Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Penakluk Kemustahilan: Perjuangan Pemuda Berkebutuhan Khusus Melampaui Keterbatasan

Judul: Penakluk Kemustahilan: Perjuangan Pemuda Berkebutuhan Khusus Melampaui Keterbatasan
Penulis: Ammar Bugis
Penerbit: Republika, 2012
Tebal: 191 halaman
 
Siapa bilang seseorang yang mengalami kelumpuhan total tak mampu berbuat banyak. Sejauh mulut, mata, dan otaknya masih bekerja baik, sosok difabel seperti itu ternyata sanggup mencetak prestasi luar biasa, bahkan melebihi orang berfisik normal. Itulah yang diperlihatkan lelaki bernama Ammar Bugis, yang sejak usia dua tahun mengidap penyakit werdnig hoffmann, yang membuat seluruh tubuhnya lumpuh.

Ia berhasil meraih nilai tertinggi pada akhir semester perkuliahannya di Universitas King Abdul Aziz, Arab Saudi. Indeks prestasi kumulatifnya 4,85, hanya terpaut 0,15 dari angka sempurna 5 yang berlaku di lembaga pendidikan tersebut. Prestasi itu pun diraihnya setelah melalui hambatan berat yang justru datang dari dosennya. Sang dosen rupanya tak menyukai Ammar yang leluhurnya berdarah Bugis itu.

Saat ujian akhir kuliah, sang dosen berupaya mengurangi nilainya dengan tak memedulikan kelemahan fisik Ammar. Ia tidak mau mencarikan orang untuk membantu menulis jawaban karena tangan dan jemari Ammar memang sama sekali tak bisa digerakkan. Padahal, dosen-dosen di sana umumnya meminta mahasiswa lain membantu menulis di kertas jawaban berdasarkan petunjuk lisan Ammar.

Untunglah, pada menit ke-40 ujian, ada mahasiswa dari kelas lain yang datang membantu. Sisa waktu 20 menit digunakannya untuk mengerjakan soal. Hasilnya, Ammar hanya memperoleh nilai 67 khusus untuk mata kuliah dosen tadi. Untuk mata kuliah lainnya, ia memperoleh nilai terbaik. Saat wisuda, Ammar tetap muncul sebagai mahasiswa yang memperoleh nilai tertinggi di antara seluruh lulusan Universitas King Abdul Aziz.

Itu sepenggal cerita pahit dari sekian banyak diskriminasi yang dialaminya sepanjang 26 tahun perjalanan hidup yang dituangkannya dalam buku ini. Ada beberapa hal yang menarik dari sosok lelaki kelahiran Jeddah, 22 Oktober 1986, ini. Setelah melampaui kemustahilan di dunia pendidikan, ia berhasil menaklukkan kemustahilan di dunia kerja dengan menjadi wartawan olahraga.

Ammar beruntung memiliki orangtua yang memberikan perhatian dan mendorong pendidikannya. Pendidikan dasar ditempuhnya di Amerika Serikat, mengikuti ayahnya yang sedang menyelesaikan pendidikan doktoral. Tiga tahun belajar di Amerika, ia dibawa kembali ke Jeddah. Di kota kelahirannya itulah ia pertama kali mengalami diskriminasi karena tak satu sekolah pun mau menerimanya sebagai siswa. Ammar sendiri enggan bersekolah di sekolah luar biasa.

Walhasil, Ammar menempuh pendidikan sekolah dasar dengan sistem home schooling. Setelah bertahun-tahun berjuang melawan kemustahilan dalam bidang pendidikan, ia menuai sukses dan lulus dari Universitas King Abdul Aziz. Tapi, sebagai lulusan fakultas jurnalistik, ia harus pula menghadapi masalah-masalah baru dalam dunia kerja dan melawan stigma kemustahilan di tengah masyarakat.

Kisah orang-orang berkebutuhan khusus yang sukses memang bukan hal baru. Tapi riwayat Ammar tampak berbeda dibandingkan dengan kaum difabel lainnya. Sehari-hari, ia hanya tergolek lemah di kursi roda, bahkan untuk sekadar menggerakkan leher pun ia tidak mampu. Bagaimana mungkin sosok seperti itu menjadi wartawan? Mungkinkah menjadi pelatih klub sepak bola? Mungkinkah ada perempuan yang ikhlas menjadi istrinya?

Ammar menjawab semua pertanyaan itu dengan karya kongkret. Ia benar-benar membuktikan diri mampu menjadi jurnalis, sebagai wartawan olah raga di harian Ukkazh dan al-Madinah, dua harian ternama di Arab Saudi. Malah Ammar pernah menjadi pelatih sepak bola. Akhirnya ia pun menemukan jodoh dengan menikahi Ummu Yusuf, seorang janda berkebangsaan Mesir. Perempuan inilah yang kemudian membantu menulis setiap perkataan Ammar hingga menjadi naskah buku ini.

Tulisan Ammar dalam buku yang aslinya berjudul Wahir al-Mustahil ini sangat lugas dan mudah dipahami berbagai kalangan. Tujuannya memang untuk membangkitkan semangat semua orang, terutama mereka yang berkebutuhan khusus atawa difabel. Sebab, menurut dia, "Cacat yang sesungguhnya adalah cacat tekad, cacat cita-cita, dan sikap menyerah pada keadaan."

Ade Faizal Alami