa pertamanya, tapi diganti dengan bahasa Indonesia ragam non-formal. Tak ada lagi kegiatan nyambat untuk menyelesaikan pekerjaan, seperti mendirikan rumah atau membajak sawah. Sulit sekali menemukan anak-anak bermain dampu, galasingan, atau petak umpet. Tak ada lagi colen-colen terpasang menerangi kampung-kampung pada malam Lebaran.

Senja sebuah etnis di Ibu Kota. Orang Betawi kini hanya mampu mengenang romantisme masa lalu dengan membaca buku, artefak-artefak, bertemu sejarawan/saksi hidup, mengunjungi museum bersejarah, atau sekadar mengingat sejarah tempo dulu. Arogansi penguasa dan kesombongan pembangunan telah menghilangkan karakter/identitas orang-orang Betawi.

Andi Andrianto
Penggiat Komunitas Diskusi Tugu 45 Jakarta