Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Novel Mirah dari Banda

Judul: Mirah dari Banda (novel)
Penulis: Hanna Rambe
Penerbit: Indonesiatera, 2003
Tebal: 336 halaman
Kondisi: Stok lama (cukup)
Stok Kosong



Novel ini mengungkapkan sisi paling gelap tragedi kemanusiaan akibat perang dan perbudakan oleh penjajah Belanda dan Jepang terhadap bangsa Indonesia. Perang dan penjajahan telah menginjak-injak harkat kemanusiaan serta menorehkan luka dan trauma bagi perempuan korban perang, seperti Mirah. Kuli kontrak, jugun ianfu, romusha, nyai (perempuan piaraan), buruh anak adalah pengalaman yang menjadi sisi dan warna kelam kehidupan bagi Mirah dari Banda dan semua perempuan yang mengalaminya.

Ketika Mirah melihat Wendy, seolah dia melihat Tuan Besar hidup kembali. Mata perempuan cantik asal Australia itu mengingatkannya akan mata Tuan Besar. Dan perawakannya mengingatkannya akan Lili, putrinya yang hilang dibawa tentara Jepang.

Saat Wendy Higgins memandang Mirah, tukang masak tua yang bekerja pada keluarga Jack, dia merasa sebuah ikatan membungkus mereka, tanpa dia sadari apa maknanya. Liburan yang direncanakan bakal diisi dengan banyak bersenang-senang di laut, justru dihabiskannya dengan menelusuri sejarah Mirah dan pala, tanaman yang semula ada hanya di kepulauan Banda.

Dan Hanna Rambe, sang pengarang, tak mengarahkan novelnya dengan mempertemukan dua tokoh Mirah dan Wendy sebagai nenek dan cucu. Justru dia mengurai hidup Mirah sebagai buruh pemetik pala yang kemudian menjadi Nyai Belanda, dan berakhir sebagai tukang masak.  Sejarah Mirah adalah sejarah perkebunan pala di Banda itu sendiri. Inilah yang menurut saya membuat novel ini ‘beda’. Tak jatuh pada romantisme murahan yang mudah ditebak, tapi pada deskripsi pahit sejarah kolonialisme di Maluku.

Surga pala dan fuli di Banda justru menjadi neraka bagi penduduknya. Rempah surgawi ini yang menarik kaum petualang barat datang, memulai kolonialisme selama 5 abad di kepulauan nusantara. Pala, fuli,  maupun cengkeh di masa lalu nilainya melebihi emas. Sehingga muncul pemeo pohon emas, atau bagi pemiliknya kerap dinyatakan tinggal goyang pohon, emas pun jatuh dari langit.

Novel ini melukiskan dengan apik mulai mitos pohon pala, pembumihangusan  penduduk Banda oleh JP Coen, berawalnya perbudakan pala di nusantara hingga perang dunia kedua. Sebuah novel sejarah yang runtut dan indah, yang dibangun dalam tokoh Mirah mantan budak pemetik pala.

Tentang muasal pohon pala, dikisahkan Putri Ceilo Bintang yang cantik jelita, putra Raja Mata Guna dan Putri Delima. Suatu hari putri ini mengharuskan pelamarnya, Putra Mahkota Kerajaan Timur, membawa seribu batang pohon pala. Sayang, ketika menuju Pulau Banda Besar, tepatnya di Lonthoir, putra mahkota terbunuh. Pohon pala pun tumbuh subur di tanah itu.

Paska penaklukan Malaka oleh Portugal tahun 1511, pelaut Portugal menemukan jalan ke Banda. Mereka akhirnya mendapatkan langsung pala dari tangan orang pertama. Belanda baru mencapai Pulau Banda Besar pada 1599. Dua tahun kemudian, secara licik orang Belanda membuat kontrak monopoli pembelian pala dengan orang kaya Banda. Namun penduduk Banda enggan ditipu, yang berakhir dengan pembantaian pasukan Belanda yang dipimpin Verhoeven pada 1606. Satu di antara awak Belanda berhasil menyelamatkan diri, dialah Jan Pieterzoon Coen.

