Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Teror & Demokrasi dalam I'dad (Persiapan) Jihad (Perang)

Judul: Teror & Demokrasi dalam I'dad (Persiapan) Jihad (Perang)
Penulis: Bilveer Singh & Abdul Munir Mulkhan
Penerbit: Metro Epistema, 2013
Tebal: 251 halaman

Tiga anak muda berbaju koko putih menjawab satu per satu pertanyaan penyidik Polri di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Cipinang. Tidak tampak rasa cemas di wajah mereka, meskipun jawaban ketiganya sering berbelit-belit. Ketiga pemuda berusia 20-an tahun itu diperiksa sebagai saksi dalam tindak terorisme yang dilakukan rekannya. Suasana seperti itulah yang ditemui Abdul Munir Mulkhan saat hendak mewawancarai pelaku teror.

Ditulis bersama Bilver Singh, buku ini digarap dengan sangat serius. Tidak tanggung-tanggung, untuk memperkaya bahan penulisan, Abdul Munir mewawancarai secara langsung dua pelaku teror dan keluarga teroris. Narasumber yang mau disebut namanya adalah Abu Rusydan, sedangkan yang seorang lagi disebut pelaku teror yang divonis 10 tahun penjara pada 27 April 2011. Lalu ada juga wawancara dengan istri kedua terpidana teroris dan dengan adik Imam Samudra.

Kesimpulannya, para pelaku teror semacam Abu Bakar Ba'asyir, seperti dituturkan Abu Rusydan, meletakkan Indonesia dalam wilayah dakwah. Namun praktek dakwah itu lebih sebagai kegiatan i'dad (persiapan) jihad melalui halaqoh dan usroh, sistem pengajian sistematis yang dipopulerkan DI/TII dan NII-nya Kartosuwiryo.

Sebenarnya gagasan mengenai persiapan jihad itu lebih merujuk pada pemikiran Abdullah Azzam dalam menafsirkan surat Al-Anfal ayat 60. Menurut Azzam, i'dad jihad melalui irhab (teror) dengan menakut-nakuti itu merupakan kewajiban yang lebih penting daripada rukun Islam selain syahadat. Cara pandang inilah yang dianut Imam Samudra dalam aksi bom Bali tahun 2001.

Namun ada tesis terpenting yang perlu dicermati semua pihak atas kemunculan gejala radikalisme faksi jihadis yang melibatkan anak-anak muda itu. Abdul Munir Mulkhan menilai, kemunculan ini lebih karena cara pandang yang meletakkan Indonesia sebagai negeri thaghut (berhala). Juga karena gagasan bahwa Islam dan pemeluknya selalu berada dalam suasana terancam yang gencar disosialisasikan kelompok radikal melalui berbagai media. Termasuk unggahan (upload) terjemahan buku-buku dari tokoh faksi jihadis seperti Abdullah Azzam tadi.

Bagi faksi jihadis, seluruh aparat pemerintahan dipandang sebagai aparat thaghut. Sebab, pada waktu diangkat, mereka bersumpah mengabdi kepada negeri thaghut dan undang-undang thaghut. Salah satu argumen yang menjadi dasar kesimpulan demikian ialah karena negeri ini tidak disusun berdasarkan Al-Quran. Dari sini muncul berbagai sikap dan perilaku yang tergolong radikal dengan berbagai aksi berbau kekerasan.

Sebenarnya penjelasan dalam buku ini bukan informasi baru. Buku-buku sejenis yang membahas seluk-beluk terorisme juga menyebutkan mengenai konsep Indonesia sebagai thaghut yang wajib diperangi. Hanya saja, Abdul Munir Mulkhan mampu menyajikan tulisannya dengan menyisipkan hasil wawancara dengan pelaku teror dan keluarganya.

Walau demikian, itu saja belum lengkap. Pasalnya, yang diwawancarai penulis buku ini bukanlah pemikir utama kelompok radikal semacam Abu Bakar Ba'asyir dan Amman Abdurrahman. Padahal, Amman-lah yang gencar melakukan sosialisasi pemikiran radikal melalui berbagai tulisannya. Ambil contoh dalam buku karya Amman bertajuk Tegar di Atas Tauhid dan Ya, Mereka Memang Thaghut.

Sayang, pelaku teror diwawancarai langsung di dalam lapas, sedangkan dua pemikirnya tidak dapat ditembus. Kalau saja pemikiran dua tokoh pemikir jihadis itu tergali, tentu pembaca akan mendapat "daging" informasi soal teroris di Indonesia. Jadi, buku ini boleh dibilang sekadar buku biasa dengan referensi lama.

Ade Faizal Alami