Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Politik Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi

Judul: Politik Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi
Penulis: Mohammad Amari
Penerbit: Solusi Publishing, 2013
Tebal: 340 halaman

Sejatinya, para koruptor sudah banyak yang dimejahijaukan. Tapi mengapa kita tetap disuguhi kasus-kasus korupsi yang seakan tiada henti. ''Karena pemberantasan kasus korupsi di Indonesia masih bersifat parsial,'' tutur Mohammad Amari pada saat peluncuran bukunya di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Selasa malam lalu.

Untuk itu, Amari, mantan Jampidsus yang kini staf ahli Jaksa Agung, mengusulkan agar para penegak hukum aktif dalam mencegah dan menindak perilaku korup. ''Jangan menunggu laporan, mesti proaktif, ada deteksi dini,'' katanya. Menurut Amari, dalam pemberantasan korupsi, semua aparat penegak hukum mesti bekerja sama untuk memburu para koruptor, sekaligus mencegah agar perilaku korup tidak terjadi.

Hadir dalam peluncuran buku itu, antara lain, Jaksa Agung Basrief Arief, anggota Komisi III DPR-RI Bambang Soesetyo, dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Adnan Pandu Praja. Dalam pandangan Bambang Soesetyo, seharusnya jaksa berani menuntut secara tegas pelaku korupsi. Begitu pula hakim. ''Sebaiknya hakim berani menambah hukuman bagi pelaku korupsi,'' tuturnya. Menurut Bambang, pemberantasan korupsi di Indonesia bagaikan menegakkan benang basah.

Dalam hal pemberantasan korupsi, terobosan baru di bidang hukum mesti dilakukan. Antara lain yang telah dilakukan KPK adalah menggunakan petunjuk sebagai alat bukti. ''Petunjuk dikonstruksikan sebagai alat bukti,'' papar Adnan Pandu Praja. Dalam kasus Miranda Swaray Goeltom, yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada 2004, misalnya, KPK menggunakan petunjuk sebagai alat bukti. Majelis hakim di Pengadilan Tipikor akhirnya memvonis Miranda tiga tahun penjara, 27 September lalu.

Buku bertitel Politik Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Korupsi ini berasal dari disertasi Amari, yang dipertahankannya di Universitas Padjadjaran, Bandung, 2012. Dalam buku ini, Amari menyoroti praktek hukum di Indonesia. Menurut dia, dalam kasus korupsi, jaksa sudah melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan ke pengadilan. Pengacara juga telah menjalankan fungsinya untuk membela dan mempertahankan hak-hak tersangka. Hakim sudah mendengar kedua pihak, sehingga turunlah putusan pengadilan. Tapi, kenyataannya, masih banyak masyarakat yang tidak puas atas putusan tersebut.

Inilah masalahnya. ''Karena tidak terpenuhinya rasa keadilan, terutama keadilan masyarakat (social justice)'' (halaman 299). Menurut Amari, hal itu terjadi karena hakim tidak sungguh-sungguh menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat dengan alasan terikat aturan hukum formal. Padahal, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan para hakim menggali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Oleh sebab itu, kata Amari, diperlukan penegak hukum yang bervisi keadilan. Dan, ''Untuk menegakkan keadilan itu, seorang hakim boleh berijtihad,'' ujarnya.

Lalu, bagaimana cara untuk menahan laju korupsi? Dalam pandangan Jaksa Agung Basrief Arief, akar masalah maraknya kasus korupsi ada pada moral. ''Kebutuhannya banyak, pelaku tidak mampu mengerem, terjadilah korupsi,'' kata Basrief Arief dalam sambutan peluncuran buku staf ahlinya ini. Ya, moral yang tidak terpuji itu jamak terlihat ketika para koruptor berbohong di depan pengadilan. Dengan kebohongan itu, mereka berharap hakim percaya dan menjatuhkan vonis ringan. Di sinilah mata hati sang hakim diuji agar mampu memutuskan perkara secara adil.

Herry Mohammad