Kelak, ketika JP Coen menjadi Gubernur Jendral Hindia Belanda pada 1621, dia membumihanguskan penduduk Banda. Dari 15 ribu penduduk Kepulauan Banda, hanya seribu yang luput dari pembantaian JP Coen. Mereka menyebar ke pulau-pulau kecil sekitar seperti Kei, Seram, dan Aru.

Sebagian besar pohon pala pun dihancurkan. Seperti yang ada di Pulau Rhun. Tujuannya, agar penduduk Banda yang tersisa tak lagi bisa berdagang pala. Tak berapa lama Belanda mendatangkan orang kulit putih sebagai perkenier, yaitu pengusaha kebun yang mendapat izin mengelola perkebunan pala atau perken.

Belanda juga membantu merekrut pekerja perkebunan dengan mendatangkan budak-budak dari Nieuw Guinea, Pulau Seram, Buru, Borneo, dan lainnya. Budak-budak ini umumnya ditipu, diiming-imingi pekerjaan yang enak di Banda dengan upah tinggi. Mirah adalah satu contoh perekrutan budak ini.

Dalam penuturannya kepada Wendy, Mirah ingat kala itu masih bocah, baru tanggal gigi. Bersama pembantunya, Yu Karsih, dia hendak menjemput ibunya ke pasar, sambil membawa kelapa. Di tengah jalan, Yu Karsih tergiur ajakan dua pria yang memborong semua kelapa mereka. Akhirnya mereka berdua masuk ke dalam perangkap para budak Jawa yang diberangkatkan ke Banda.

Di Bandaneira Mirah dan Yu Karsih memulai hidup mereka sebagai pemetik buah pala. Pengarang begitu detil menggambarkan seluk beluk tentang pala. Gaya penuturan orang pertama (Mirah) pun sangat memikat. Membuat pembaca hanyut dibawa alunan cerita hingga akhir kisah.

Perkebunan Pala telah membuat Kerajaan Belanda menjadi kaya raya di benua Eropa. Penulis memisalkan, jika pala yang di tanah asal dihargai setengah rupiah, di Eropa membumbung menjadi enam puluh satu rupiah. Namun bagaimana nasib para buruh pala, budak pala, atau penduduk Banda? Bagai langit dan bumi dengan Negara penjajahnya.

Ketika kekuasaan Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris pada 1796, pala tak lagi menjadi tanaman eksklusif di Banda. Pedagang asal Inggris, Perancis, mulai menyebarkan bibit pala ke Ceylon,  Bencoolen, Penang, Pulau Grenada, Zanzibar hingga Madagaskar. Dimulailah era kejatuhan perdagangan pala di The Bride of Mollucas ini.

Ketika Jepang menggempur Belanda di Asia Pasifik mengawali perang dunia kedua, kebun pala pun berubah menjadi kebun tanaman palawija. Penduduk pulau harus menanam tanaman pangan agar bertahan hidup. Demikian juga di awal kemerdekaan Indonesia.

Novel ini tak hanya berkisah tentang sejarah perkebunan pala, filosofi pohon pala atau  perbudakan di kebun pala, namun juga mengulas kehancuran akibat perang. Perempuan tak hanya menjadi budak perkebunan, tapi juga budak seks penjajah. Begitu kompleks yang diulas pengarang dalam buku setebal hamper 400 halaman ini. Sayang kalau dilewatkan.

Sebagai tambahan, Hanna Rambe menyelesaikan novel ini awal tahun 1980-an, namun novel ini ditolak oleh banyak penerbit kala itu. Akhirnya dia menerbitkan sendiri novelnya, bekerjasama dengan Universitas Indonesia Press tahun 1983. Pada tahun 1988, novel ini diterbitkan kembali oleh Indonesia Tera, dan pada 2010 oleh Yayasan Obor. Kerap, karya bermutu yang tak mengikuti meanstream menjadi bahan penolakan penerbit. Padahal kandungan nilai dan keindahannya jauh melampaui karya-karya mainstream.

Selamat membaca !