Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ketika Buku Bukan Lagi Ilmu

Saudara Hasta Indriyana, di koran ini, minggu lalu menuliskan kegelisahannya mengenai kondisi buku, sastra dan komunitas (12/02/12). Hanya saja esai itu menurut saya belum mencoba menjawab pertanyaan yang serius, kenapa itu terjadi dan apa dampaknya bagi kehidupan sosial-kita? Maka esai inipun mencoba meneruskan kegelisihan yang serupa itu. Memang dan tak dipungkiri dalam 5-6 tahun belakangan, banyak keluhan dari krani buku yang melontarkan pertanyaan; "Bagaimana kok dunia perbukuan (sastra) kita ini semakin sejenis dan seragam, melulu buku-buku itu saja, bacaan-bacaan praktis, instan, how to dan sejenisnya, kemana buku-buku sejarah, humaniora, filsafat dan sastra kita yang lebih bertenaga?"

Pertanyaan itu barangkali sangat simpel terdengar, tapi sungguh luar biasa pelik untuk  menjawabnya. Apalagi seorang kawan dari distributor buku menjelaskan, bahwa perkembangan perbukuan nasional kita; buku-buku how to dan sejenis, grafiknya terus meningkat, mencapai lebih dari 75 % dari jenis lainnya. Sebuah angka prosentasi yang sangat menakjubkan. Modus penerbit untuk menawarkan buku-buku itu juga hampir sama, yaitu dengan memberikan janji-janji yang muluk pada sampul buku-buku tersebut dengan bahasa rayuan yang cukup sensasi dan sangat fantastis, misalnya saja dengan judul; Sebuah Novel Pembangkit Jiwa, Dua Hari Menjadi Milioner, 5 jam Mahir Bahasa Mandarin, dan lain sebagainya.

Ironisnya, buku-buku instan dengan tema yang sangat susah diterima oleh akal sehat dan kualitas isi yang hampir-hampir tak "mengandung ilmu" itu jutsru menempati rak-rak "bestseller" toko  buku raksasa (gramedia) kita. Apakah ini sebuah "kemajuan?” Karena, anak-anak Indonesia yang dinilai  rabun membaca, kini telah mulai bangkit, ataukah justru “kesalahan?” Mengapa buku-buku yang  menawarkan tema-tema sensasional dan "tak mengandung ilmu" justru laris-manis?

Sortir buku dalam Sejarah
Seperti kita ketahui, bahwa buku merupakan jendela dunia, lautan ilmu dan samudera  pengetahuan. Dengan meyelaminya, kita akan mendapatkan hal-hal baru, yang mungkin tidak  pernah kita ketahui sebelumnya selama ini. Dalam diktum Arab, keberadaan buku sering  disanjung: “Khairu jaliisin fi al-zamaani kitaabun”, sebaik-baik teman di setiap saat  adalah buku. Sebuah ungkapan sederhana, namun sarat makna jika dikaji lebih jauh.

Barbara Tuchman mengatakan, buku adalah mesin perubahan, jendela dunia, mercusuar yang dipancangkan di samudra waktu. Dan teolog Denmark, Thomas Bartholin, menambahkan, tanpa buku, Tuhan diam; keadilan terbenam; sains macet; sastra bisu; dan seluruhnya dirundung kegelapan. Karena dengan buku, kepribadian seseorang bisa terbentuk. Karena buku pula,  peradaban suatu bangsa akan tercipta.

Mengingat peran buku yang signifikan itu, dalam sejarah, sebelum buku diterbitkan, pastilah  melalui banyak pertimbangan dan tahapan-tahapan. Agar kelak setelah terbit, ia tak sekedar  ada, tapi juga menjadi "mutiara", dan  siapa saja yang bisa masuk menjelajah ke dalamnya,  akan menemukan mutiara terpendam yang tak ternilai itu. Dan, jika ada buku yang terlanjur  terbit, tapi ia dianggap tak "bermutiara", segera saja pustakawan menyortir dan segera menyingkirkan buku itu dari rak ke gudang belakang.

