Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Religi Orang Bukit

Judul: Religi Orang Bukit
Penulis: Noerid Haloei Radam
Penerbit: Semesta, 2001
Tebal: 421 halaman
Kondisi: Buku baru (tersampul)
Harga: Rp. 50.000 (blm ongkir)
Terjual Bandung



Dilihat dari sisi geografis, "Orang Bukit" adalah salah satu bagian masyarakat yang mendiami wilayah bergunung-gunung di Kalimantan Selatan. Mereka merupakan salah satu puak suku Maanyan, yang kabarnya menyerap sebagian besar unsur kebudayaan Melayu, terutama bahasanya. Orang Bukit juga disebut Dayak Bukit yang tinggal di daerah Pleihari, Hulu Riam Kiwa, Hulu Alai, Hulu Hamandit, Hulu Sampanahan, dan Pegunungan Meratus.

Orang Bukit tak selamanya suka dipanggil dengan sebutan Orang Bukit, hanya karena tinggal di perbukitan. Di kalangan mereka, yang berusia di atas 50-an tahun, bukit adalah sebutan berkonotasi negatif. "Bila seseorang dikatakan sebagai 'bukit', maka yang bersangkutan adalah orang yang tidak beradab, tidak bisa dipercaya" (halaman 98).

Orang Bukit justru lebih senang mengidentifikasikan diri sebagai orang yang berasal dari suatu wilayah perkampungan tertentu, seperti Orang Alai, Orang Hamadit, Bubuhan Paramasan, dan Bubuhan Kiyu.

Lalu, apa makna "bukit"? Bagi generasi tua, bukit berarti yang mula-mula, yang paling awal, sebagai cikal bakal masyarakat lain. Sebagai masyarakat pemula, mereka sangat ketat dan disiplin menjalankan adat kehidupan. Yang tidak melaksanakan aturan dikenai sanksi dikucilkan. Dalam pandangan Orang Bukit, bila adat dilanggar, maka musibah akan menimpa semua komunitas itu, tanpa kecuali.

Orang Bukit menghidupi dirinya dengan meramu hasil hutan: damar dan rotan. Mereka berladang secara berpindah-pindah, bersawah, dan berkebun karet. Tak hanya kaum lelaki yang berladang, juga kaum perempuan dan anak-anak. Berladang adalah mata pencaharian pokok, sedangkan meramu hasil hutan dan berkebun, seperti menyadap karet, sebagai kerja sambilan.

Adanya upacara pada setiap tahap kehidupan, itu terkait erat dengan sistem keyakinan. Upacara-upacara tersebut tidak berdiri sendiri dan terpisah, melainkan dalam suatu rangkaian. Itu sebabnya, Orang Bukit tak pernah sepi dari aktivitas berupacara, baik sebelum, selama, maupun sesudah melakukan suatu pekerjaan.

Berbagai upacara yang selalu melibatkan banyak orang itu merupakan bagian dari religi yang dianut Orang Bukit. Tapi, upacara yang bersifat magis hanya dilakukan perorangan. Identitas sebagai Orang Bukit dilepaskan tatkala seseorang memeluk agama "baru. Bila seseorang memeluk Islam, misalnya, ia tak lagi disebut Orang Bukit, melainkan Orang Dagang.

Orang Bukit juga punya kearifan tradisional. Jika ada perselisihan antarkelompok, para ketua adat turun tangan mendamaikannya. Seorang ketua adat dibantu dua orang yang disebut pangiwa (pemangku bagian kiri) dan panganan (pemangku bagian kanan). Pangiwa bertugas menyelesaikan konflik, sedangkan panganan bertugas memotivasi masyarakatnya.

Khusus buat panganan, karena tugasnya, ia dipilih secara terbuka setelah mengemukakan visi dan misinya. Jadi, ada semacam uji kelayakan dan kepatutan. Jika dianggap oke, terpilihlah dia, dengan batasan waktu tertentu.

Buku ini, yang merupakan disertasi doktor dari Universitas Indonesia, secara menarik menggambarkan sosok Orang Bukit. Tinjauannya tidak hanya dari sisi sistem religi mereka, juga menyentuh masalah sosial ekonomi. Maka, tak ada salahnya bila orang modern yang dipersepsikan sebagai orang kota melongok kearifan Orang Bukit itu.

Herry Mohammad