Dalam Dokumen Velician dijelaskan, bahwa Ibnu Rusydlah yang melakukan kerja penyortiran  buku-buku yang dianggap "mutiara" atau tidak itu pada tahun 494 H. Dalam data itu diklasifikasi mana buku-buku yang dianggap bermanfaat dengan label "harthaqiyyah" dan mana yang dianggap hanya menghambur-hamburkan kertas saja "syubhattiyah". Hasilnya banyak  ditemukan buku-buku yang dianggap tak bermanfaat, seperti buku pendokumentasian biografi  tokoh-tokoh ilmuwan yang dihukum mati oleh Dewan Gereja Konstantinopel dilenkapi dengan sejumlah dalil suci dari uskup Agung yang membenarkan perbuatan hukuman itu.

Malu Sebagai Bangsa
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, kaya akan sejarah dan heterogen. Selain sejarah banyaknya ilmuwan yang pernah hidup di negeri ini dari waktu-ke waktu, bangsa Indonesia juga mempunyai banyak adat-istiadat, bahasa, agama dan suku. Namun kenapa buku-buku yang naik ke permukaan di negeri yang begitu besar dan kaya segalanya justru homogen (seragam) dan lebih tragis lagi, nyaris tak mengandung ilmu? Sekali lagi, apa yang "salah" selama  ini?

Jika ditelusur, agaknya ada faktor yang jadi sangat penentu, yaitu proses ekonomi nasional kita. Bergeraknya sistem ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi kapitalis-liberalis yang hanya berorientasi pada pasar telah menuntut sejumlah konsekuensi, sekaligus membawa sejumlah perubahan penting dalam kehidupan kita. Misalnya separti pada kasus di atas; karena tarikan pasar yang kuat atas buku-buku how to yang instan bercirikan copy-paste itu, masyarakat jadi mudah  terpukau, dengan iming-iming sampul yang menjanjikan itu, dan ia akan welcome dan konsumtif sehingga mereka tergiring dan terperosok menjadi serdadu pasar yang setia. Di satu sisi, ironisnya lagi, pelaku industri buku, kebanyakan bukanlah orang yang mecintai ilmu pengetahuan, melainkan mereka yang mecintai kekayaan secara berlebihan dan ingin memutar kapitalnya untuk mengeruk keuntungan di industri buku.

Dampak dari pelaku industri buku model ini, sungguh akibatnya tidak bisa diremehkan, karena ke depan mereka sadar, atau tidak sadar sedang mencoba melakukan usaha pembodohan secara massal pada masyarakat, karena sejatinya masyarakatlah yang merasakan dampaknya secara langsung, terlebih adalah para pelajar dan mahasiswa. Karena industri buku model seperti ini sama sekali tidak mengedepankan mutu atau isi buku sebagai suplemen pengetahuan, sehingga memilah penulis-penulis yang profesional nya di bidangnya masing-masing, akan tetapi mencari penulis yang bisa bermain akrobat, dengan cara apapun asalkankan jadi.

Seharusnya kita semua mesti menundukkan kepala dan malu sebagai sebuah bangsa yang besar. Bukankah dengan keseragaman buku-buku instan itu mencerminkan, tidak saja sedang terjadi multi-krisis terhadap nilai-nilai bangsa dan perikehidupan yang sesungguhnya, tapi juga memberi tanda seru atas kemiskinan intelektual negeri besar ini dengan ratusan juta penduduknya. Dan fenomena ini semakin menceriminkan peradaban kita sekarang yang ada hanyalah berjalan menuju peradaban hedonis yang tercipta dari budaya massa (mass culture) dan budaya populer (pop culture) yang lebih bersifat melayani dan mengambil keuntungan sesaat berupa materi dari publik.

Terkait dengan itu, cendekiawan Ali Syariati mengingatkan kita semua: “Buku itu seperti makanan, tetapi makanan untuk jiwa dan pikiran. Buku adalah obat untuk luka, penyakit, dan kelemahan-kelemahan perasaan dan pikiran manusia. Jika buku mengandung racun, jika buku dipalsukan, akan timbul bahaya kerusakan yang sangat besar.” Semoga kita, dan juga pemerintah tak menganggap buku hanya persoalan pasar semata, sehingga bangsa ini akan menjadi bangsa terbelakang, gagap pengetahuan dan miskin peradaban. Semoga!


Oleh Aguk Irawan MN, Peminat  buku dan pengamat kebudayaan, tinggal di Bantul.
Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta